Part 6 :
"Kamu jangan mengada, Nak," imbuh ibu dengan mata menatap sayu kepadaku.
"Ini nyata, Bu," jawabku, lalu keceritakan semua tentang kehamilan Maya sejak keberangkatan dan kepulanganku dari merantau mengais rezeki di negeri orang.
Bukan hal mudah bisa merantau berbulan bagi lelaki muda sepertiku. Saban malam tidur kedinginan tanpa kehangatan dan pelukan mesra. Setiap subuh selalu menahan beratnya nafsu ingin bercinta. Namun semua kuabaikan, jangan sampai aku terjerumus ke lembah hitam atau berzina di luar nikah dengan wanita bukan pasangan halalku.
"Nak, pikirkan anakmu," tambah ibu lagi.
Aku menunduk, berat nian rasanya bila harus berpisah. Bukan saja dengan Maya, tapi buah hatiku satu-satunya yang sangat aku sayangi. Dialah harapanku, dialah jantungku. Maafkan papa, nak.
Terdengar bapak membuang napas dengan berat, beliau juga nampaknya tidak terima atas keputusanku.
"Bapak juga pasti melakukan hal yang sama bila berada di posisimu. Namun jangan pernah minggat seperti ini, bicarakan baik-baik, temui orang tuanya, jangan berlagak bagai anak kecil," pesan bapak terdengar begitu menyejukkan hati, beliau mendukungku.
"Pak, Bapak bicara apa? Tidak baik seperti itu," sangkal ibu menolak dukungan bapak.
"Bu, lelaki mana yang bisa menerima istrinya dicampuri pria lain apalagi sampai hamil. Bapak mendukung keputusan Fajar," tegas bapak.
"Temui mertuamu nanti malam," tutur bapak lagi.
"Pak, baiklah kalau memang tetap berpisah. Tapi menemui mertua Maya tidak harus dari kita. Dalam adat-istiadat, bila ada percekcokan dalam suami istri, keluarga wanita yang harus menemui," ucap ibu mengajak ikut aturan adat di desa kami.
"Itu hanya buatan manusia biasa, bukan aturan dari Tuhan dan Rosul. Jadi secepatnya harus dituntaskan masalah ini." Bapak tetap membantah kemauan ibu, beliau ingin diselesaikan secepatnya.
"Baiklah, Pak. Malam nanti akan kuselesaikan semua secara baik-baik," jawabku dengan ekspresi kecewa berat terhadap istriku.
Ibu memandangiku, mungkin beliau tidak mengizinkan keputusanku menerima saran bapak, tapi apa yang lelaki tua itu katakan tidak ada salahnya. Dia berharap yang terbaik untuk segalanya, berpisah secara baik-baik maka hasilnya pun akan baik pula.
Terdengar ibu melepas napas kasar, "Ya sudah, mana bagusnya saja." Beliau mengalah kalau bapak sudah ikut bicara.
Sebenarnya, aku juga keberatan untuk menemui semua penghuni rumah itu lagi, sakitnya bertumpuk-tumpuk. Mereka tidak ada akhlak, tega membiarkan anak sendiri bercinta meski sedarah. Namun, permintaan bapak tak bisa kutolak. Kebijakannya selalu berbuah manis.
Bakda Isya, walau berat kaki melangkah, kupaksakan diri ke sana. Bapak dan ibu juga turut serta. Aku sendiri mengendarai sepeda motor, sedangkan kedua orang tuaku berdua juga mengendarai kuda besi beroda dua.
Bapak mengetuk sambil mengucap salam. Tidak ada keraguan atau kecemasan di raut mukanya, tenang memberi kesejukan untuk dipandang.
"Wa'alaikum salam.."
Terdengar jawaban dari dalam, ibu mertua membuka pintu seraya tersenyum dan langsung mengajak masuk ke rumah itu. Rumah di mana ada anak lelakiku semata wayang.
Bapak dan ibu duduk layaknya orang yang bertamu di kediaman besan. Bapak mertua juga ada, mereka bercengkrama seolah tidak terjadi apa-apa. Kata pembuka yang baik sekali.
Aku menghampiri Dzaki, dia asyik dengan dunianya sendiri. Kutemani dia bermain, ada banyak mainan. Iya, tiap pulang ke kampung pasti aku membawa hadiah itu agar dia senang.
