PART 2

[Bu, titip Sella. Ada pasien gawat darurat.]

Pesan dari Yuda di jam les yang sepuluh menit lagi berakhir. Aku melirik ketiga anak yang masih fokus menulis, tugas yang aku berikan di les hari ini.

[Saya ada jam kuliah siang ini, Pak.]

Panggilan 'Pak' akhirnya kusematkan untuk panggilan lelaki ber-jas putih itu.

[Dua jam saja, Bu. Saya kasih lebih.]

Hallah, iming-iming lembaran kertas selalu menjadi penguat di antara yang lain. Aku yang kuliah dengan harus banting tulang untuk meluniasi bulanan kampus, selalu saja tergiur dengan embel lemaran rupiah.

Selesai jam les anak-anak langsung pulang di jemput papah juga mamahnya, Sella? Masih setia duduk di dalam kelas, aku sudah memberitahunya bahwa sang om telat menjemput.

Aku membawa Sella ke dalam kamar melewati ibu dan bapak yang sedang duduk menonton televisi.

"Belum dijemput si Sella?" Ibu menatap Sella yang mendongak ke wajahku.

"Om-nya telat jemput."

"Suruh makan dulu," tambah ibu.

"Sella bawa bekel, Nek."

Aku dan Sella berlalu meninggalkan ruangan televisi.

Kamar yang luasnya tidak seberapa menjadi tempat Sella beristirahat. Anak kecil itu membuka tas dan mengambil kotak makan beserta botol minuman dengan gambar yang sama.

Nasi dengan lauk bergizi menjadi menunya hari ini. Rupanya Yuda sangat memperhatikan kesehatan Sella. Aku membiarkannya duduk di meja belajar.

Gawai yang tergeletak di atas meja belajar kuraih, lalu mengirimkan pesan singkat kepada Edo.

[Do, gue izin ya. Sella belum dijemput.]

[Bu Irma kasih tugas! Masuk buruan!]

[Gak bisa. Sella masih di rumah gue.]

[Mau dapet nilai D, lu?]

Bu Irma memang salah satu dosen paling killer, tidak bisa di bantah. Materi yang baru di sampaikan di dalam kelas akan langsung di kelompokkan untuk membuat tugas.

Terpaksa, kali ini aku harus menitipkan Sella pada ibu dan bapak, dari pada nilai mata kuliah Bu Irma anjlok dan ngulang kelas, kan?

Dengan senang hati ibu menerima Sella, aku yang anak bungsu dari dua bersaudara, Abang Rasyel sudah menikah dan menetap di luar kota, membuat ibu menjadi kesepian dengan aku yang masih sibuk kuliah.

Sampai di kelas aku langsung mengikuti tugas Bu Irma yang ternyata beliau tidak bisa hadir. Asem memang si, Edo! Sudah panas dingin dengan membayangkan nilau 'D', sampai kelas justru pada santai dan saling nyontek.

Rasti terkekeh dengan sikap Edo. Aku duduk di samping gadis yang kemarin sempat di rawat di rumah sakit itu selama satu hari. Keringat masih membanjiri kening dan tubuh bagian lainnya.

Meski berkendara roda dua, tetap saja dari parkiran menuju lantai atas harus sigap dengan langkah yang kokoh, kan?

"Asem lu, Do!"

"Sory. Lagian materi Bu Irma cuman elu yang lancar kaya internet 5G-nya negara maju."

"Ya, kali. Gue sampe ninggalin Sella, loh."

"Satu jam ini, langsung balik lagi, kan bisa."

Tugas Bu Irma aku selesaikan bersama Rasti dan juga Edo yang pastinya tinggal copy paste saja, meski Bu Irma termasuk orang yang perfekionis akan segala hal, Edo akan tetap mendapat nilai A karena selalu masuk kelompoku jika berdiskusi.

Selesai jam Bu Irma aku langsung pulang, tidak mengikuti kelas lain. Amanat dari Yuda yang memintaku untuk menemani Sella sampai dia menjemput terus saja berputar. Lumayan, kan, jika hari ini aku menerima beberapa lembar uang rupiyah, bisa melunasi bulanan kampus.

"Sella mana, Pak?"

Aku menyalami punggung tangan bapak, tidak ada ibu disampingnya.

"Tidur di kamar kamu."

Aku melirik jam dinding di runang televisi, sudah setengah satu siang, mungkin Sella kelelahan. Aku berlalu meninggalkan bapak, melihat Sella pulas di sisi ibu yang memeluk tubuh mungil Sella.

Ada gelenyar aneh di dada, seolah merasa Sella benar-bener membutuhkan seseorang yang dapat memahami isi hati juga kondisi pertumbuhannya.

