Tak Tentu Arah
Angin malam itu bertiup lembut, suara serangga malam memecah sunyi sepanjang jalan pulang. Aku membisu menyimpan berjuta pertanyaan campur prasangka. Siapakah gerangan yang telah menghamili Maya, lelaki bia*ab mana itu? Aku ingin bertemu dan menyerahkan wanita di belakangku ini secara baik-baik. Bukan ingin berdebat atau mengadu kekuatan, hanya meresmikan cinta terpendam antara mereka berdua agar menjadi cinta halal, tidak bermain serong.

Maya juga diam seribu bahasa. Meski tangannya memeluk erat di pinggangku, tapi hati ini terlanjur robek mendengar penjelasan bidan yang memeriksa kehamilannya. Tak ada respon atau gairah atas pelukan itu. Aku abai, maaf bila ini salah, ampun jika ini dosa.

"Bang." Dia akhirnya memanggilku, mungkin bosan, mungkin juga takut karena melewati area pemakaman.

"Mhm," sahutku kesal tapi disembunyikan agar dia jangan tahu.

"Dingin.." rayunya menyandarkan dahi di punggungku.

Aku diam. Lagi, penyataannya kuabaikan. Maafkan aku, Tuhan, bila ini dosa besar tapi hatiku terus menaruh curiga dan yakin seyakin-yakinnya kalau benih yang kini ada di rahim istriku bukanlah milikku. Sekali lagi, ampuni aku.

Aku menyipitkan pandangan, lirih menatap nasib rumah tangga ini ke depan. Entah apa yang bakal terjadi selanjutnya. Jelas, aku tak terima atas pengkhianatan ini. Karena apa? Nun jauh di ibukota sana, aku bisa saja bermain wanita sesuka hati, tinggal pilih mau yang seperti apa asal siap isi dompet. Namun semua itu tak pernah terlintas sama sekali di otakku, aku hanya mau menggauli istriku tercinta satu-satunya bukan banyak perempuan. Inikah balasan kesetiaan cinta yang aku miliki?

Setiba di rumah, aku tidak ikut masuk. Kubiarkan Maya melenggang ke dalam, sementara diri ini duduk santai menatap langit hitam tanpa bintang. Gelap bak malam ketigapuluh.

"Bang, sudah malam. Ayo istirahat," ajak Maya kembali keluar sambil bergelayut di bahuku.

"Abang gerah, Dek. Tidurlah dulu, nanti Abang menyusul," jawabku tanpa menoleh, luka ini teramat dalam sampai darahnya tak mampu mengalir ke permukaan.

Maya kembali melangkahkan kaki ke dalam. Aku tak peduli, terlanjur sakit.

Pikiranku menerawang jauh membayangkan nasib anakku bila nanti ada perpisahan antara kami. Kalau terbukti jelas bila itu bukan anakku, resmi akan kuceraikan dia. Maaf sekali lagi seumpama niatku ini salah.

"Minum teh dulu, Bang." Maya mengagetkanku, dia menyuguhkan secangkir teh panas bersama biskuit kaleng.

Karena tak enak untuk terus diabaikan, kuterima suguhan yang ia serahkan.

"Terima kasih, Sayang," ucapku mencoba menetralisir hati, siapa tahu bisa kembali tenang seperti baru tiba tadi.

Tetap saja, sisi jahatku masih menguasai diri. Meski Maya sudah pergi dari sampingku, prasangka buruk terus meraja di kalbu. Jelas di ingatan, saat aku berangkat ke ibukota, dia lagi ada tamu atau berhalangan. Malam itu aku tidak menggaulinya tapi dipuaskan dengan caranya sendiri, aku pun terlelap akhirnya. Dan kini, ketika aku pulang, tiba-tiba dia hamil. Anak siapakah itu?

"Aarggh.." Aku meremas rambut sendiri, kesal dan benci mendominasi. Suara sengaja kutahan sedikit agar bapak dan ibu mertua tidak mendengar kekesalanku.

Kutinggalkan teh panas yang baru sekali hirup, pintu utama kukunci dari luar. Aku pergi mencari makanan di warung pempek Jangtek di depan masjid. Tempat yang keren karena setiap dinding dilukis oleh tangan telaten sebagai lokasi berselfi ria. Ada sayap lebar berwarna putih, cangkir raksasa berisi kopi hitam, hingga gambar lainnya. Meski tempatnya dekat dari rumah, tetap kugunakan sepeda motor.

Aku lapar. Ternyata benar kata orang, amarah menguras tenaga dan otak. Buktinya, belum begitu larut aku kembali kelaparan. Kupesan tekwan panas dan satu pempek kapal selam.

Si pemilik warung tersenyum memainkanku, "Lapar dalu iko judulnyo," ucapnya sambil tertawa.

"Berapa ronde, kan baru pulang?" sambungnya lagi mengejekku.

Kubalas dengan senyum semanis mungkin. Sudah lumrah, setiap orang baru pulang merantau pasti dikira melakukan hal demikian. Begitupun aku yang dikiranya habis bercinta hingga merasa lapar dan keluar rumah mencari makanan untuk kembali memulihkan tenaga.

Setelah merasa kenyang, segera kubayar dan pergi dari tempat itu.

"Lanjut sampai pagi, ronde ketiga," teriak pemilik warung tertawa lebar terus mengejekku.

Namun, motor matix yang kukendarai tidak melaju ke arah pulang menyebabkan tawa pemilik warung hilang seketika. Aku pergi menenangkan diri dengan tak tentu arah. Tanpa tujuan, kukelilingi saja kampung ini. Bagai orang gila saja, tapi ini bukanlah berjalan kaki.