Sementara netraku menerobos masuk ke ruang dalam, aku mencari Maya. Ke mana wanita itu belum menampakkan batang hidung? Mau bertanya malu, ditunggu saja sampai ia muncul.
"Belum tidur, Nak?" tanyaku pada Dzaki.
"Bentar lagi, Pa. Lagi asyik, nih," jawabnya cadel belum bisa menyebut R hingga kata bentar menjadi bental, untung bukan bantal.
Tak lama, Maya hadir membawa minuman. Ternyata dia sibuk di dapur membuat teh hangat untuk mertuanya. Wanita itu, tetap saja menghadirkan rasa cinta di hatiku. Gayanya berjalan, senyumnya terasa mengalihkan duniaku. Sejenak kebencian itu sirna tiap kali kutatap paras cantiknya. Andai dia tidak menduakanku, tak kan ada kata talak untuknya. Ah, sudahlah. Semua telah menjadi nasibku, tak perlu ada sesal.
"Minum dulu, Pak, Bu. Ini ada cemilan sedikit buatanku, tapi kurang tahu rasanya bagaimana," senyum Maya menyodorkan suguhan untuk kami, aromanya sedap sekali membuatku ingin segera mencicipi karena biasanya buatan istriku tiada banding rasanya.
Kulihat bapak menyeruput teh itu, liurku seakan menetes. Aku ingin menyantap cemilan yang terhidang di meja tamu. Mengundang selera.
"Ayo, Nak, ke sini. Kita minum teh bersama," ajak ibu mertua seakan tahu keinginanku.
Malu-malu, aku mendekat, membaur bersama dua pasang orang tua.
Kusantap cemilan itu dengan lahap seolah perut ini belum diisi padahal baru saja habis makan malam. Masakan Maya tetap nomor satu, nikmatnya tiada tara. Aku selalu ketagihan tiap kali dia mengolah bahan masakan dan selalu menjadi pavoritku.
Lagi enaknya mengunyah makanan, tetiba bapak menyuruhku menyampaikan niat kedatangan kami di sini. Aku terkejut, kerongkongan ini terasa tercekat, lalu batuk tak tertahankan.
Segera kuraih minuman mineral, kureguk sampai habis barulah batuknya reda. Lega rasanya.
"Gimana tadi, Pak?" tanyaku pura-pura.
"Segera sampaikan niat kita malam ini," tegas bapak tenang.
Tak tega, itulah ungkapan hati pertama kali kala ingin mengutarakan isi dalam pikiran. Berat melepas Maya, tapi sakit mengingat pengkhianatan cintanya. Gamang, aku belum bisa merangkai kata perpisahan.
"Ini sebenarnya ada apa?" tanya bapak mertua penasaran, mungkin beliau memang belum tahu perihal yang terjadi terhadap anak wanitanya. Bisa saja ibu mertua masih menutupi aib ini dengan rapat.
Aku ingat kata tetangga sebelah pagi tadi, ibu mertua sudah tahu semua tapi beliau enggan bersuara karena ini menyangkut nasib anak-anaknya.
"Begini, maksud kedatangan kami ke sini ingin ..."
"Biar aku yang menyampaikannya, Bu," potongku memutus penuturan ibu.
"Maya, duduk di sini," titahku pada wanita yang paling aku sayangi di dunia setelah ibuku.
Wanita itu menurut, pandangannya fokus ke lantai, entah ada apa dalam tatapannya.
"Pak, Bu.." ucapku tak kuasa menatap kedua mertua.
"Malam ini, dengan berat hati, aku pamit dari rumah ini," kataku lagi dengan dada berdegup sambil mencari kata terbaik untuk diucapkan.
"Nak Fajar dan Maya mau pindah rumah?" tanya bapak mertua, sedangkan ibu mertua tetap bungkam seribu bahasa.
"Bukan itu maksudku, Pak. Maaf sekali lagi, dengan sangat terpaksa aku menceraikan anak Bapak," ucapku akhirnya terlontar juga setelah bersusah payah mengumpulkan tenaga untuk berkata.
Lelaki itu terperangah, dia tidak menyangka kalau malam ini mendengar kata itu.
"A-apa alasanmu memilih berpisah? Bukankah selama ini kalian akur-akur saja?" tanya beliau terbata.
