"Mulai besok urusan kantor aku ambil alih!" Aku berkacak pinggang seraya menghadap ke arah Mas Dimas dengan tatapan tajam.
Siska masih memeluk kakiku memohon ampun, tapi aku mundur selangkah dan mendongakkan kepalanya. "Dan kau, mulai detik ini aku pecat!"
Mas Dimas berjalan mendekat ke arahku, tapi aku menghindar. "Stop! Jangan mendekat! Jangan pernah sentuh aku lagi! Aku benar-benar jijik dengan kalian!"
"Mbak, tolong maafin aku. Tolong jangan pecat aku. Bapak ibuku sedang sakit. Kalau aku nggak kerja, mau dapat uang dari mana mereka?" Siska masih terus-terusan memelas.
Namun, aku tak peduli. Semua keluhannya itu sama sekali bukan urusanku. Dia telah merusak rumah tanggaku yang telah susah payah kubangun selama lima tahun.
"Sayang maafin aku, ya. Aku janji tidak akan mengulangi lagi. Aku juga janji akan meninggalkan Siska." Mas Dimas berusaha mendekatiku.
"Apa, Mas? Kamu mau ninggalin aku? Setelah semua kamu dapatkan, kamu mau mutusin hubungan ini begitu saja? Mana janjimu, Mas!" Siska spontan berdiri dan menghadap ke arah Mas Dimas.
Aku hanya diam seraya memperhatikan percakapan mereka sambil melipat tangan di dada.
"Tapi aku nggak cinta sama kamu, Siska! Aku cuma melampiaskan nafsuku saja." Mas Dimas menyahut ucapan Siska.
"Nafsu? Nafsu setan maksudmu?" Aku menyeringai dengan sedikit cebikan di bibir.
"Sayang, tunggu penjelasanku dulu." Lelaki yang kusebut suami itu meraih tanganku. Namun, secepatnya kuhempaskan.
"Jangan panggil aku Sayang! Aku sudah muak dengan kalian berdua! Cepat pergi dari sini!" teriakku meluahkan emosi.
Aku ke kamar seraya mengambil tas dan beberapa pakaian Mas Dimas. Kemudian, kulemparkan dua benda itu. Suamiku langsung mengambil dan mendekatiku.
"Dela, aku tau kesalahanku. Tapi mohon maafkan aku. Aku nggak sanggup berpisah darimu, Dela." Mas Dimas memelas sembari memegang kedua tanganku. Namun, segera kulepaskan.
"Maaf, Mas, aku nggak bisa." Kudorong tubuh Mas Dimas dan Siska keluar rumah.
Wajah Mas Dimas seketika tampak pias. Berkali-kali dia memohon, namun tak kuhiraukan. Aku tetap pada pendirianku. Apa pun kesalahannya masih bisa kumaafkan, tapi tidak dengan pengkhianatan. Ini menyangkut prinsipku.
"Oh, iya, mana kunci mobilnya?" Tanganku menengadah.
Sebelum Mas Dimas pergi, kulucuti semua fasilitas yang kuberikan.
"Terus aku pergi pake apa, Dela?" Mas Dimas merasa keberatan dengan ucapanku.
"Bukan urusanku!" Aku langsung menggeledah isi kantong celana Mas Dimas.
Setelah cukup lama beradu mulut, akhirnya suamiku menyerahkan kunci mobil. Ya, semua fasilitas dan kantor yang dikelola Mas Dimas adalah hasil kerja kerasku dalam membangun bisnis. Awalnya orang tuaku membukakan cabang furniture di daerah tempat tinggalku, lalu kurintis dengan penuh perjuangan.
Setelah usaha tersebut berkembang, aku bertemu dengan Mas Dimas dan menikah dengannya. Maksudku menyerahkan urusan kantor ke tangannya dengan tujuan agar bisa fokus menjadi seorang istri yang sesungguhnya. Namun, kepercayaanku telah disalahgunakan. Sepertinya Mas Dimas telah terlena dengan materi yang bergelimpangan.
Mas Dimas terus menoleh ke arahku dengan wajah penuh pengharapan. Sementara Siska tengah sibuk memasang sandal high heels-nya. Ketika mataku menoleh ke dalam rumah, tas Siska masih berada di atas sofa.
Langsung kuambil benda itu dan melemparkan pada pemiliknya. "Nih, bawa! Aku nggak mau barangmu mengotori rumahku."
Mas Dimas dan Siska keluar dari rumah dengan penampilan acak-acakan. Untung saja masih jam kantor, jadi tak ada orang yang melihat mereka. Walaupun ada, aku sudah tak peduli lagi. Mereka benar-benar telah melakukan kesalahan besar.
Setelah mereka pergi, aku masuk rumah dan menutup pintu, lalu bersandar di baliknya. Seketika hujan lebat membanjiri pipiku. Aku sungguh tak menyangka perbuatan Mas Dimas. Juga dengan Siska. Wanita yang kutolong dan telah kupercaya menjadi sekretaris suamiku, justru tega menikamku dari belakang.
Tiba-tiba aku teringat dengan Pak Maman, staf bagian keuangan sekaligus satu-satunya orang yang kupercayai di kantor. Langsung kuambil gawai dan menghubunginya. Namun, Pak Maman tak kunjung menerima panggilanku. Mungkin beliau masih sibuk. Beberapa saat kuhubungi kembali.
"Halo, Bu Dela. Maaf, tadi saya lagi ke bawah. Bagaimana, Bu? Apa yang bisa saya bantu?" ucap Pak Maman di seberang.
"Pak Maman, aku mau minta tolong. Sekarang juga hubungi Siska dan berikan pesangon untuknya. Mulai sekarang dia sudah tidak bekerja di kantor kita lagi."
Pak Maman hanya diam. Kemudian aku melanjutkan pembicaraan.
"Terus, sekarang juga gelar meeting untuk cari pengganti Pak Dimas. Tolong cari orang yang bertanggung jawab dan kompeten."
Pak Maman hanya terdiam. Sama sekali tidak menjawab ucapanku.
"Halo! Pak Maman dengar ucapan saya, kan?"
"I-iya, Bu Dela. Saya dengar. Siap, semua perintah Ibu akan saya laksanakan. Tapi, Bu, ada masalah apa sampai Pak Dimas digantikan?" tanya Pak Maman penasaran.
"Sudah, Pak Maman laksanakan saja perintah saya. Semua itu urusan saya." Aku menutupi permasalahan yang sedang menimpa rumah tanggaku.
"Apa Bu Dela sudah mengetahui semuanya?"
Pertanyaan Pak Maman seketika membuatku tercengang. Maksudnya apa? Apakah orang kantor sudah mengetahui kebejatan Mas Dimas bersama Siska?