Berkutat dengan dunia pekerjaan yang di luar itu juga harus ektra dalam matari untuk mengisi skripsi, membuatku jadi mudah lelah dan ingin sekali menghabiskan waktu bersenang-senang.
Libur kali ini akan ku habiskan dengan berjalan-jalan, menonton film, berkuliner, berbelanja kebutuhan pribadi dan apapun yang bisa membayar lelahnya dua bulan kemarin di dalam perusahaan.
Rasti mengabari bahwa dia sudah dalam perjalanan menuju tempat swalayan. Yah, aku mengajak Rasti untuk menemaniku kali ini, tidak dengan Edo, karena nantinya malah akan membuat kebaperan tingkat akut, wajarlah jiwa kejombloanku suka meronta tiap melihat mereka mesra.
Kendaraan roda dua berwarna merah sudah berlaju, membelah jalanan ibu kota yang padat merayap. Mau weekend ataupun tidak tetap saja sama, macet dimana-mana.
Sampai satu jam kemudian barulah aku bisa menemui Rasti yang sudah menunggu di sisi pintu utama. Wajahnya sudah kusut karena terlalu lama menunggu datanganku.
Kami masuk dan mengambil troli masing-masing. Aku hanya perlu mengisi keranjang kosong ini dengan sabun mandi, pasta gigi, sikat gigi, shampoo, detergen dan kebutuhan pokok lainnya untuk sebulan penuh.
Rasti? Gadis itu malah membelikan beberapa keperluan Edo. Gel rambut, parfum bahkan dia juga membelikan facial foam yang iklannya di perankan oleh artis Al-Ghazali.
"Emang Edo anak elu, ya?" Sindirku ketika Rasti memilah sabun pencuci muka untuk sang kekasih.
"Kalo bukan gue yang beliin. Palingan dia pake cuci muka sabun batangan, itupun di satuin sama sabun badan." Rasti sedikit terkikik.
"Dasar aja si Edo!"
"Nanti lu juga ngerasain, Ma."
"Idih, manja bener pacar gue. Ogah! Beli sendiri lah."
"Dasar jomblo. Gue sumpahin lu dapet pacar yang apa-apa harus serba di layanin sama elu."
Kesal Rasti sambil memasukan beberapa produk kecantikan ke dalam keranjang.
"Jelek amat doa-nya."
Selesai berbelanja kami memutuskan untuk makan. Wajarlah kami berdua memang suka sekali rapel sarapan plus makan siang, jadi jam 11:00 itu waktu yang pas untuk mengisi perut yang keroncongan.
Pedagang ayam crispy di seberang jalan toko swalayan sudah menjadi langganan kami. Bubmbumya pas, crispy telornya juga mantap sekali di tambah sambal mata cumi menyempurnakan seporsi isi piring ini.
"Skripsi lu udah bab berapa, Ma?" Rasti memasukan sesendok nasi beserta cumi ke dalam mulutnya.
"Baru acc bab dua. Lagi nyusun bab tiga."
"Gue masih belum acc bab dua, ribet banget sama landasan teori. Revisi lagi, revisi lagi. Repot bener dosen." Gerutu Rasti, dia bahkan menghentakkan sendok ke dalam mulut yang nasinya menjulang. Aku terkekeh.
"Gue juga belum tanya gimana struktur organisasi perusahaan. Paling nanti minta bantuan sama Adrian, kalo enggak ya, sama pak Aditia."
"Enak lu, ada Adrian."
"Bab dua boleh lama di acc dosen, Ras. Tapi, kan, Edo mahir di flowmap susulan, Diagram konteks, Diagram Nol, perancangan basis data, normalisasi. Apalagi program, beuh, cil beud itumah di tangan Edo. Elu tinggal nyantai tau beres aja, kan."
Edo, lelaki bermata legam itu menjadi mahasiswa terbaik dalam urusan materi programing. Jangan tanya nilanya pada materi Visual Basic, Web dan yang berhubungan dengan codingan. Dia lelaki pengulik dunia Java script. Aku juga suka meminta bantuan Edo jika ada script codingan yang error.
Kami bertiga memang saling melengkapi, jika Edo juara di dunia per-programan, aku menguasai dunia materinya sedang Rasti bisa ikut andil dalam memberi masukan yang baik setiap kali aku dan Edo mendapatai ide buntu.
"Edo udah ngulik aja. Katanya program itu nomor satu, kalo udah beres tinggal nyelesein bab lain."
"Nah, kan. Gue yakin program elu juga lagi di garap. Udah beres, tinggal Edo terangin ke elu. Gue? Boro-Boro ngulik codingan, struktur tabel-nya ada belum gue bikin."
Tanpa terasa kami berbincang cukup lama. makan siang yang tersaji sudah tandas sejak tadi, kami hanya asyik menikmati materi skripsi.
