07
"Dela! Buka pintunya, Dela!" Mas Dimas terus menggedor pintu. 

Aku enggan membukakan dan malas bertemu dengan Mas Dimas. Hatiku masih bergemuruh jika melihat wajahnya. 

"Dela!" Mas Dimas berteriak sambil menggedor pintu berkali-kali. 

Tak terasa air mataku luruh. Sejujurnya aku masih mencintai Mas Dimas, namun pengkhianatan yang diberikan telah menutup pintu hatiku. Seketika tubuhku ambruk seiring berguncangnya bahuku. Aku semakin tergugu. 

"Beri aku kesempatan bicara denganmu, Dela!" Nada suara Mas Dimas terdengar sedikit turun.

Kuintip dari celah gorden, tampak Mas Dimas meremas rambutnya seraya menendang ban mobilku. Ya Tuhan, aku tak sanggup berada di posisi seperti ini terlalu lama. Keputusanku telah bulat, akan segera menuntut cerai suamiku. Dengan begitu, status kami jelas dan menjalani kehidupan masing-masing. 

Mas Dimas masih terus menggedor pintu. Namun, aku tetap tidak membukakannya. Sepertinya, dia sudah kehilangan kesabaran. 

"Dela! Buka pintunya! Kamu sengaja ingin mempermalukan aku di sini, ya?" teriak Mas Dimas sembari menggedor pintu. 

Kuseka air mata dan merapikan baju. Tanganku mantap membuka pintu dan menemui Mas Dimas di luar. 

"Apa yang mau kamu bicarakan? Apa belum cukup menyakiti hatiku?" ucapku berusaha tegar. 

"Aku khilaf, Dela."

Aku menyeringai. "Khilaf? Kamu bilang khilaf, tapi beraninya mengatur janji dengan wanita itu!" jawabku lantang. 

"Maaf, aku nggak bisa terima kamu lagi. Hatiku sudah hancur, Mas. Sudah nggak bisa disatukan lagi. Lebih baik kita pisah dan jalani hidup masing-masing."

Mas Dimas tak bisa berkata-kata. Raut wajahnya tampak ada penyesalan, tapi aku tidak mempercayainya begitu saja. Bagiku, sekali pengkhianat tetap pengkhianat. 

Tak lama, tampak sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan rumah.

"Papa? Bagaimana bisa Papa ada di sini?" Aku menggumam sendiri. 

"Dasar laki-laki brengsek! Mau apa kamu di sini?" Papa meletakkan tas lalu menarik pundak Mas Dimas. 

BUGH! Sekali pukulan mengenai rahang Mas Dimas. 

"Dasar pengkhianat! Tega kamu sakiti anakku!" Papa terus menghajar Mas Dimas. 

Mas Dimas sama sekali tidak melakukan perlawanan. Dia tampak pasrah menerima pukulan dari Papa. Karena tak ingin ada orang yang mengetahui, segera kulerai Papa. 

"Pergi kau dari sini! Jangan pernah injakkan kaki di sini lagi!" Papa mengangkat telunjuknya tinggi-tinggi. Dadanya tampak naik turun seperti sedang menahan emosi. 

Tanpa pamit, Mas Dimas langsung pergi. Kemudian, kuambil tas Papa yang tergeletak. 

"Papa, kok, ada di sini?" tanyaku penasaran. 

"Tadi malam ibumu telepon kasih tau permasalahanmu sama Dimas. Kebetulan Papa ada kerjaan di Bali, makanya langsung ke sini."

Papa memelukku erat. Berkali-kali beliau menguatkan hatiku. Tanpa disadari, air mataku lolos begitu saja. Aku menangis di dekapan Papa. 

"Kamu yang sabar, ya." Papa semakin mengeratkan pelukannya. 

"Iya, Pa. Mungkin aku yang salah, belum bisa memberikan yang terbaik untuk Mas Dimas," jawabku, masih berlinangan air mata. 

"Udah, nggak usah nyalahin diri sendiri. Ini semua cobaan dari Tuhan. Kamu masih muda, cantik, punya segalanya. Nggak usah terlalu mikirin laki-laki seperti Dimas." 