Ke sana ke mari, pikiran tetap saja tidak bisa diajak kompromi. Kacau, aku benci keadaan ini. Seharusnya aku pulang, bicarakan semua baik-baik, selesaikan secara dewasa, bukan pergi seperti ini. Pantaskah aku disebut imam keluarga bila belum mampu mengatasi masalah? Wajarkah aku menjadi pemimpin rumah tangga kalau mudah goyah? Astaghfirullah.. Ampuni aku, yaa Allah.

Cukup jauh aku bersepeda motor, tiba-tiba cahaya kilat menerangi alam. Nampaknya akan turun hujan, tapi biarlah. Tidak mengapa kalau aku harus kehujanan malam ini, biar orang mengira kalau aku bukan menangis. Iya, akan kucurahkan segala keresahan ini pada tiap tetes air tertumpah dari awan. Akan kuluapkan seluruh resah bersama airmata yang menyatu dengan rinai bening.

"Allahuma shoyyiban naafi'an," bisikku ketika hujan benar-benar turun.

Deras sekali, anehnya, aku tidak merasa kedinginan. Kuteriakkan kegundahan hati malam ini. Kupekikkan hal yang mengganjal di benakku. Aku ingin kembali kepada keadaan sedia kala, ingin bermanja bersama Maya, memadu kasih melepas rindu, mengurai kebekuan rasa yang lama bersemayam. Namun, apa yang terjadi saat ini benar-benar membuatku terpukul. Aku tak ingin mencampurinya sebelum bayi itu lahir, akan kubuktikan kalau anak tidak berdosa itu bukanlah darah dagingku. Tapi siapa? Aku pun belum tahu.

"Bu, buka pintunya. Bu.." panggilku pada ibu kandungku di rumah setelah akhirnya aku merasa kedinginan.

"Fajar anakku, kapan kamu pulang? Mengapa kembali ke sini? Ayo masuk," ajak ibu di ujung tanya menyerangiku. Nampaknya beliau menaruh curiga.

"Tadi sore, Bu," jawabku singkat.

"Oh, terus ini dari mana? Atau jangan-jangan kamu ribut sama istrimu, ya?" serang ibu lagi kembali melempar pertanyaan.

"Tidak, Bu. Tadi aku menghantar kiriman teman, lagi pula mana pernah kembali ke rumah ini bila sedang bertengkar sama istri dan jangan dibiasakan ribut, tidak baik," kilahku menepis prasangka ibu.

"Sukurlah, Nak. Ganti baju dulu, nanti kalau hujan sudah reda baru kamu pulang." Ibu menyerahkan handuk dan kain serta baju milik bapak.

"Bapak mana?" tanyaku sambil mengganti pakaian.

"Ini sudah larut. Sudah jam 12 malam, Bapakmu sudah tidur. Mau minum teh panas?"

"Tidak usah, Bu. Sebentar lagi juga aku mau pulang," tolakku menyandarkan diri di sofa depan televisi.

Ibu menemaniku malam ini. Beliau menanyakan tentang keadaanku selama di rantau. Tak lupa pesan dan nasehat begitu banyak ia berikan padaku.

"Tinggalkan hal-hal yang bisa merugikan diri selama di negeri orang, jauhi narkoba. Dan ingat, bergaullah dengan orang soleh agar bisa ketularan," pinta beliau tiap kali bertemu.

"Iya, Bu."

Tak lama, hujan pun reda. Aku pamit meski cuaca di luar masih dingin. Ibu menitip salam untuk anak dan istriku, beliau sangat menyayangi cucu dan menantu, melebihi rasa sayangnya kepadaku. Kalau ada hal yang menjadi pemicu pertengkaran antara aku dan Maya, pasti ia membela ibunya anakku dan menyalahkanku. Kata beliau agar kami terus aman tanpa campur tangan orang ketiga yang membawa bensin.

"Api, kalau disiram pakai bensin semakin berkobar. Akan tetapi, saat disiram air akan mengecil dan akhirnya padam. Ibu ingin menjadi air dalam pertengkaran kalian, makanya memilih menyalahkanmu saja walaupun engkau dalam posisi benar," ungkap beliau kala itu di telingaku tanpa didengar Maya.

"Bang, dari mana saja? Sedari tadi aku kehilanganmu. Ditelpon tidak aktif dan ini baju siapa yang abang pakai?" tanya Maya menyambut kepulanganku di saat rintik hujan tengah malam.

"Ini baju Bapak, tadi aku ke rumah Ibu," jawabku ketus dengan mata melotot.

"Abang kenapa seperti marah padaku?" takut Maya menatapku.

Kutarik dia masuk ke kamar, ku kunci dan kubaringkan dia di peraduan.

Maya tersenyum saat aku melepas baju, mungkin otak binalnya mulai bekerja.

"Ayo, Bang. Aku rindu," desahnya manja.

Kuhampiri dengan hati berdebar, jantung berdetak kuat, tangan gemetar. Kutarik lembut bajunya, kancing bagian atas kubuka kembali.

"Sayang.." rayuku berbisik di telinganya, lalu sedikit kutarik rambut panjang itu.

"Katakan padaku, anak siapa di dalam rahimmu ini?!" bentakku nyaris tak terdengar, emosiku sudah naik ke ubun-ubun, tak mampu lagi menahannya.

"Bang, sakit," sahutnya juga berbisik.

Kami berdua sama-sama takut di dengar bapak dan ibu di kamar sebelah. Makanya semua percakapan dibisikkan, lembut tapi tetap kasar.

"Katakan, siapa Bapak dari anak ini?!" tanyaku lagi dengan gigi bergemelatupan.

Next