Tidak terasa sebentar lagi aku akan segera lulus kuliah. Haparanku semoga jasa magangku di perusahaan Aditia bisa di terima dan mengontrakku menjadi karyawan perusahaan. Bukan karena ada Adrian, hanya saja aku yakin mencari pekerjaan di luar sana tidak semudah apa yang aku bayangkan. Paling tidak nanti ketika sudah lulus, aku memiliki pegangan pekerjaan untuk membiayai hidup keluarga.
Selesai menyantap makan siang aku dan Rasti buru-buru masuk ke dalam Mall. Lokasi tempat di kota ini memang saling berdekatan jadi memudahkan kami yang ingin menghabiskan waktu liburan.
Tiket film menjadi tujuan utama kami, terakhir nonton berdua dengan Rasti mungkin sekitar satu tahun lalu, sebelum Rasti pacaran dengan Edo.
Kami masuk ke dalam bioskop, sengaja memilih kursi setengah tinggi agar memudahkan kami menonton layar besar itu.
Lampu sudah mati, hanya ada cahaya dari layar besar di depan sana menampilkan sebuah film ektra romantic anak muda. Itu film Dilan dua, loh, yang akan tayang bulan depan. Kayaknya aku juga harus nonton lagi supaya tahu jalan cerita selanjutnya, meski entah dengan siapa, yang penting catat saja dulu jadwalnya.
"Bulan depan aku pengen nonton itu, Mas." Suara manja seorang wanita berambut panjang tengah duduk di kursi depan.
"Kalo belum terbang, Mas temenin." Jawab sang lelaki dengan mengeratkan tangannya pada pundak sang wanita.
"Dua bulan lagi aku berangkat."
"Nah, ya sudah nanti weekend bulan depan kita nonton lagi."
"Mas, abis ini kita pulang, ya. Aku takut ketauan mas Yudha."
Yudha? Aku mengarahkan pandangan pada sepasang sejoli di depan sana, penasaran Yudha siapa yang dia maksud. Apa dokter Yudha? Wali anakku dari Sella? Apa dia Akila? Pacar Yudha dan berselingkuh di belakang Yudha?
"Ras, tukeran tempat duduk dong." Aku berdiri tanpa menunggu keputusan dari Rasti. Dengan duduk di kursi sebelah sini aku bisa melihat jelas siapa wanita yang berambut pajang itu.
Rasti bangkit dan berpindah kursi. Aku duduk dengan rasa gelisah. Jika benar di depan sana adalah Akila?
"Kamu gak ijin kemana gitu, ke Yudha."
"Cuman ijin ada keperluan aja."
Wanita berambut panjang itu merapatkan diri pada rengkuhan sang lelaki. Dengan sedikit mencondongkan tubuh, diam-diam aku menangkap sosok lelaki yang duduk di sisi wanita itu, Aditia? Akila?
Terkejut, itu saja yang aku rasakan. Permainan macam apa ini? Bukankah Aditia tahu bahwa Akila itu kekasih dari sahabatnya? Lalu kenapa Adita menjalin hubungan juga di belakang Yudha.
Bukti satu-satunya adalah aku harus memotret mereka, memberikannya kepada Yudha. Bukan aku ikut campur, hanya saja Yudha sudah sangat baik membantuku untuk bisa menyelesaikan KKN, tapi ... Bukankah Aditia juga menerimaku sebagai karyawan magang.
"Penonton sekalian film bioskop akan segera di mulai, mohon simpan ponsel anda untuk tidak mengambil gambar apapun saat film sedang berlangsung."
Pemberitahuan itu membuatku mengembalikan gawai pada tas selempang. Film romatis yang harusnya ku nikmati malah membuatku lebih fokus pada Adita juga Akila, mereka begitu mesra.
Bagaimana perasaan Yudha jika tahu kekasihnya berselingkuh dengan sahabat sendiri.
***
"Berhubung hari ini tanggal lima belas, jadi untuk seluruh staf di mohon meluangkan waktunya ikut hadir dalam acara perusahaan. di restoran bintang pukul 20:00 malam."
Adita menuturkan di sela meeting pagi ini. Entah acara apa yang dia maksud. Ingin bertanya namun tidak ada mbak Eti, beliau mengabari bahwa si kecil sedang sakit jadi tidak bisa masuk kerja.
Adrian, lelaki beralis tebal itu duduk di sampingku, dia tersenyum dan membisikkan sesuatu kepadaku.
"Acara bulanan setiap tanggal lima belas pasti ngadain makan-makan di luar."
Aku mangangguk. Pantas saja aku tidak tahu, bulan kemarin belum menjadi prioritas. Karena masih menyandang karyawan magang lantaran masih baru jadi tidak di perbolehkan ikut andil.
"Kamu berangkat bareng aku, ya?" Bisiknya lagi.
"Adrian!" Seru Aditia tidak suka ketika jadwal meeting di ganggu dengan kesibukan lain.
"Kalau mau ngobrol silahkan di luar."
"Maaf pak."
"Meeting pagi ini saya tutup. Selamat bekerja semuanya."
***
Bel pulang sudah berbunyi, seluruh karyawan-pun sudah keluar dari ruangan. Aku masih berkutat merapikan dokumen apalagi lembaran kertas yang sengaja aku tulis untuk materi skripsi.