"Nanti Papa akan kirim review ke seluruh perusahaan dan perkantoran agar tidak menerima Dimas bekerja di mana pun," lanjut Papa seraya mengelus kepalaku. 

Setelah itu, Papa melepaskan pelukan lalu mengambil gawainya. 

"Papa mau telepon siapa?" tanyaku penasaran. 

"Papa mau suruh Gerad ke sini buat temani kamu jalan-jalan. Kamu saat ini butuh refreshing."

Sontak aku terkejut. "Papa masih komunikasi dengan Gerad?"

"Jelaslah, dia itu rekan bisnis terbaik Papa. Masih mudah, baik, berprestasi pula. Coba aja dulu kamu mau sama dia, pasti akan bahagia," puji Papa. 

"Udahlah, Pa. Nggak usah bahas dia lagi. Dela itu nggak cinta sama Gerad, Pa!" pekikku. 

"Kamu masih bicara soal cinta? Kamu hanya cinta sama Dimas? Buktinya apa, Dela!" Papa berbalik menyerangku. 

Seketika mulutku bungkam. Ya, benar apa yang dikatakan Papa. Dulu aku sangat mencintai Mas Dimas. Namun, kenyataannya dia tidak bisa setia, tapi bukan berarti juga aku harus kembali dengan Gerad. Ah, Papa menyebalkan. 

"Pokoknya kamu diam di sini. Papa akan menyuruh Gerad ke sini dan mengajakmu jalan-jalan."

"Dela nggak mau, Pa!" Aku berjalan meninggalkan Papa sendirian. 

***
Beberapa saat kemudian, suara klakson mobil mengejutkanku. 

"Sana, berangkat! Gerad udah datang," ucap Papa memaksaku pergi. 

"Tapi Dela nggak mau, Pa. Dela ada janji sama orang toko mau anter tempat tidur." Aku beralasan agar Papa mengerti. 

"Udah, nanti Papa yang urus. Kamu tenang aja, ada Papa di rumah. Sana, berangkat." Papa mendorongku keluar. 

Terpaksa, aku menuruti. Langsung kusambar tas kecil yang tergeletak di atas bufet dan keluar. 

Gerad membukakan pintu mobil. Aku duduk tepat di sebelahnya. Selama perjalanan, lelaki berhidung mancung itu terus memperhatikanku. 

"Coba aja dulu kamu mau sama aku," celetuknya dengan tatapan sedikit menggoda. 

"Udah, deh, nggak usah mulai. Bisa nggak sih diem, tenang nyupir aja," ketusku enggan menoleh ke arahnya. 

"Iya, iya. Kita mau ke mana ini?" Spontan Gerad mengerem mendadak hingga membuatku kaget. 

"Terserah kamu aja. Bukannya kamu yang disuruh Papa buat ngajak aku jalan?" Aku membalikkan pertanyaan. 

Kemudian, Gerad melajukan mobil menuju ke sebuah mal di pusat kota. "Kita nongkrong di kafe aja sambil ngobrol. 

Ketika sampai di parkiran mal, tiba-tiba perasaanku tidak enak. 

"Kita pulang aja, deh."

"Kenapa?" Gerad tampak bingung. 

"Aku lupa kalau hari ini ada rencana ke pengadilan. Astaga, kenapa bisa pelupa gini," gerutuku. 

Gerad langsung menyalakan mesin mobil dan memutar haluan. Saat hendak melintas di pintu keluar, tiba-tiba Mas Dimas dan Siska menyeberang ke arah mal. Dadaku semakin bergejolak. Ya Tuhan, mengapa ke mana aku pergi selalu bertemu dengan manusia laknat itu. Untung saja tadi aku tidak mempercayai ucapan Mas Dimas. Ternyata omongannya dusta belaka. Nyatanya dia masih bermesraan dengan wanita jalang itu. Dasar, laki-laki pengkhianat. 

---------
Jangan lupa tap love dan komennya, ya. Oh iya, untuk bab ini ada hadiah 50 koin emas untuk 3 komentar terbaik 😍Othor tunggu sampai besok, ya.