Saat Pak Yudi, Pak RT dan lainnya keluar dari kamar. Aku mengejar.
Terus berusaha mengajak mereka berkomunikasi. Nyatanya, tetap tak ada satu pun yang menyadari keberadaanku di sini.
"Ada apa ribut-ribut di rumah Jum?" Terdengar suara tak asing dari arah pintu depan.
"Ini Mbah. Anaknya Pak Waluyo meninggal mendadak tadi sebelum magrib. Kita menemukan gelang melati lagi di kamar korban." Pak RT menjawab.
"Apa hubungannya dengan Jum? Dia nggak tau apa-apa. Bubarrr!" teriaknya lantang.
Saat aku memperhatikan lebih dekat, ternyata beliau adalah Mbah Karso. Guru spiritual Ibu. Sosok lelaki tua dengan brewok beruban dan memakai blangkon khas Jawa di kepalanya.
Aku berusaha menunjukkan diri pada beliau. Seketika tatapannya lain. Sorot matanya menandakan lelaki tua itu bisa melihat keberadaanku di sini.
"R-run," ucapnya lirih.
"Kenapa, Mbah? Ada apa? Mbah baik-baik saja?" tanya orang-orang di sekitar karena ekspresi kaget dari Mbah Karso.
"Ng-nggak papa. Kalian habis ngapain di sini? Ada perlu apa?" Mbah Karso terlihat berusaha mengalihkan perhatian para warga. Kemudian mengajak mereka pergi dari sini.
Sementara aku masih bingung, ke mana Ibu pergi. Sesajen yang tadi ada di meja kamar, kini lenyap.
Ibu pergi tanpa jejak. Warga pun datang dengan tujuan yang sulit kupercaya. Menuduh Ibu seenaknya.
Tak berselang lama, seseorang kembali masuk ke rumah. Ternyata Mbah Karso datang seorang diri.
"Seruni ... Seruni kapan pulang?" tanya Mbah Karso dengan tangan terlihat gemetar. Mungkin masih kaget karena kepulanganku yang baru diketahuinya.
"Beberapa hari yang lalu, Mbah. Tapi aku bingung. Apa para warga tidak bisa melihatku?"
"Mbah bisa lihat kok. Lihat jelas malah. Seruni pulang dijemput, ya?" tanya beliau lagi.
"Nggak tahu, Mbah. Banyak kejadian yang terlupa. Seingatku kemarin, tahu-tahu sudah ada di depan rumah ini," jawabku dengan tangan menggaruk kepala.
Kami duduk berhadapan di ruang tamu. Membicarakan hal intens. Salah satunya tentang Ibu.
Menurut Mbah Karso, banyak yang menuduh Ibu sebagai dalang meninggalnya para gadis desa.
"Dalam dua bulanan ini, sudah sekitar empat gadis meninggal secara mendadak. Tragisnya, selalu ada bekas cakaran dan juga selalu ditemukan rangkaian bunga melati yang dibentuk gelang." Mata Mbah Karso menatap ke langit-langit rumah.
"Kenapa Ibu yang dituduh, Mbah?" tanyaku.
"Karena ada warga yang melapor. Ditemukan tempat penyembahan ibumu di paguyuban tempatnya berlatih dengan tim kesenian. Ibumu sering puasa mutih. Suka taruh fotomu di atas sesajen dengan taburan bunga melati." Mbah Karso menghela napas.
"Mereka beranggapan kalau Ibumu menggunakan gadis desa sebagai tumbal untuk membawamu pulang," lanjutnya lagi.
Keji sekali tuduhan mereka. Memang dari dulu, Ibu sering melakukan ritual-ritual untuk benda pegangannya seperti keris, gaun nyinden peninggalan Nenek, juga tusuk konde turun terumurun yang sudah menjadi adat istiadat keluarga. Namun tidak lah sampai hati jika mengorbankan nyawa orang lain. Ibu tidak mungkin melakukan hal itu.
"Mbah, aku sudah pulang di rumah ini. Tapi kenapa seolah, banyak yang tak menyadari kepulanganku?" tanyaku.
Mbah Karso menggeleng. Beliau menyalakan korek api di depan sebuah rokok yang sudah terselip di bibirnya.
Satu kali hisapan, lalu asap diembuskan mengepul di depan wajahnya. Mbah Karso menarik napas panjang, lalu mengembusnya kasar.
"Jiwamu pulang. Tapi tubuhmu tidak, Run."
Deg. Apa maksud beliau?
---
Like komen buat nyemangatin, Gaess