"Ini semua salahku, Pak," sela ibu menyandarkan kepala di bahu bapak.
"Ma-maksudnya Ibu sebagai biang keroknya?"
"Bukan, Pak. Tapi Maya anak kita telah berbuat mes*m dengan lelaki lain," terang ibu membeberkan.
"Apa?! Mengapa kau diam saja selama ini? Siapa lelaki itu?" Bapak nampak geram menatap Maya.
Dia menghampiri ibu dari anakku itu, "Siapa lelaki itu?! Katakan cepat!" Bapak mulai kasar, dia mulai habis kesabaran.
"Pak, salahkan aku," pinta ibu memohon agar Maya jangan dimarahi.
"Pak, dia sekarang lagi hamil anak laki-laki itu. Jaga dia, jangan dikasari." Aku menghampiri bapak yang emosi sambil berusaha menenangkan beliau. Sejenak mata ini tertuju pada anakku.
"Dia harus diberi pelajaran!" bentak bapak menepisku, lelaki itu telah siap melayangkan pukulan, tangannya sudah terkepal.
"Tapi aku tidak mengizinkan itu," bantahku melarang.
"Setelah kamu mengucapkan kata cerai, tidak ada lagi hakmu atas anakku," tolak bapak mertua berapi-api, sementara bapak dan ibuku hanya melihat saja. Mereka ingin menyaksikan bagaimana caraku menyelesaikan masalah ini.
"Betul, tapi aku ingin dia tetap terjaga demi Dzaki anakku," ucapku lantang.
"Aku ingin dia tetap membesarkan Dzaki karena nanti hak asuh tetap kuberikan padanya," sambungku lagi.
Bapak mertua diam, emosinya padam seketika.
Ingin rasanya aku memeluk Maya, tapi kami bukan lagi pasangan halal. Ada tabir pemisah yang tak terlihat oleh mata antara aku dan dia.
"Maafkan aku, Maya. Aku pergi dari kehidupanmu," pamitku berat, sangat berat sekali.
Tanpa terasa, ada embun di mataku. Iya, aku meneteskan air mata cinta.
Lalu, aku ke dalam menghampiri Dzaki. Kupeluk erat anak itu sambil menangis.
"Papa, malam ini Dzaki mau ditidurkan oleh Papa," pinta anak kecil itu.
Netra ini kian basah. Mendengar dia bertutur bagaikan berton beban menghimpit diri. Dalam keadaan seperti ini, dia memintaku untuk membersamainya malam ini.
"Iya, sayang. Tapi Papa harus pergi dulu. Dzaki tidur sama Mama dulu, ya Nak," jawabku lirih menangis dalam pelukan si kecil.
Aku enggan untuk berpisah, aku tak kuat meninggalkan mereka. Namun, aku juga tak kuasa kalau harus terus hidup di rumah ini bersama Maya. Tidak ada lagi toleransi bagi wanita pengkhianat.
"Maafkan Papa, Nak." Aku mengelus punggung Dzaki.
Inilah ujian terberat bagiku, meski nanti tetap bisa bertemu, tetap saja tidak bisa untuk berlama-lama. Ada satu sisi yang harus melengkapi pertumbuhan anakku, dia butuh kasih sayang ibunya. Tentu beda pendidikan dari seorang bapak dibanding ibu.
"Papa mau ke mana? Ke Jakarta lagi?" tanyanya polos belum mengerti keadaan orang tuanya.
Aku mengangguk meski tak dilihatnya. Anak ini terlalylu sering kutinggal merantau, kasihan sekali. Suatu saat akan kubawa dia pergi jalan-jalan ke ibukota, aku janji.
"Pak, Bu. Maafkan aku bila selama ini banyak kesalahan," pamitku pada mertua seraya mencium takzim punggung tangannya.
"Kami pulang, Maya. Bagaimanapun juga, engkau tetap menantu kami. Jangan sungkan untuk bertandang ke rumah," ucap bapak mengusap kepala mantan istriku.
Maya menangis. Sayang sekali, air matanya tidak akan bisa mengubah keputusanku.
Bapak dan ibu mertua juga meneteskan butir bening dari sudut matanya, aku tak kuasa memandang mereka dalam waktu lama. Segera kami pulang.
Next