Metode Dzikir
Setiap sesuatu ada alatnya, sedangkan dzikir merupakan alat yang paling ampuh didalam membersihkan rona-rona hitam yang bersarang dihati [ujub, sombong, jubun, pemalas dan lainnya]. Maka dari sinilah seseorang untuk mencapai inti dari dzikir memerlukan sebuah cara tertentu. Karena dzikir yang tanpa metode, maka outputnya tidak akan maksimal.
Demikian juga dzikir merupakan sarana terbaik dalam menempuh jalan ma’rifatun nafs atau istilah lainnya disebut dengan ‘kesadaran diri’. Namun selayaknya bagi pemula memerlukan sebuah cara sebagai wahana untuk mencapai lub (intisari) dari dzikir itu. Ketika seseorang telah mencapai hakekat dari dzikir, maka secara otomatis akan merasakan kesadaran diri dan ketenangan dalam kehidupannya.
Selanjutnya Secara umum dzikir dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, dengan lisan, dzikir dengan lisan sebaiknya tidak dilakukan dengan suara yang keras, tapi hendaknya dilakukan dengan suara lembut. Kedua, dzikir dengan Lisan dan Hati, dari beberapa instrumen ayat bahwa berdzikir bukanlah dengan suara yang keras, tetapi berdzikirlah dalam hati, dengan suara yang rendah dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara.
Menurut Robert Frager (Syekh Raqib al-Jerahi), salah satu praktek dzikir klasik adalah mencakup pengulangan kalimat tauhid, La> ila>ha illa> Alla>h. Kalimat ini secara literal bermakna “tiada Tuhan, yang ada hanyalah Allah.” Ia juga dapat ditafsiri bahwa tiada sesuatupun yang bernilai untuk disembah selain Allah.
Selanjutnya dalam latihan berdzikir, bersimpuhlah di atas lantai ataupun duduk di sebuah kursi. Letakkan tangan Anda di atas paha, pejamkan mata Anda. Dengan sungguh-sungguh, mulailah mengucapkan ‘La>’, saat mengucapkan La>, gelengkan kepala ke kanan, lalu turun, dan mulailah mengucapkan La> Ila>ha dari perut Anda. Saat anda mengucapkan la>, gelengkan kepala Anda ketengah, dengan sedikit mengangkat dagu Anda, fokuskan pada titik di antara kedua alis Anda. Dengan kalimat Illa> Allah turun ke hati Anda. Dengan metode ini akan menghasilkan energi dari pusat menuju dahi dan turun ke dalam hati. Tindakan ini sama dengan aliran kundalini di dalam yoga ataupun peredaran cahaya di dalam meditasi tao.
Ada juga praktek dengan mengulang lafadz Asmaul Husna (nama-nama Allah) yang 99, akan tetapi di dalam praktek ini sang dzakir tidak serta merta hanya membaca tanpa meresapi dari setiap makna, kita harus menyadari bahwa segala sifat Tuhan yang terdapat di dalam diri kita hanyalah percikan kecil dari sifat-sifat-Nya.
Praktek pengulangan asmaul husna dibaca tiap hari selama sembilan puluh sembilah hari, kajilah satu 99 nama dengan melakukan hal berikut:
Pada pagi hari, sebutlah berulang-ulang satu nama sebanyak seratus kali (gunakan tasbih, ataupun jenis hitung alat hitung lainnya).
Renungkan makna nama atau sifat Tuhan tersebut.
Resapilah dan renungkanlah bagaimana nama tersebut hadir di dalam anda.
Berusahalah untuk bertindak sesuai dengan sifat-sifat ilahiah tersebut-setidaknya satu kali pada saat anda melatih nama tersebut; contohnya, menolong orang lain salah satu mengekpresikan al-Rahi>m, yang maha penyayang.
Sedangkan metode dzikir Menurut al-Ghazali, adalah di dalam pengucapan lafadz suci harus dengan kesungguhan hati atau tanpa kesenjangan antara lidah dan kondisi jiwa. pelafalan kalimat suci itu harus dilakukan dengan “keihlasan” atau “kesungguhan” tanpa membuka atau menyisakan ruang pikiran untuk objek atau tujuan lain.. Dzikir mempunyai permulaan dan akhir, pada bagian permulaan dzikir mensyaratkan “kedekatan” dan “cinta”. Sedangkan dzikir pada bagian akhir, mensyaratkan kedekatan dan cinta.
Syekh Abi Ma’ruf menjelaskan tentang cara berdzikir dengan media hati sebagaimana didalam sebuah syair yaitu:
قَدْ أَجْمَعَ اْلعُرَّافُ جُلُّهُمْ عَلَي # أَنَّ أَفْضَلَ الطَّاعَةِ لِلهِ الْعُلَي
حِفْظُ اْلاَنْفَاسِ يَكُوْنُ خُرُوْجُهَا # وَدُخُوْلُهَا بِاللهِ فِيْ المَلَأِ اْلخَلَا
بِالشَّدِّ ثُمَّ اْلمَدِّ تَحْتَ ثُمَّ فَوْ # قَ صِفَةٌ لَهُ مَعَ بَرْزَخٍ فَاسْتَكْمَلَا
أَوْذِكْرِ تَهْلِيْلٍ وَذَالذِّكْرِ اْلخَفِيْ # مِنْ غَيْرِ تَحْرِيْكِ الشِّفَاهِ تَدَاوُلًا
Para ahli ma’rifat sungguh menyepakati bahwa dzikir nafas merupakan paling utamanya amaliyah taat. Sehingga para ulama sufi menggunakan metode ini sebagai dzikir utama, namun sebelum memasuki dzikir, hendaknya dzakir berwudu, lalu menghadap qiblat dilanjut dengan mensucikan sir (batin ) dari hubungan keduniaan.
Bagi dzakir hendaknya menjaga setiap tarikan nafas dengan memulainya lafad “Allah” dari pusar, lalu ditarik keatas hingga berakhir di otak lalu mengeluarkan lafad “hu” diiringi dengan nafas melalui mulut.lalu melepaskan nafas melalui mulut yang disertai lafad Allah.
Selanjutnya As-Shiddiqie menyatakan, bahwa seseorang dalam melaksanakan amalan dzikir harus menjaga tatacara berdzikir dengan batin (hati-bashi>roh) dan tatacara dengan lahir (anggota tubuh). Dengan menyempuranakan adab batin dan dhahir tersebut maka sempurnalah dzikir seseorang.
Tatacara dzikir yang batin , apabila seseorang hendak berdzikir hendaklah ia menghadirkan hatinya mengingat makna dzikir itu di kala lidah mengucapkannya, oleh sebab itu berdzikir harus memahami maksud dan lafal-lafal yang disebutnya agar memahami maknanya.
Tatacara dzikir yang dhahir: bersikap tertib, menghadap kiblat dengan sikap khusuk, tenang dan menundukkan kepala. Tempat berdzikir harus suci dan bersih, terlepas dari segala yang meragukan. orang-orang yang berdzikir harus membersihkan maulutnya sebelum mulai berdzikir.