POV Ibu Mertua
Pagi buta aku dan suami telah siap mengais rezeki di pasar mingguan. Sedari malam semua barang telah dimasukkan ke dalam karung agar bakda subuh langsung berangkat. Saban hari selalu berganti tempat, bila Ahad di sini maka besoknya ke sana. Bahkan hingga ke tempat paling jauh pun aku datangi demi mengumpulkan keuangan.

Kami berdua tidak mau menjadi beban bagi anak-anak. Iya, meski mereka mampu memasilitasi kami dengan hidup layak, tapi suamiku menolak supaya tidak menjadi ungkitan di kemudian hari. 

"Ketika mereka akur semua akan baik-baik saja, akan tetapi saat dirundung masalah biasanya mencari titik kesalahan. Sebab itulah Bapak tidak mau hidup dalam tanggungan mereka, Bu. Selagi kita sehat, tidak ada salahnya tetap mencari rezeki. Hitung-hitung berolahraga," ucap suamiku waktu itu.

Aku pun mengikuti titah itu. Ke mana suamiku pergi, aku ikut menemani. Bukan karena cemburu tapi sebagai tanda kalau aku juga ingin membantu. Lagi pula, bila kata orang aku cemburu, itu sudah basi. Kami sudah bercucu, tentu usia tak lagi muda, persiapkan diri menghadapi maut saja. Dan, cucuku sekarang sudah besar, tak perlu lagi aku membantu ibunya mengasuh.

Kami ke pasar setiap hari menggunakan kendaraan roda empat. Bukan milik kita tapi sebagai penumpang pada mobil L300 langganan tetap. Sopirnya sudah hafal dengan kami, begitupun sebaliknya. Jadi, tak perlu repot untuk menunggu atau memesan, tinggal tunggu saja dia akan mampir untuk mengajak ke pasar.

Suatu ketika, di tengah perjalanan menuju pasar minggu, aku lupa sesuatu. Meminta mobil untuk berbalik arah rasanya tidak mungkin karena bukan kami saja penumpangnya. Banyak karung berisi barang dagangan yang kami duduki di bagian belakang mobil yang terbuka, tentu mustahil kalau semua membatal cuma gegara aku. Terpaksa, aku sendiri yang turun di tepi jalan. Lalu mencari taksi lain untuk pulang.

Ada yang tertinggal di rumah tapi aku tidak tahu itu apa. Aneh bukan? Berkali kuingat tetap saja gagal, pengaruh usia mungkin. Pokoknya aku ingin pulang, itu saja. Persoalan tentang sesuatu yang lupa biarlah nanti kukenang kembali setiba di rumah.

"Kok, cepat pulang, Bik?" tanya Ros, tetangga sebelah sekaligus keponakan. Ibunya sepupu denganku.

"Entahlah, Ros. Bibik ada yang lupa tapi tidak ingat itu apa, terpaksa pulang saja sendiri. Tapi pamanmu tetap jualan, kok," jawabku masih bingung memikirkan barang yang tinggal.

"Mungkin Bibik hanya perlu istirahat saja, capek karena terus mencari duit," timpal Ros tersenyum.

"Barangkali, Ros. Perasaan Bibik terasa aneh saja, bawakannya bagai ada yang lupa," sahutku sambil memegangi kepala.

"Sudah, Ros. Bibik masuk dulu, ya," ujarku pamit karena ingin merebahkan diri, terasa capek sekali. Mungkin dia benar, aku butuh istirahat.

"Iya, Bik. Silahkan," senyum Ros terasa janggal, sedari tadi terus saja tersenyum. Seperti dibuat-buat.

Namun, pintu rumah terkunci. Diketuk berkali tidak ada yang menjawab. Ke mana Maya?

Kurogoh ponsel dalam kocek, aku ingin menghubungi anak wanitaku yang telah bersuami dan memiliki seorang anak lelaki. Siapa tahu dia ada di rumah mertuanya.

Tidak aktif.

Aku mencari akal, kepalaku ke hulu ke hilir. Aku melambaikan tangan pada ojek yang baru saja lewat.

"Hantar aku ke sana," pintaku pada ojek supaya membawaku ke rumah besan.

"Kalau Dzaki memang di sini, tadi Maya yang menghantarnya," ujar besan kala kutiba di rumahnya.

"Mayanya ke mana?" tanyaku lagi penasaran.

"Kurang tahu juga, katanya ada kerjaan," jawabnya jujur.

"Apa dia tidak mengatakan ke mana perginya?" Lagi, aku berondongi besanku dengan banyak pertanyaan.

Besanku menggeleng. Langsung saja, aku putar balik ke rumah. Untung ojeknya belum kusuruh pergi. Niat awalku bila Maya memang di rumah mertuanya hanya ingin mengambil kunci saja, tidak untuk bertamu.

Kubiarkan cucuku di sana, mereka juga berhak untuk mengasuh anak itu. Lagi pula Dzaki sudah besar, jadi tidak terlalu merepotkan.

Rumah masih tertutup ketika aku membayar ongkos ojek pergi pulang. Totalnya sepuluh ribu rupiah saja.

Lagi, kuketuk pintu sambil mengucap salam, tapi tetap tidak ada jawaban.

