Gontai, aku pulang dengan berjuta rasa tak menentu. Istriku benar-benar telah selingkuh. Dia hamil anak orang lain, mau dibawa ke mana mukaku ini. Malu dan bagai tidak punya harga diri. Entah dianggap apa aku di mata Maya.
Kulihat Dzaki anakku masih asyik di depan layar kaca, ibunya sudah mandi dengan rambut dibalut handuk kecil. Dia menggelabuhi seisi rumah supaya dianggap mandi basah padahal aku belum menjamahnya dan tsk ingin menyetubuhi wanita ini lagi. Biar kukubur saja segala hasrat bergejolak, akan kutepis birahi bercinta dengannya. Tak mengapa, lagi pula sudah terbiasa berbulan tidak menikmati itu. Niatku, dia pasti kulepas ketika bayi itu lahir.
"Belum mandi, Bang? Ayo mandi dulu, biar segar," suruh Maya saat aku menikutinya masuk ke kamar.
Aku bungkam, diamku pertanda amarah. Mataku tajam menatap manik indra penglihatannya. Dia menghindar seakan tahu kalau ada kebencian yang kini tumbuh di kalbuku.
"Jangan pandang aku seperti itu, Bang. Mesra dikit kenapa?" pintanya menggelayut manja di bahuku.
Kuturunkan kedua tangan istriku, aku jijik disentuhnya.
"Abang kenapa?"
"Masih banyak tanya pula, aku ingin tahu siapa pemilik janin dalam perutmu?!" ucapku kasar.
Dia tertunduk, lalu pergi menghadap lemari pakaian dan mengambil baju.
"Katakan dulu padaku, kumohon jujurlah," pintaku sungguh-sungguh.
"Bang, murni ini anakmu," akunya seolah tak bersalah.
"Bohong! Kau ingat saat aku mau berangkat ke ibukota dulu? Tanganmu ini yang memuaskanku, bukan dengan hubungan s**s!" marahku tak bisa kutahan lagi.
"Tapi itu kan memang kemauan Abang," elaknya beralasan.
Kudongakkan wajah menghadap mukaku, "Aku tak pernah meminta itu kalau engkau tidak lagi lampu merah. Jadi siapa yang telah menghamilimu, cepat ngaku atau.."
"Atau apa, Bang? Apa?!" Kini dia yang membentakku seakan memang aku yang bersalah.
Dikiranya aku akan takut melihat tangisan buaya betina dan amarahnya, justru ini semakin membuat aku tersulut emosi.
"Mulai berani membentak suami, ya?"
"Iya, karena aku gak tahan diperlakukan sekasar ini!" isaknya sambil berceracau.
"Kalau bukan karena hamil, pasti engkau sudah kutampar," geramku dengan dada turun naik.
"Tampar, Bang. Ayo tampar!" tantangnya menghadap dengan gaya dibuat-buat.
Tak sengaja, tangan ini menyentuh pipinya dengan kasar. Baru kali ini aku melakukan kekerasan terhadap wanita, sebelumnya selalu kuhargai dan kuhormati karena dari kaum merekalah aku terlahir di muka bumi. Insan mulia di jagad raya, dialah wanita tapi sekarang aku berdosa, terkutuklah aku.
Maya semakin terisak memegangi pipi yang memerah. Dia membenamkan wajah di bantal. Sungguh, aku tak tega melihatnya, teringat bagaimana dia bersusah payah saat melahirkan anak pertama dan aku menangis mendengar jeritan pilu. Kala itu, kalau bisa diganti, biar aku saja yang merasakan sakit melahirkan. Maafkan aku, Maya.
"Nanti setelah bayi itu lahir, aku akan menceraikanmu," ucapku spontan, lugas dan tegas tanpa rasa iba.
"Bang? Sadarkah Abang mengucapkan itu?" tatapnya mengharap kasihan dariku tapi percuma, semua telah menjadi bubur.
"Aku sadar, sama sadarnya saat engkau berkali berhubungan intim dengan lekaki lain di kamar ini," sahutku tanpa menoleh.
"Pikirkan nasib anak kita," ucapnya yang kini bangkit dan duduk di tepi ranjang.
"Kau juga tak pernah memikirkan Dzaki saat menikmati asmara terlarang bersama lelaki bang**t itu," jawabku mulai tenang, dada tak lagi bergemuruh.
"Tapi ini anakmu, Bang."
"Stop! Berhentilah membual, dia bukan anakku," perintahku melambaikan telapak tangan.
"Masalah anak, tak apa-apa dia ada padamu," ucapku lagi.
"Iya, supaya Abang lebih leluasa membujang dan mencari istri lagi, kan?" pungkasnya tetap ingin menyalahkanku.
"Kau yang bersalah tapi selalu menuduhku yang bukan-bukan. Kita buktikan nanti saat anak ini lahir, tes DNA." Dia terbelalak mendengar perkataanku.
"Mengapa? Takut? Gak perlu, ini semua sudah kehendakmu. Jadi, kuikuti permainanmu." Aku tersenyum sinis melihat dia ketakutan.
Bisa-bisanya Maya ingin menyalahkanku. Kalau saja ada bukti berupa video saat dia bermes*m ria, pasti dia tidak bisa berkutik lagi.
