Istriku Hamil?
Sore itu aku tiba ke rumah setelah tiga bulan lamanya mengais rezeki di ibukota. Tentu saja aku kembali dengan alasan rindu pada anak istri. Anak lelaki berusia empat tahun, sedang lucu-lucunya diajak bermain dan bercerita apa saja. Meski cadel, tapi asik bila didengarkan, banyak hal yang ingin ia tahu. Pernah bertanya padaku tentang uang.

"Pa, uang itu duit, ya?" tanyanya antusias, terdengar lucu tapi memang dia ingin tahu.

"Iya, Nak. Uang itu duit," jawabku sambil mengulang pernyataan.

"Kalo mobil itu pesawat, ya?" tanyanya lagi penasaran.

"Bukan, Nak. Mobil memiliki roda empat dan tidak bisa terbang, hanya bisa dikendarai di jalan sedangkan pesawat itu bisa terbang seperti burung. Mampu menampung puluhan penumpang," jelasku panjang lebar dengan senyum dan tak henti menciumi pipi gembulnya.

"Oh.."

Itulah kelucuan putra sulungku. Selalu memberi rasa rindu. Namun, ada yang lebih memberi rasa kangen lagi. Siapa lagi kalau bukan istriku. Capek, lelah, dan letihku akan sirna seketika bila memandang wajahnya tersenyum mesra untukku, cantik sekali.

"Mau mandi, Bang?" tawarnya setelah beberapa lama aku tiba.

"Iya, aku mandi dulu, ya," jawabku berlalu ke kamar kecil di belakang rumah.

Iya, beginilah suasana di kampung, kalau musim hujan pasti banyak air di sumur tapi saat kemarau harus rela mandi ke sungai yang berjarak sekitar lima puluh meter lebih. Tidak jauh memang, tapi risih ketika banyak ibu-ibu mencuci dan juga mandi di sana. Pernah kutawarkan untuk membuat sumur bor supaya tak perlu repot lagi ke sungai, tapi mengingat harga jutaan membuat istriku melarang. Katanya uang sebanyak itu lebih baik buat modal berdagang.

Ide cemerlang, di rumah ini, istriku menjual aneka mainan anak-anak. Untungnya juga lumayan, bisa berlipat. Kalau yang modal seribu rupiah bisa dijual dua ribu. Para bocah sekitar pun tidak keberatan merogoh uang jajan mereka untuk membeli mainan bagus dan unik. Pokoknya kami menjual lebih murah dibanding yang lain, biar untung dikit asal lancar. Ambil ilmu dagang orang China.

Setelah selesai mandi, aku bergegas ke masjid. Sebentar lagi waktu maghrib tiba. Jarak dari rumah ke masjid hanya terpisah lima buah rumah, dekat sekali. Bersama si kecil, kutunaikan kewajibanku secara berjamaah di bangunan paling tua di kampung, boleh dikatakan masjid pertama yang berdiri di kecamatan ini.

Pulangnya, makan malam bersama kami lewati penuh kehangatan. Kedua mertua dan kakak iparku yang masih lajang sumringah menyambut kehadiranku di meja makan. Iya, adat di sini, si lelaki harus tinggal di rumah mertua selama belum mempunyai rumah bangunan sendiri.

Aku duduk di samping kakak ipar, sementara itu istriku di hadapanku bersama si kecil. Ibu dan anak itu makan dengan lahap. Tangan lembut Maya begitu telaten menyuapi Dzaki. Ingin juga rasanya disuapi dia tapi keadaan di rumah tidak memungkinkan. Banyak orang hingga tidak leluasa untuk berbagi kemesraan.

Melihat dan menatap istriku berlama-lama, rasanya malam ingin segera kutarik hingga semua terlelap dan aku akan mengurai rindu di dada yang telah lama membeku. Tiga bulan tanpa sentuhan dan kasih sayang, jelas aku rindu itu.

Sambil menyuapkan nasi ke mulut, tiada henti kupandangi ia. Perasaanku wajahnya semakin putih, atau mungkin karena cahaya lampu. Juga sedikit lebih kurus dari sebelumnya, sakitkah dia? Tapi sudahlah, mungkin ini hanya perasaanku lama menanggung rindu berat sebanyak berton-ton. Pokoknya malam ini semua harus terbayarkan. Bila perlu dituntaskan hingga beranjak siang. Bagaimama dengan mandi wajib? Apa tidak malu bila ketahuan oleh mertua? Itu urusan nanti, mereka pun pasti mengerti bagaimana rasanya bagi seorang suami pulang dari merantau.

Tak terasa, selang beberapa waktu adzan isya berkumandang. Itu tandanya aku harus ke masjid lagi. Mumpung masih muda dan energi masih banyak. Tetap kuat dan penuh semangat. Kalau mau beribadah menunggu masa tua, takutnya mulai sakit-sakitan dan semangat telah mengendor. Lagipula, apakah usia kita terjamin hingga tua?

"Dzaki, ikut ke masjid lagi, yuk," ajakku pada anak semata wayang.

Sambil melangkah, kugendong si kecil seraya bercengkrama dalam canda. Terbersit di benak kalau anak ini sudah waktunya mempunyai adik. Usianya sudah empat tahun. Sebentar lagi dia akan PAUD, tidak salah kalau dihadirkan sosok teman bermain untuknya. Pria atau wanita sama saja, aku pasrah pada pemberian Yang Kuasa.

