Cerita Tetangga
JANGANLAH ENGKAU BEGADANG BILA SHALAT SHUBUH SERING TERLAMBAT
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz radiallahu anhu berkata :
"Tidak boleh bagi seorang muslim begadang yang mengakibatkan menelantarkan shalat subuh berjama'ah atau mengerjakannya tidak tepat pada waktunya, walaupun dia begadang untuk membaca Alqur'an atau menuntut ilmu." (Majmu'ul Fatawa, jilid 10 halaman 390)

***

"Jangan diam saja, cepat katakan!" geramku lagi masih mencengkram rambut ikal Maya.

"Sakit, Bang,"lirihnya dengan muka menahan sakit.

Aku tidak peduli itu, segala rasa berkecamuk harus terjawab malam ini. Perbuatannya sudah tidak bisa dimaafkan lagi. Pria mana yang sudi bila istrinya telah ditiduri lelaki lain? Aku mau melihat orangnya, tunjukkan padaku!

"Aaaauuww.." Kali ini Maya meninggikan intonasi teriakan ketika aku menguatkan remasan tangan.

"Maya, ada apa, Nak?" panggil ibu mengetuk pintu kamar dari luar.

"Bu, sudahlah." Terdengar juga suara bapak, mungkin anggapan lelaki 58 tahun kami sedang bercinta, padahal lagi bertengkar.

"Tidak apa-apa, Bu." Segera kujawab demi menepis kecurigaan ibu mertua, biar mereka menganggap kalau kami memang sedang berbagi kemesraan.

Maya tetap saja memilih bungkam, dia belum menjelaskan padaku tentang kepemilikan janin dalam kandungannya.

"Katakan, Sayang. Kumohon." Kali ini aku melemah, tubuhku seketika menggigil, dingin sekali rasanya.

Kulepas cengkraman, lalu membaringkan diri di samping wanita yang masih berstatus istriku. Selimut tebal itu kutarik hingga menutupi wajah, dingin sekali, sekujur tubuh ini terasa beku ditimbun banyak salju.

Aku menggigil kuat, rasanya sudah tak tertahankan lagi. Terbaring meringkuk bagai udang mengetuk raga dengan kedua tangan dijepit antara dua lutut agar bisa merasakan kehangatan, tetap saja tidak didapatkan.

"Dek, tolong tindihkan seluruh bantal di atas selimutku," pintaku tanpa membuka selimut dengan suara terus menggigil pada Maya yang menangis memunggungiku.

Dia pun menuruti keinginanku. Banyak bantal menimpa sekujur tubuh, tapi dingin masih menguasai.

Maya tidak kaget dengan keadaan sekarang. Ini sudah biasa, memang tiap aku capek dan kurang istirahat pasti malaria mendera.

Aku pun tak meminta untuk memanggil dokter karena biasanya kalau sudah istirahat dan berkeringat akan normal kembali.

Benar saja, saat matahari mulai meninggi seujung tombak, keringat membanjiri sekujur tubuh. Tak ada lagi Maya di sampingku, rumah juga nampak sepi, hanya suara kokokan ayam bersahutan.

Tidurku pulas sekali hingga suara adzan subuh dari masjid tidak terdengar. Pukul berapapun ini, akan kutunaikan kewajiban 2 rakaatku. Terserah mau diterima atau tidak, jelasnya ini bukan ditunda atau dibuat-buat, murni ketiduran. Tapi semalam aku begadang tidak karuan, bukankah dilarang hal demikian bila tidak ada manfaatnya? Usah ragu, tunaikan saja dulu.

Saat keluar kamar, ketika melewati ruang makan, netraku menangkap Maya yang lagi sarapan bersama seorang pria, kakak iparku. Mereka berdua bercanda begitu bahagia, tawa renyah dari istriku memenuhi tempat itu. Mesra sekali, dan hati ini terbakar cemburu.

"Mhm.. mhmm.." Aku pura-pura batuk melewati sepasang saudara kandung itu, anakku entah di mana.

"Dek, ayo sarapan dulu. Nasi goreng buatan Maya enak banget, lho," ajak Kak Dendi menoleh padaku.

"Abang sudah bangun, ayo makan, Bang. Sini duduk di sampingku. Sudah sehat sekarang, 'kan?" Maya sudah berada di sisiku dan menggamit tanganku.

"Silahkan, aku ada kerjaan bentar," tolakku halus dengan wajah asam.

Mereka berdua tidak keberatan. Namun aku terbakar rasa yang tidak kumengerti. Sambil berwudhu, batinku meronta ingin mengakhiri semua penderitaan ini. Sungguh, aku menyesal pulang bila hanya untuk menyaksikan kemesraan Maya bersama kakaknya sendiri. Pasti lelaki itulah yang menanam benih di rahim istriku.

Lagi, kulewati ruang makan itu. Mereka semakin asyik mengobrol. Berdua tertawa berbagi cerita, entah kisah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya tahu kalau hal itu kesannya menimbulkan sesak di dada.

Saat kedua tangan kuangkat seraya bertakbir, bayangan kenangan indah antara kami berdua hadir di depan mata. Bacaan ayat suci yang kulafadzkan semakin lirih terasa, kutangisi tiap kejadian bahagia antara aku dan Maya.

Rukukku berurai airmata, putra semata wayang bakal menjadi korban karena ketidakberdayaanku. Ini semua berat kuterima dan kujalani.

Kala wajah kubenamkan di atas sajadah, butir bening itu kian menganak sungai. Sungguh, tak pernah kubayangkan kalau nanti aku akan menjadi seorang duda beranak satu. Bukan karena cerai mati, melainkan pisah di saat napas masih memburu.