Aku menepi duduk di bangku bagian pinggir rumah. Mataku tertuju pada jendela kamar Maya. Aku ingat kalau jendela itu belum ada teralinya, mudah sekali bila ada maling masuk ke rumah. Apa mungkin Maya lupa menguncinya saat berpergian?

Aku bangkit, ingin masuk ke rumah dari sana saja.

Kulangkahkan kaki ke samping rumah, tiba-tiba ada sesuatu menimpa kepalaku. Sehelai kertas yang digumul.

"Bibik, jangan ke sana," pinta Ros dari jendela atas rumahnya, sayang tidak terdengar oleh telingaku karena ucapannya teramat kecil, hanya berbisik disertai isyarat.

Oh, iya. Rumah kami dan rumah Ros itu berbeda, kami tidak meliki lantai dua sedangkan Ros berbentuk panggung dengan dua lantai.

Aku mendongak kembali, Ros berisyarat. Tangannya digerak-gerakan, entah apa maksudnya. Sungguh aku tidak mengerti.

Kugelengkan kepala, bukan pertanda menolak perintahnya melainkan tidak paham maksud yang ia utarakan.

"Kenapa?" tanyaku mengikuti dia, dengan isyarat dan juga berbisik.

Heran, mengapa dia jadi bicara aneh seperti itu. Biasanya dengan suara keras dan lantang tapi kali ini membuatku benar-benar tidak mengerti. Banyak sekali kejanggalan hari ini, ya.

Aku maju selangkah, lagi kertas itu menimpuk kepalaku. Kuabaikan saja, rasanya mulai dongkol. Tega sekali dia mempermainkan aku bibiknya sendiri. Usiaku tak semuda dia, kurang pantas bila diajak bercanda seperti ini.

"Bik! Bibiiikk!" Kali ini suara Ros terdengar lantang ketika aku menyibak tirai jendela.

Sebuah pemandangan menjijikkan tersaji di hadapanku. Maya tengah bergumul bersama seorang lelaki gempal berkulit putih. Meski wajahnya tidak terlihat tapi aku bisa mengenalinya. Terku*uklah mereka berdua.

Aku ingin menjerit tapi tertahan. Sungguh tiada kusangka mereka berdua tega melakukan hubungan ini di saat suami Maya ada di rantau. Apa salahku, Tuhan? Rasanya aku tidak mendidik yang bukan-bukan untuk anak-anakku.

Keterkejutanku kian bertambah ketika tangan kiriku di tarik suami Ros.

"Ayo, ke rumah, Bik," ajaknya menarikku perlahan.

Seketika air mata ini jatuh. Rasanya dunia mulai oleng, langkahku tak lagi bersemangat.

"Bibik, istirahatlah dulu di sini," tawar Ros saat aku duduk di ruang tamu rumah mereka.

Aku tidak menjawabnya, hanya air mata yang terus mengalir. Anakku telah bermaksiat, hubungan kakak adik rusak gegara birahi. Nafsu be*at menghancurkan segalanya.

Ros dan suaminya membiarkan aku sendiri di kursi panjang ini. Kepalaku menyandar, pikiranku entah ke mana. Campur aduk tidak bisa tenang.

Dendi dan Maya mengapa jadi gil* seperti itu. Tidak takutkah mereka pada azab Allah yang sangat pedih. Inikah cara seorang kakak melindungi adik kandungnya? Tuhan, ampuni kami yang salah dalam membesarkan keturunan.

Lama aku menangis di rumah Ros. Entah sudah berapa jam, mungkin juga terlelap sebentar atau apalah, aku lupa.

"Bik, minumlah dulu tehnya biar sedikit tenang." Ros ternyata sudah ada di hadapanku.

Kuseka air di sudut pipi ini," Apakah kalian sudah lama mengetahui ini?" tanyaku lirih bercampur malu.

Ros mengangguk.

"Mengapa kalian tidak cerita? Apa salahku, Ros?"

"Bik, kami takut. Layaknya kami bukan hanya bercerita pada Bibik dan Paman tapi harus menegur perlakuan mereka tapi kami takut, Bik," jelas Ros sungguh-sungguh.

Memang, bila melihat perbuatan salah secara langsung, kita tidak bisa menegurnya karena bisa-bisa kita juga yang disalahkan. Bicara tentang kebenaran sudah mulai tabu saat ini tapi membahas tentang kecurangan dianggap hal lumrah. Inilah kehidupan zaman sekarang.

"Ros, kuminta pada kalian berdua. Mohon jangan ceritakan aib ini pada siapapun, Bibik malu, Ros. Tolong rahasiakan," pintaku menghiba dengan air mata kembali jatuh dengan deras.

Entah apa yang merasukiku hingga bisa bicara seperti itu. Aku ingin melindungi anak-anakku walau tahu kalau ini salah. Tapi aku tak ingin ada kehancuran dalam rumah tangga Maya bila nanti suaminya tahu hubungan terlarang ini.

Dan kini, ternyata tabir itu telah terkuak. Ketakutanku akhirnya sampai pada ujungnya. Maya telah diceraikan suaminya gara-gara hubungan terlak*at itu. Malu sekali rasanya, malu.

Next