Adrian datang, dia menungguku di depan pintu sambil sesekali melirik bergantian dengan gawai yang di mainkannya.
Melihat Adrian di ambang pintu, mengingatkanku pada Aditia, wajahnya sangat mirip dengan sang kakak, seketika ingatan akan kemesraan Aditia dengan Akila membuhi isi kepala.
Apa adrian tau hubungan kakaknya dengan Akila? Atau memang Adita sengaja menyembunyikan perselingkuhannya dengan kekasih sahabatnya sendiri?
Bodoh! Mana ada selingkuh di depan mata! Cari mati namanya!
Adrian membuka jaket kulit cokelat tua, dia memintaku untuk memakainya.
"Kita naik motor, Ma."
"Kamu gak pake jaket, gitu?"
Adrian hanya mengenakan kemeja biru tua, tidak di lapisi sweeter juga. Dia menyambar jaket yang masih berada dalam genggamanku, memakainya dengan sangat lembut pada tubuh ini.
"Kalo kamu sakit nanti gak masuk kerja, mau skripsinya di tunda taun depan?"
"Dih, doanya jelek banget, sih. Gak mau, lah."
"Cakep, kan pake jaket Abang Adrian."
Abang? Sejak kapan panggilan itu berada di depan namanya? Aku terkekeh dia malah menyentuh kepalaku dengan usapan lembut.
"Udah, ayu berangkat, telat nanti. Kak Adit bisa murka."
Aku mengangguk membiarkan lelaki beralis tebal itu menggandeng lengan ini.
Malam ini pertama kali aku duduk di boncengan motor Adrian, biasanya aku selalu menolak lantaran rasa Adrian yang membuatku tidak nyaman. Namun entah mengapa siring waktu seringnya bertatap muka di perusahaan ini malah membuat hubungan kami menjadi lebih dekat.
Menu masakan khas Jepang sudah tersaji di atas meja. Kata Adrian boss sekaligus kakaknya itu sudah memesan tempat sejak kemarin jadi ketika kami sampai semua sudah siap.
Adrian tetap berada di sampingku, mungkin dia hanya mencoba memberi ruang pengetahuan akan perusahaan kakaknya yang aku banyak tidak tahu.
Obrolan sang Boss dengan seluruh staf hanya ku dengarkan saja, aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, meski begitu sesekali Adrian memaparkan apa yang di maksud dalam obrorlan tersebut.
Disisi Adrian yang menyebalkan, ternyata dia sangat pandai juga sangat manis. Eh, ini kenapa jadi bahas Adrian, sih!
***
"Yan, aku butuh materi buat bab tiga. Struktur organisasi perusahaan, visi misi perusahaan juga sejarah singkat perusahaan."
Ujarku ketika Adrian duduk di kursi depan rumah setelah mengantarku pulang.
"Besok aku kirim email, yah."
"Boleh, biar cepet beres juga."
"Program udah garap, Ma?"
"Belum, beresin bab tiga dulu, lah."
Setelah berbincang Adrian pamit pulang, lelaki yang sudah mengenakan jaket kulit cokelat itu menaiki motor hitamnya.
Kenapa jadi terlihat keren, sih!
Suara klakson motor membuat tanganku melambai. Aku tersenyum kala lelaki itu meninggalkan area rumah ini.
Adrian yang sudah terlihat lagi. Sedenting suara gawai membuatku mengalihkan netra,
aku meraih tas selempang yang tersimpan pada meja kecil.
[Sella demam.]
Sebuah pesan dari Yudha. Lagi-Lagi lelaki itu menghubungiku hanya karena masalah Sella. Sebenarnya Sella itu siapa saya? Keponakan, bukan. Hanya gadis kecil yang kebetulan menjadi anak didik lesku. Hanya saja setelah kejadian Sella dititipkan padaku lantaran Yudha mendapatkan pasien mendadak, Sejak itu pula Sella jadi anak yang manja pada keluargaku.
[Bapak, kan dokter, tolong obatin Sella.]
Kukirim pesan pada Yudha. Kenapa dia tidak berfikir panjang, bukankah dia seorang dokter, maka dia pasti bisa mengobati Sella, bukan aku yang hanya seorang guru lesnya.
[Dateng sekarang ke rumah.]
[Saya baru pulang kerja, pak.]
Tubuhku terasa lelah, aku hanya ingin tidur dan istirahat. Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, aku langsung merebahkan diri di atas tempat tidur. Ah, rasanya nyaman sekali.
Suara gawai kembali berdenging, aku yakin itu dari Yudha yang menyuruhku untuk datang menemui Sella.
Bukan aku tidak sayang pada gadis kecil itu, hanya saja kenapa harus aku yang dia cari, kenapa bukan Akila yang jelas-jelas akan menjadi tante dari Sella.
Aku menonaktifkan gawai yang sedari tadi menari-nari memunculkan nama 'Pak Yudha'. Ku harap Yudha bisa memahami kondisi statusku pada Sella, bahwa aku hanyalah seorang guru les tidak lebih dari itu.