Aku membangunkan ibu, kasihan jika harus menemani Sella yang seharunya menjadi tanggung jawabku. Ibu bangun dan meninggalkan kamar ini.

Aku duduk di sisi Sella, memandangi wajah polos anak itu. Rambut panjangnya yang di kepang dua, poninya yang sebatas kening. Anak selucu Sella kenapa harus bernasib seperti ini? Tidak bisa hidup dengan kedua orang tuanya.

[Sella lagi apa, Yema?]

Yuda tidak pernah konsisten dalam memanggil namaku. Kadang Yema, kadang ibu. Aku jadi bingung harus memanggilnya Mas Yudha atau Pak Yudha, yang jelas usianya di atasku yang masih dua puluh satu tahun.

[Tidur, pak.]

[Udah makan siang? Saya simpan bekel di dalam tasnya.]

[Sudah pak.]

[Saya jemput setengah jam lagi.]

Aku tidak membalas pesan terakhir dari Yuda. Tugas kampus lebih penting untuk segera ku selesaikan.  Bergelayut dengan beberapa makalah membuatu mengabaikan Sella yang masih terlelap.

Suara dari dalam perutku rupanya mengharuskan aku menjeda kesibikan. Aku meninggalkan si kecil yang sudah berganti posisi menghadap dinding dengan memeluk guling, kipas angin yang tadinya mengarah ke meja belajar kini sudah berbalik mengarah tubuh si kecil.

Setelah makan siang aku duduk menonton televisi sembari menunggu Yuda yang katanya setengah jam lagi akan datang, tetapi sudah hampir satu jam lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu belum juga ada tanda-tanda suara  memarkirkan mobilnya.

Nah, terdengar suara klakson mobil. Yuda pasti sudah datang. Aku segera memburu pintu rumah dan benar saja lelaki berambut klimis itu sudah berdiri di depan pagar yang masih terkunci.

Aku membukakan pagar, mempersilahkan wali dari anak didiku masuk dan duduk di ruang tamu.

"Sella masih tidur?"

"Masih."

"Saya gendong aja."

"Mau di bawa ke rumah sakit lagi? Kalau iya, mending di sini nemenin ibu juga bapak. Kasihan, rumah sakit bukan arena bermain anak-anak, pak."

Yuda diam, aku yakin dia memang akan membawa Sella ketempat yang tidak seharusnya.

"Saya bolos kuliah. Hari ini biar Sella saya jagain, gak usah mikir minta bayaran."

"Maaf, Bu."

Sekarang sudah berbuah lagi jadi ibu. Serah dokter Yudha saja lah.

"Pak, kenapa, sih, Sella mesti harus di bawa ke rumah sakit? Memangnya di rumah gak ada yang jaga?"

Yuda menggeleng.

"Dunia anak-anak itu bermain Pak, meski di rumah sakit  dia bisa bebas main tetap saja bukan lokasi yang cocok untuk anak seusia Sella."

"Saya tau, Bu. Tapi hanya itu yang bisa saya lakukan untuk menjaga Sella."

Ingin bertanya kenapa dan menyinggung perihal orang tuanya, tetap saja Yudha tidak akan menjawab. Aku sampai lupa belum menyuguhkan minuman.

Segelas teh hangat ku sajikan di atas meja. Sepiring gorengan pisang buatan ibu menemani sajian teh hangat.

"Sella bisa saya jemput sekarang?"

Berat sekali melepas Sella dalam situasi seperti ini, ingin Sella ada di lingkungan rumah ini namun yang berhak atas Sella adalah Yuda.

"Hari ini hanya ada jadwal cek-up pasien saja jadi setelah selesai saya langsung pulang ke rumah."

Lega sudah. Tidak merasa khawatir lagi dengan Sella yang pernah ku temui berjalan di koridor rumah sakit sendirian.

"Sella di kamar saya, Pak. Mari, saya antar."

Sella masih terlelap dengan posisi yang sama, lelaki yang di panggil om itu duduk di sisi ranjang, dia mencium kepala Sella.

"Maafin Om ya, sayang. Maafin Om."

Ada getaran dari suaranya, apakah Yuda merasa bersalah? Bersedih?

"Om sayang sama Sella."

Sella sudah berpindah digendongan Yuda, aku mengikuti langkah lelaki berkemeja garis-garis dengan lengan di kilin sampai siku itu. Membawa tas dan tempat makan Sella yang masih kotor lalu meletakannya di kursi depan. Pintu mobil ku buka, Sella di rebahkan di kursi penumpang.

"Ini, cukup?"

