Kulepas Dengan Berat
Menikmati pemandangan desa tak akan pernah bosan untuk ditelusuri sepanjang waktu. Jembatan gantung yang menghubungkan antara desa Cinta Jaya dan Pedamaran kerap ramai oleh anak muda berselfi ria, tugu bersejarah di samping Kantor Margo juga mewarnai sore dengan aneka dagangan berupa jajanan ringan, dan Tugu Gerilya tak kalah ramainya untuk muda-mudi duduk-duduk santai seraya mereguk es tebu murah meriah. Apa lagi senantiasa dihiasi oleh pengantin yang diarak berkeliling kampung bakdah azhar, pasti ibu-ibu baik tua atau muda ikut menonton, dan gadisnya juga tidak mau ketinggalan.

Aku duduk bersama putra semata wayang di jembatan gantung, jembatan baru yang kini viral di sosial media. Dzaki banyak bertanya tentang seberapa banyak jumlah ikan di sungai membuatku kewalahan untuk menjawab setiap permintaanya. Pernah pula mencari tahu tentang ujung dari sungai ini, bingung harus berkata apa karena hati masih belum tenang.

Lama bercengkerama, tiba-tiba aku teringat keadaan di rumah. Maya dan Kak Dendi hanya berdua di sana. Timbul curiga, jangan-jangan mereka berbuat mesum, jujur aku cemburu.

"Ayo, Nak. Kita pulang, Papa mau mandi," ajakku berbohong pada Dzaki.

"Nanti dulu, Pa. Masih asyik, nih," tolaknya menepis tanganku.

"Papa pulang, ya. Dzaki tinggal saja di sini." Aku sudah tidak sabar, dengan perasaan dongkol kuancam anakku.

Sambil cemberut, Dzaki mengalah juga. Dia mengikuti permintaanku, duduk di bagian depan sepeda motor, mulutnya maju lima senti, mungkin marah padaku.

Kuabaikan saja, dia tidak mengerti tentang kegundahan hati orang tuanya. Gelisah bercampur cemburu melanda jiwa, ingin sekali cepat tiba di rumah agar tahu persis bagaimana kelakuan dua insan tak bermoral itu.

Kutarik gas dengan kencang, tak peduli akan anak ada di depan. Namun, rupanya Dzaki tertawa. Dia gembira karena melaju dengan cepat, bahkan melarang melambat.

"Nanti dulu, Nak, jalanan ramai, takutnya kita nyenggol," sahutku kala dia meminta melaju lagi.

Tiba di rumah, hatiku semakin was-was. Dada ini berdebar kuat, jantungku rasanya bergetar cepat. Terburu-buru, tanpa salam aku langsung masuk. Dzaki kuabaikan saja seorang diri di teras.

Benar saja, sebuah pemandangan hadir di depan mata. Ini bukan cerita bohong belaka, tapi nyata adanya. Tak kusangka dan sungguh tak kuduga, mereka benar-benar tega menodai janji suci surat nikah. Adakah yang lebih kejam dari perbuatan Maya?

Netraku langsung memanas melihat mereka, begitu lihai menutupi aib selama ini. Maya, istriku kini berada dalam pelukan kakak kandungnya sendiri. Kak Dendi merangkul erat adiknya sambil terisak. Airmata buaya ia ciptakan untuk dengan maksud yang tak kuketahui.

"Dasar kalian bia*ab!" umpatku kesal menghampiri.

Kutarik paksa kakak iparku dari pelukan Maya, mereka tersontak. Aku langsung menyerang lelaki itu dengan pukulan bertubi-tubi, tak peduli kalau ia disegani para preman. Aku tak gentar sama sekali.

Jeritan Maya terdengar histeris, nampaknya dia tidak terima kalau kakaknya diperlakukan seperti ini. Tak kuhiraukan teriakannya, aku benar-benar kalap.

"Kamu apa-apaan, hah?!" tanya Kak Dendi sambil mengelak dari pukulanku.

"Abang yang apa-apaan!" jawabku kasar terus memukul meski sering tidak tepat sasaran.

"Istighfar, Fajar," titahnya berusaha menangkis.

"Abang yang seharusnya istighfar!" bentakku berapi-api.

"Yaa Allah, ngucap, Dek," pintanya lagi terus berusaha menghindariku.

"Abang itu yang ngucap," jawabku asal karena geram tidak kena ke wajahnya.

Kak Dendi lari ke dapur, terus kukejar. Aku tak ingin dia selamat begitu saja dari tanganku. Permasalahan ini harus selesai sekarang juga. Antara kami harus ada yang kalah, hidup atau mati, semua akan kuterima siapapun juga yang tidak bernyawa lagi.

"Bagus, semakin ke sini, berarti Abang akan semakin cepat menemui ajal di tanganku," gumamku sinis tak ingin melepas pandangan.

Mataku tertuju pada sebilah pisau yang tergeletak di samping kompor. Aku mendekat perlahan, dia menjauh. Ideku sukses, aku berhasil meraih belati tajam itu.

"Dek, ingat, jangan berbuat konyol seperti itu. Ada apa ini sebenarnya?" tanya Kak Dendi ketakutan.

"Jangan berpura-pura, Bang. Aku tahu semuanya, Abanglah lelaki yang telah menghamili istriku!" teriakku beringasan.