Pulang dari masjid, banyak teman yang mengolokku. Mereka memainku dengan canda tentang kerinduan seorang perantau yang lama berpisah. Keseruan di ranjang sama persis seperti saat hendak berangkat mencari rezeki di ibukota. Melelahkan tapi penuh kenikmatan.

Aku hanya tersenyum menanggapi guyonan mereka. Itu semua biasa karena memang diriku yang sedikit usil suka menjahili orang. Jadi wajar kalau banyak yang membalas.

Di rumah, semua seakan mengerti kemauan diriku. Mertuaku sudah mengunci kamarnya, mereka mengurung diri di sana. Sedangkan kakak iparku pergi bersama temannya. Biasalah, anak muda. Mungkin bertandang ke pacarnya atau sekedar berkumpul bersama.

Akan tetapi, berbeda dengan kami. Si kecil belum juga mau memejamkan mata. Mulutnya aktif bertanya tentang segala macam yang belum ia ketahui. Kurayu dan kubujuk supaya tidur, malah dia menarik tanganku untuk mengajak menonton televisi yang menyajikan aneka film anak-anak hingga malam. Aku kebingungan dibuatnya, sudah berat ujung, nih.

Lama menonton, tapi belum juga mau terlelap. Akhirnya ibu mertua keluar mengajak Dzaki ke dalam kamarnya.

Yess! Aku gembira sekali. Secepat kilat masuk kembali ke dalam kamar. Senyumku melebar melihat Maya sudah menungguku di pembaringan.

"Bagaimana? Sudah siap?" godaku mencolek punggung Maya.

"Siap apanya, Bang," jawabnya tersenyum makin membuatku gregetan. Seumpama dia makanan, pasti telah kulahap sampai habis.

"Biasa, kalau Papa pulang, Mama pasti basah," jawabku genit berbisik di telinganya.

"Geli, ah," ucap Maya kian memancing syahwatku.

Kukecup pucuk kepalanya, rambut indah nan tergerai itu dibelai mesra. Sungguh, aku sangat mencintai istriku.

"I love you, Sayang," bisikku lagi dengan napas berantakkan. Dadaku bergetar kuat, jantung ini berdebar kencang. Cinta pada wanita yang sama selama lima tahun tak kan memberi rasa bosan untuk disentuh, bahkan terus ketagihan.

Dia mengimbangiku, kedua tangannya menggelayut manja di leherku. Lalu, tangan itu bergerilya ke mana-mana. Melepas kancing baju koko yang masih kupakai satu per satu.

Aku pun tak mau kalah, kuserang dia penuh nafsu. Bibir ranumnya kulumat lembut. Makin lama makin mengasikkan. Namun, tak lama kemudian, dia mendorongku.

"Ada apa, Sayang," tanyaku penasaran melhiat dia tanpa pakaian atas.

Lalu, sambil memegang mulutnya, ia memungut baju piyamanya dan bergegas keluar. Sepertinya dia mau muntah.

Aku penasaran. Apakah hawa mulutku bau?

"Hah.." desahku kuat di depan telapak tangan untuk mencium bau mulutku.

Tidak, baunya tidak seperti yang kuduga. Tidak busuk. Jadi, apakah yang membuat dia ingin muntah? Atau jangan-jangan ...

Kususul istriku di kamar mandi belakang.

"Dek, buka pintunya. Kamu kenapa?" panggilku lembut seraya mengetuk pintu.

Dia membuka pintu, dan kulihat banyak bekas muntahannya di toilet. Apa yang dia santap di meja makan tadi terkeluar semuanya. Nasi putih itu tidak lagi menghuni perut istriku.

Kusiram sampai bersih, tangan ini mengelus tengkuk Maya. Punggungnya juga kuurut.

"Kamu sakit?" tanyaku iba.

Dia menggeleng.

"Mungkin masuk angin. Aku kerok, ya," tawarku kasihan pada istri tercintaku.

"Tidak usah, Bang. Bentar lagi juga enakan," jawabnya terus mengeluarkan suara ingin muntah.

"Kalau gitu kita ke bidan saja, ya?" ajakku lagi, aku tak ingin ada apa-apa dengan dirinya.

Meski daerah kami masih terbilang perkampungan, tapi keadaannya sudah sangat modern. Banyak tempat menarik tersaji di sini. Jalan yang sudah beraspal dari pangkal hingga ujung kecamatan, jaringan internet begitu lancar untuk bersosmed, dan masih banyak lagi kecanggihan masuk ke kampung kami.

"Terakhir menstruasi kapan?" tanya bidan itu.

"Tiga bulan lalu. Tepatnya 10 Oktober," jawab istriku tegas.

Benar, saat aku hendak berangkat ke ibukota dulu dia lagi datang bulan. Jadi tidak ada bekal untukku merantau.

Lalu, istriku diperiksa secara intensif. Aku tidak mengerti apa-apa. Hanya menonton saja dan mendengarkan percakapan mereka.

"Selamat, ya Pak Fajar, istri anda hamil tiga bulan," ucap bu bidan tersenyum kepadaku.

"Apa? Maya hamil? Bukankah waktu itu dia tidak kucampuri. Siapa yang menghamilinya? Anak siapa ini?" tanyaku terkejut dalam hati dengan mata terbelalak.

Next