MELABRAK SUAMI DI PESTA ULANG TAHUN ANAKNYA
Episode_6
Rumah dijual
"Apa, kenapa ATM aku diblokir." Martin kembali terkejut saat mengetahui jika ATM miliknya diblokir. Seketika Martin teringat jika rekening yang ia pegang adalah atas nama istrinya.
***
"Bagaimana ini, mana uang yang aku pegang tinggal sedikit lagi. Mungkin untuk balik ke Batam cukup, tapi nanti di sana." Martin mengusap wajahnya dengan gusar, ia harus berpikir keras untuk mencari solusinya. Sementara ponselnya kembali berdering, sudah dipastikan jika ibunya yang menelpon.
Dengan keadaan yang masih bingung, Martin keluar dari ATM, setelah itu ia mengambil ponselnya. Terlihat nama ibunya di layar ponsel, dengan segera Martin menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan.
[Halo, ada apa, Ma]
[Papa cepet pulang, mama nggak dibolehin pulang sama pak polisi]
[Mama nggak dibolehin pulang sama, pak polisi. Memangnya mama kenapa]
[Vina ditahan di kantor polisi, dengan tuduhan percobaan pembunuhan]
[Apa?! Mama pasti bercanda, bukan. Vina nggak mungkin .... ]
[Makanya sekarang kamu cepat pulang ke Batam, kasihan Diva nangis terus]
[Iya, iya, Ma. Sekarang juga aku langsung terbang ke Batam]
Setelah sambungan telepon terputus, Martin mengusap wajahnya dengan gusar. Vina benar-benar membuatnya geram, bisa-bisanya melakukan sesuatu yang akhirnya merugikan diri sendiri. Yang Martin heran, siapa yang hendak Vina bunuh, kenapa ia merasa jika Vina mengincar Lilis.
"Apa mungkin Vina mengincar Lilis, atau ... Vina benar-benar sudah kelewatan," gumamnya. Setelah itu Martin memutuskan untuk kembali ke Batam terlebih dahulu. Karena di Jakarta, Lilis belum mau menemui dirinya.
Walaupun sesungguhnya Martin sangat ingin melihat anaknya, ia juga rindu dengan istrinya itu. Martin memang bersalah, karena sudah membohongi Lilis, seharusnya ia jujur dari awal. Namun, mana ada wanita yang mau menjadi istri kedua, jika bukan pelakor.
"Setelah urusan dengan Vina selesai, aku harus kembali lagi ke sini untuk meyakinkan Lilis." Martin membatin, dalam benaknya terbayang wajah cantik Lilis, bahkan ia juga membayangkan wajah imut anaknya.
Di lain tempat, saat ini Lilis sedang menyusui putrinya. Tak ada rasa penyesalan untuk melepaskan Martin, walaupun ia tahu jika mereka pernah hidup bersama. Bahkan anak yang bersamanya adalah darah daging Martin.
"Permisi, Nya. Ada, tuan Arfan," ucap mbok Siti.
"Suruh masuk saja, Mbok." Lilis segera memangku putrinya, lalu memanggil bi Ira untuk membawa Azura ke kamarnya. Sementara mbok Siti beranjak ke depan untuk menyuruh Arfan masuk ke dalam.
Arfan merupakan sepupu sekaligus orang kepercayaan Lilis yang bertugas untuk meng-handle urusan kantor terlebih dahulu. Sebelum Lilis sendiri yang akan mengelolanya, bahkan Lilis sudah menyiapkan surat pemecatan untuk Martin. Lelaki seperti dia pantas untuk dikembalikan pada tempat asalnya.
"Ada apa?" tanya Lilis setelah Arfan duduk di sofa.
"Ada yang harus, kamu tanda tangani." Arfan meletakkan map berwarna merah di atas meja. Dengan segera Lilis mengambil map tersebut dan membaca isinya. Setelah itu Lilis menanda tanganinya.