"Itu fitnah, Dek. Mana mungkin aku setega itu." Kak Dendi masih saja berkilah.

"Aaahh..! Jangan banyak omong," ucapku sambil menyerang.

Lelaki itu ternyata pandai ilmu bela diri. Dia sangat mahir menghindari serangan demi serangan dariku hingga tak secuilpun kulitnya tergores pisau.

"Kamu jangan bodoh, mana mungkin aku yang melakukannya," geram Kak Dendi setelah berhasil menaklukkanku.

Benar, rupanya berkelahi juga harus tenang. Buktinya aku kalah karena terpancing emosi. Kak Dendi berhasil meringkusku dengan tangannya, tanganku seperti mau patah kala pisau terlempar.

"Bohong! Mana mungkin ada maling yang ngaku," jawabku belum menyerah.

"Ah, terserah!" jawab Kak Dendi menendang pantatku, lalu dia pergi entah ke mana.

Meski sekali tendangan, tapi tubuhku terpental juga. Sakit sekali.

Aku bangkit, kulihat Maya menghampiri untuk membantuku. Kedua tangannya terjulur ingin mengangkatku.

"Tidak usah!" tepisku kasar menolak uluran tangannya.

"Resmi, mulai detik ini kita bercerai!" ucapku kasar tanpa pikir panjang lagi.

"Bang?" Tak kupedulikan panggilannya, aku melenggok meninggalkan rumah yang pernah memberiku berjuta kenangan indah.

Aku pun melihat Dzaki menangis di sudut ruang tamu. Anak ini sekarang telah menjadi korban keegosian orang tua.

Kuhampiri dia, "Maafkan Papa, ya Nak. Jangan nakal dan harus rajin beribadah, ya," isakku memeluk anak semata wayang yang kini akan kutinggalkan juga.

Tak tega sebenarnya, tapi siapa yang sudi bila diperlakukan seperti ini. Sekali lagi maafkan aku, nak.

Kulepas pelukanku, aku melangkah pergi, pulang kembali ke rumah orang tua.

"Papa mau ke mana? Aku ikut, Pa." Dzaki menarik tanganku membuat hati semakin teriris. Berat juga memang, tapi dia lebih baik dalam asuhan ibunya.

Perlahan kulepas tangan anakku, tanpa menoleh ke belakang, aku pergi.

"Selamat tinggal, wahai wanita yang pernah berbagi rasa dan raga denganku. Semoga kelak engkau berbahagia. Jangan hiraukan aku lagi, mungkin selamanya aku akan menduda karena hanya dirimulah wanita yang paling kucinta," bathinku berairmata.

"Kamu kenapa, Nak?" sambut ibuku melihat wajah kusut yang kutampakkan.

"Maya resmi kuceraikan, Bu," jawabku lesuh duduk di kursi tamu.

"Apa? Jangan main-main kamu, Nak," pungkas ibu tidak percaya.

"Benar, Bu. Dia resmi kuceraikan. Nanti aku yang akan mengajukan usul ke Pengadilan Agama," sahutku berat.

"Nak, Ibu tidak terima. Kamu jangan macam-macam. Dia itu wanita baik-baik, apa alasan kamu menceraikannya?" Ibuku marah.

"Dia hamil, Bu."

"Harusnya kamu bersyukur bukan menceraikannya. Berarti sebentar lagi Ibu bertambah cucu. Apa sudah gila kamu, hah?" Ibu benar-benar tidak terima pada keputusanku.

"Tapi ..."

"Tidak ada tapi-tapian," tolak ibu mentah-mentah.

"Bu, tolong dengarkan aku dulu," selaku memotong perkataan ibu.

"Tidak, Ibu akan menemui Maya sekarang juga." Secepat kilat wanita itu meraih jilbab siap pakai dan bergegas ke luar rumah.

Aku juga tak mau kalah, bila kilat lebih cepat, maka aku secepat cahaya. Kutahan kedua bahu beliau agar berhenti melangkah.

"Ada apa kalian ribut-ribut?" Tiba-tiba Bapak keluar dari kamar.

Ibu menceritakan semua niatku, dengan alasan apapun juga beliau mengajak bapak agar tidak menerima keputusanku. Kata beliau demi si buah hati yang masih dalam masa pertumbuhan.

"Fajar, perceraian itu memang perbuatan halal, tapi justru sangan dibenci oleh Allah Ta'ala," terang bapak bijak.

"Sedari nenek moyang kamu, tidak ada garis keturunan baik dari sebelah Bapak maupun keluarga Ibumu, tak satu pun dari mereka yang bercerai. Bila memang ada masalah, selesaikan dengan kepala dingin. Pertengkaran di rumah tangga itu biasa sebagai tali pererat hubungan suami-istri. Akan tetapi, tetap jangan dibiasakan karena takutnya akan berlarut. Sekarang, apa alasan lain hingga kamu lancang mengucap kata cerai?" sambung bapak lagi.

Aku jadi ragu mengatakannya, semua perkataan bapak tidak ada yang salah, hanya aku yang egois.

"Di-dia hamil karena le-lelaki lain, Pak," jawabku akhirnya dengan terbata-bata.

"Apa?!" Kompak, bapak dan ibu kaget mendengarnya.

Next