Yudha menepati janji, lelaki itu memberikan beberapa lembar uang di hadapanku. Rasanya tidak berhati sekali jika aku menjaga Sella hanya untuk perihal uang, bukankah Yuda sudah membayarku cukup mahal untuk satu bulan kelas les Sella?

"Tidak perlu, Pak."

Dia mengerutkan kening.

"Keluarga saya senang menajaga Sella. Apalagi ibu dan bapak."

"Yema, ini sudah menjadi janji saya, kan?"

"Sella anak didik saya, Pak. Sudah sepantasnya saya melindungi dan menjaga Sella."

"Kalau begitu saya permisi."

***

Hujan turun dengan cepat, deras dan membuat tubuh kedinginan. Kipas angin kecil di atas nakas ku matikan.

Rasa kantuk menyerang di kemalaman waktu yang semakin larut. Laptop ku matikan. Tempat tidur dan selimut menjadi akhir dari lelahnya tubuh ini.

Mata mulai terlelap sampai akhirnya sedenting suara dari gawai membuatku bangkit dan membuka pesan itu.

[Sella nangis, Bu.]

[Kenapa?]

[Biasanya gak pernah ngamuk seperti ini.]

[Sella kenapa, Pak?]

Deringan suara gawai memecahkan keheningan malam. Yuda menelfonku dengan mencoba video call. Suara hujan yang deras membuat pendengaran kian menuli.

Di sana wajah Yuda yang biasanya terlihat segar dan tampan, kini lebih sedikit masam, mungkin karena sudah malam terlewat rasa kantuk.

Samar-samar terdengar suara tangisan anak kecil yang pasti itu sang keponakan. Pilu sekali kedengarannya, ada apa dengan Sella?

"Sella kenapa, pak?"

Aku sedikit berteriak agar Yuda mendengar suaraku.

"Sella, ini ada ibu Yema, sudah nangisnya."

Yuda mendekatkan gawai pada Sella yang duduk di lantai dengan beberapa boneka dan mainan yang berserakan. Rupanya Sella benar mengamuk, rambut panjangnya berantakan.

"Sella mau tidur sama nenek."

Begitu suara yang keluar dari mulut si kecil.

"Saya gak tau nenek itu siapa, Ma?"

Kemarin ketika ibu meminta Sella untuk makan siang, si kecil itu menjawab sudah membawa bekal di tambah panggilan Nenek untuk ibu yang memang usianya sudah berumur.

Wajah Sella sudah berganti dengan sang om.

"Ibu saya, pak. Sella panggil ibu saya Nenek."

"Terus gimana ini?"

Yuda kembali mengarahkan gawai di depan Sella. Gadis kecil itu masih sesenggukan.

"Besok, kan,  Sella sekolahnya libur, nanti bisa main di rumah Ibu Yema. Tapi malam ini Sella harus istirahat dulu, yah?"

"Mau tidur sama nenek. Nenek suka tepuk-tepuk punggung Sella, suka pegang-pegang rambut Sella."

Ah, getaran dada ini kian sesak mendengar penuturan Sella yang selalu merindukan belaian orang tuanya.

Yuda, jika memang dia tidak ingin memepertemukan Sella dengan orang yang lebih berhak, kenapa juga dia tidak segera menikah saja dan menjadikan istrinya sebagi ibu angkat Sella, mungkin dengan begitu rasa rindu Sella kepada ibunya bisa tersalurkan.

"Malam ini Om Yudha yang tepuk-tepuk Sella. Besok sama nenek di sini."

Gadis kecil yang mulai berhenti menangis itu mengangguk. Dia berdiri merapikan seluruh mainan yang berserakan.

Syukurlah Sella sudah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, di susul Yudha yang masih mengarahkan gawainya pada wajah dokter itu.

"Maaf mengganggu waktu malam Bu Yema."

"Gak apa-apa, Pak. Besok kalau bapak tidak keberatan biar Sella main di sini sampai bapak pulang dari rumah sakit."

"Besok saya libur juga, bisa ikut jaga Sella. Tapi, apa tidak merepotkan, Ma?"

"Gak apa-apa, pak. Kebetulan cucu ibu dan bapak jauh di luar kota, kalau ada anak didik les saya yang telat di jemput ibu suka nemenin, ya... Itung-itung melepas rindu sama cucunya."

"Sella sudah mau tidur, Ma. Saya tutup, ya."

Aku mengangguk, setelah mengucapkan salam Yuda memutus panggilan video call kami. Aku kembali merebahkan tubuh dengan pikiran yang penuh pertanyaan tentang Sella.

Jika besok aku bertanya kepada Yuda apakah dia akan menjawabnya?


Komentar

Login untuk melihat komentar!