***
Hari telah berganti, kini Martin sudah tiba di Batam, bahkan kini ia sudah berada di kantor polisi. Martin ingin tahu apa yang sudah Vina lakukan. Karena ulahnya sudah menambah beban pikirannya, masalah dengan Lilis saja masih rumit, kini ditambah dengan masalah yang Vina perbuat.
"Apa yang sebenarnya kamu lakukan, kenapa jadi seperti ini?" tanya Martin. Sementara itu Vina masih diam, melihat istrinya yang diam itu membuat Martin bangkit dan akan menanyakan langsung kepada polisi.
Dengan segera pak polisi yang saat ini sedang bertugas menunjukkan rekaman cctv, bukti dari kejahatan yang sudah Vina lakukan. Martin sangat memperhatikan rekaman cctv tersebut, sedetik kemudian Martin terkejut saat melihat Vina hendak membunuh anaknya.
"Jadi itu yang sudah kamu lakukan, kamu benar-benar keterlaluan. Kamu ingin membunuh anakku," ujar Martin, ia berusaha untuk mengontrol emosinya, walaupun sesungguhnya ia sangat marah dengan kelakuan istrinya itu.
"Maaf, Mas. Tolong keluarkan aku dari sini, tolong bicara dengan Lilis agar mau mencabut tuntutannya." Vina memohong, berharap suaminya itu mau membantu dirinya untuk bisa keluar dari tempat yang sangat menyiksa itu.
"Aku tidak yakin kalau Lilis akan mencabut tuntutannya, karena apa yang kamu lakukan sudah sangat fatal. Ibu mana yang akan diam saja saat nyawa anaknya terancam," ungkap Martin, mendengar itu Vina merasa kesal dan juga cemburu.
"Mas, Lilis itu masih istrimu. Aku yakin Lilis akan mengabulkan permintaan kamu," ujar Vina. Ia terus membujuk suaminya agar mau memohon pada Lilis untuk mencabut tuntutannya.
"Tapi aku tidak janji. Ya sudah sekarang aku mau pulang, kasihan Diva." Setelah berpamitan Martin memutuskan untuk pulang, sementara itu Vina akan kembali ke jeruji besi.
Kini Martin sudah dalam perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Khawatir ada yang penting Martin langsung menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan.
[Halo, Ma. Ada apa? Diva nggak rewel kan]
[Cepat pulang, ada yang nyariin kamu]
[Siapa, Ma. Ya sudah aku juga sudah ada di jalan]
Mendadak pikiran Martin kacau, jangan sampai ada masalah lagi yang menghampirinya. Masalah yang ada belum selesai, pusing dan bingung kini menjadi satu. Dalam perjalanan pikiran Martin benar-benar tidak bisa tenang, kebohongan memang akan berakhir dengan kehancuran.
Tidak butuh waktu lama, kini Martin sudah tiba di rumah. Dengan segera ia masuk ke dalam, setibanya di dalam, terlihat ada dua orang tamu. Tanpa basa-basi Martin langsung menghampiri mereka. Sementara Nani yang sedang duduk beranjak bangkit saat melihat putrinya sudah pulang.
"Ada apa ini?" tanya Martin.
"Kami hanya ingin memberitahu, kalau rumah ini sudah dijual oleh, ibu Lilis. Ini buktinya," jawabnya. Gegas pria itu menyodorkan sebuah map yang berisi bukti jika rumah tersebut sudah dijual oleh Lilis. Karena memang sertifikat atas nama Lilis.
"Bapak jangan bercanda, tidak mungkin Lilis .... " Martin menerima map tersebut, setelah itu ia membaca isinya. Detik itu juga Martin terkejut, jika Lilis benar-benar menjual rumah yang kini ia tempati. Kalau sudah begini, apa yang harus Martin lakukan, Lilis benar-benar keterlaluan.
_________&&&&&&&&&&_________
Jangan lupa subscribe dan bintang lima ya, untuk bisa mendapatkan notifikasi selanjutnya.