Biasanya Maya menungguku untuk sarapan atau tiap makan bersama, tapi kali ini dia melupakanku dan bersenang-senang bersama Si Bujang Tua belum kawin-kawin juga. Sejak kapan hubungan terlarang mereka terjalin? Apa kedua orang tua mereka tidak tahu akan hal buruk ini? Atau memang sengaja melakukannya untuk mendepak aku keluar dari rumah ini? Ah, aku makin gila saja dibuatnya.

Di ujung salam, Maya masuk ke kamar membawa sepiring nasi goreng dan susu panas, "Sarapan dulu, Bang. Atau mau disuapin?" manjanya melupakan kejadian semalam.

Jujur, aku benci melihat wanita di hadapanku dan tak ingin menerima suguhan darinya tapi karena lapar, terpaksa kumakan nasi itu. Susu pun kuhirup sampai habis.

Gerah rasanya, aku ingin duduk di teras. Ternyata ada anakku berbaring sambil menonton film kartun kesukaannya, Boboy Boy.

"Papa, lihat, filmnya seru sekali," senyumnya saat melihatku menampakkan diri dari balik tirai pemisah antara ruang bagian dalam dan luar.

"Iya, sayang. Filmnya bagus, ya," sahutku mendampinginya.

Tak lama siaran itu menampilkan iklan, aku izin pada si kecil untuk duduk di teras, dia mengangguk pertanda mengizinkan.

"Fajar, kapan pulangnya?" tanya Mbak Ros sebelah rumah.

"Tadi malam, Mbak. Apa kabarnya?" jawabku memamerkan senyum ramah.

"Alhamdulillah sehat. Ke sini bentar, Mbak perlu bantuanmu," pintanya agar aku menghampiri.

Tanpa banyak sangka lagi, aku mendekat. Kami memang akrab, terjalin kekerabatan erat antara keluarga mertua dan keluarga Mbak Ros. Bila ada kekurangan bahan pokok, selalu saling memberi tiada pernah mengharap kembali.

"Sudah berapa lama kamu di rantau?" tanya Mbak Ros berselidik membuatku penasaran.

"Biasanya dua bulan sekali tapi baru kali ini tiga bulan aku di rantau," jawabku seadanya. "Memangnya ada apa, ya Mbak?" sambungku lagi.

"Sini.." Tangan Mbak Ros menarik lenganku agar masuk ke rumahnya.

"Duduk di situ," titahnya menyuruhku menduduki kursi empuk di ruang tamunya.

Batinku bertanya-tanya, ada apa ini gerangan? Adakah keributan antara dua rumah ini? Atau jangan-jangan..

Mbak Ros memanggil suaminya. Sekarang mereka duduk berdua di hadapanku.

"Ada apa, Mbak? Sepertinya penting dan bersifat rahasia. Aku jadi tidak enak hati, nih," sungutku bertanya perihal permintaannya mengajakku ke sini.

"Aku dan suami kerap melihat istrimu bercinta dengan lelaki lain. Waktunya pagi hari setelah aku usai mencuci, kebetulan pintu kamarmu tidak ditutupnya. Jadi kami sangat leluasa mengintip dari balik jendela."

Tubuhku bagai disambar petir mendengar cerita Mbak Ros yang di-iya-kan oleh suaminya, Kak Andra. Hati ini bak disayat sembilu tajam, perih dan pedih sekali. Dugaanku benar, Maya memang berbuat serong di belakangku.

"Apa Mbak Ros dan Kak Andra mengenali siapa lelaki itu?" tanyaku menguatkan diri padahal kini aku goyah dan rapuh, ingin menangisi nasib malang ini tapi malu.

Kak Andra mendekat, mulutnya menghampiri tekingaku. Sebuah nama ia bisikkan di indra pendengaranku.

Jelas, tidak salah lagi. Memang lelaki itu pelakunya, sedari awal aku sudah menduga. Kepa*at sekali dia!

"Tapi jangan bilang siapa-siapa kalau berita ini tahu dari kami," pinta Mbak Ros agar dia dan suaminya jangan diikutsertakan bila nanti ada hal yang tak diinginkan.

"Iya, Mbak. Terima kasih banyak atas infonya." Lesu, aku menjawab permintaan beliau.

"Satu lagi, Ibu mertuamu tahu tentang hal ini. Pernah waktu itu Bapak dan Ibu mertuamu pergi berdagang ke pasar mingguan, tiba-tiba ada barang yang ketinggalan. Nah, kembali ke rumah, beliau melihat adegan tidak wajar di dalam kamar kalian. Maya berhubungan intim dengan lekaki itu, tapi Ibu mertuamu pandai merahasiakannya hingga para tetangga tidak ada yang tahu kecuali kami," lanjut Mbak Ros panjang lebar memperjelas prasangkaku.

"Bisa aku melihat jendela rumah kalian yang langsung terhubung ke kamar kami?" harapku demi menguatkan praduga.

Benar saja, jendela rumah panggung bertiang itu begitu leluasa menembus kamar kami. Nampak jelas tempat tidur bisa ditangkap dari situ, mengintip dari celah kecil pun sangatlah bisa. Mereka berdua berkata jujur, ini bukan bohong. Teganya engkau Maya.

Tuhan, kejam sekali istriku. Haruskah aku merajamnya hingga tiada lagi napas dari raganya? Begitu besar nafsu bercintanya, ini semua salahku juga karena terlalu lama di rantau. Ampunilah aku yang tidak mampu menjaga dan melindungi keluargaku, yaa Allah.

Airmata tak mampu lagi kubendung. Kutepis rasa malu dihadapan Mbak Ros dan Kak Andra, mengadukan nasib yang malang saat ini. Pulang dengan luka besar menyayat kalbu.

Next