Meski dia belum mengatakan siapa lelaki yang menidurinya, tapi aku sudah tahu semua. Pria berkulit putih dengan tubuh lebih atletis di banding aku, siapa lagi kalau bukan dia. Pria bang*at tak punya malu, pantas tidak ada gadis yang mau alias tak laku-laku.
Aku keluar, kutinggalkan Maya yang masih terpaku. Ingin kusegarkan tubuh ini, sudah pukul delapan pagi, mandi memang hal terbaik untuk memperoleh kebugaran saat raga terasa kotor.
"Kau apakan adikku, hah?!" Tiba-tiba saja kakak ipar mengcengkeram bajuku, aku terkejut.
"Bang, apa-apaan ini?" tanyaku tak mengerti.
"Kudengar Maya menangis, kau apakan dia? Jangan berbuat macam-macam di rumah ini, ya," gertaknya geram menatapku.
Kuakui, aku yang bersalah. Di rumah ini bukan saja ada aku, istri dan anakku, tapi ada juga kakak ipar dan kedua mertua yang kini pergi berdagang ke pasar pagi. Harusnya aku pandai menjaga diri dan menghormati mereka, bukan dengan berbuat kasar. kalau memang ada keributan, sebaiknya ditahan dan diselesaikan secara baik-baik bukan dengan kekerasan yang akhirnya menimbulkan airmata kesedihan. Pasti, siapapun juga tak mau menangis akibat luka hati. Semua mengharap bahagia.
"Kami hanya ribut kecil, Bang," jawabku jujur.
Kak Dendi mendorongku. Dia marah karena aku telah melukai hati adik perempuan satu-satunya. Mereka hanya dua bersaudara, wajar bila kakak iparku ingin membela dan menjaga Maya.
"Aku tidak senang kalian ribut-ribut di rumah ini, faham?!" bentaknya dengan mata tajam menusuk membuat nyaliku bergidik.
Dia itu penyayang dan ramah tapi ada sisi jahat, semua orang sanggup ditaklukannya bahkan sekelas preman pun dia mampu melumpuhkan.
"I-iya, Bang. Tapi.." sahutku terputus.
"Tapi apa? Cepat katakan?"
"Maya hamil oleh lelaki lain." Aku memberanikan diri mengatakan hal yang sesungguhnya. Lambat laun semua akan terbongkar juga kalau aku tetap tidak terima atas kehamilan itu kecuali aku ikhlas.
"Kamu jangan berkata bohong, mana mungkin, ini mustahil," kata Kak Dendi dengan mimik berubah, marah menjadi murung.
Perubahan itulah semakin menguatkan kecurigaanku. Benar kata tetangga, pria inilah pelakunya.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya, "Iya, Bang. Ini nyata," jawabku sambil menyeritakan dari awal keberangkatan hingga kembalinya aku di rumah ini.
Kak Dendi terduduk lesu. Pandangannya merunduk seakan ada hal yang ditakutinya.
"Apa kau tahu siapa pelakunya?" tanya Kak Dendi lembut.
"Aku tahu, Bang."
"Siapa dia?"
Lidahku terasa keluh untuk menyebut nama lelaki yang telah menghamili Maya. Aku tidak sanggup mengatakannya.
"Katakan padaku siapa?!" Aku terkejut bukan main karena Kak Dendi membentakku kuat.
"Papa, ada apa ini?" Beruntung, anakku menyelamatkanku dari pertikaian perihal kehamilan wanita yang paling kucinta di muka bumi.
Dzaki langsung menghampiri dan memelukku erat.
"Papa, Dzaki takut."
Astaghfirullah. Pantas bila dia takut, baru kali ini di rumah kediaman kami ada keributan, sebelumnya selalu harmonis dan bahagia dengan canda tawa riang.
"Tidak apa-apa, Nak. Ayo temui Mama, Papa mau mandi," bujukku merayu agar dia tidak merasa takut lagi.
"Mama lagi menangis di kamar," terang Dzaki.
"Bang, aku pergi sebentar mengajak Dzaki berkeliling desa, ya," pamitku kepada Kak Dendi yang masih kacau.
Terpaksa, aku meninggalkan Kak Dendi seorang diri. Dzaki minta ditemani, kuhibur dia sambil naik sepeda motor. Kami berkeliling untuk menenangkan jiwa, bukan hanya jiwa anakku tapi juga aku yang masih berkabut biru.
Ah, kalau saja anakku tidak hadir, pasti telah kuberitahu siapa lelaki yang menghamili istriku. Kak Dendi akan bertambah kaget mendengar jawabanku. Tunggulah saatnya nanti, akan kubeberkan semua, pasti kubuka tabir rahasia antara cinta istriku dan lelaki itu.
Namun, apa benar Kak Dendi tidak tahu atau berpura-pura saja? Tapi sudahlah, sebaiknya kuikuti saja permainan ini. Aku akan berlakon sesuai peranku, bersandiwara dulu sebaik mungkin agar bisa menyingkap semua kepalsuan di rumah mertua. Zaman sekarang, tak ada yang bisa membedakan antara garam dan penyedap rasa. Rasa asin itu murni tapi pitsin itu penuh kepalsuan, nikmat tapi menyengsarakan di kemudian hari.
Tunggu saja nanti, pasti kubeberkan semua.
Next