Rencana Licik Vina
MELABRAK SUAMI DI PESTA ULANG TAHUN ANAKNYA
Episode_2
Rencana Licik Vina

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, setelah ini aku akan mengurus perceraian kita. Dan satu lagi, jangan harap kamu bisa menemui anak yang kini masih ada dikandungku, bukan itu saja kamu dan mamamu juga akan kehilangan fasilitas yang selama ini aku berikan, ingat itu." Lilis memotong ucapan suaminya, seketika mata Martin melotot mendengar ucapan istrinya. Itu artinya Martin akan kehilangan kemewahan yang selama ini ia nikmati. 

***

Tiba-tiba saja Lilis merasakan mulas pada perutnya, jujur ia khawatir jika dirinya akan melahirkan hari ini. Lilis melirik Rina dan memberi kode untuk segera pergi dari tempat tersebut. Mengerti akan kode yang sahabatnya itu berikan, dengan segera Rina mengajak Lilis untuk keluar dari rumah tersebut. 

Martin yang melihat itu sedikit panik terlebih Lilis keluar seraya memegangi perutnya. Suasana yang sedikit riuh membuat Martin sedikit kesulitan untuk mengejar istrinya. Sementara itu, kini Lilis dan Rina sudah berada di halaman depan, rasanya Lilis sudah tidak tahan lagi. 

"Lis kamu kenapa? Kamu baik-baik saja kan?" tanya Rina dengan raut wajah panik. 

"Rin perut aku, ya Allah." Lilis terus memegangi perutnya, rasa sakit yang luar biasa. Terkadang terasa sangat sakit, tetapi sejenak hilang, setelah itu rasa sakit itu datang kembali. 

"Ya ampun, Lis. Air ketuban kamu sepertinya sudah pecah." Rina terkejut saat melihat baju yang Lilis pakai basah pada bagian bawah. Kaki Lilis juga terlihat basah, panik itu yang Rina rasakan. Ada beberapa tamu undangan yang tiba-tiba datang. 

"Kenapa, Mbak?" tanya seorang wanita berambut sebahu. 

"Sepertinya teman saya akan melahirkan, Mbak." Rina masih memapah tubuh Lilis, dan berusaha untuk membantunya berjalan menuju mobilnya. 

"Lis kamu kenapa." Martin panik, seketika ia melirik ke bawah, terlihat baju dan kaki istrinya sudah basah. Dengan segera Martin membopong tubuh istrinya dan membawanya masuk ke dalam mobil. 

"Biar aku saja yang nyetir," ujar Martin. 

"Ah, iya." Rina mengangguk, setelah itu ia masuk dan duduk di sebelah Lilis, ia berusaha untuk menguatkan sahabatnya itu. Sementara itu Martin mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. 

Dalam perjalanan, Lilis memilih untuk diam seraya menahan sakit yang luar biasa. Antara sakit hati dan sakit akan melahirkan kini berubah menjadi satu. Lilis hanya bisa berharap semoga kelahiran anak pertamanya itu lancar. Sementara itu, sesekali Martin melirik istrinya dari kaca. 

Tidak butuh waktu lama, kini mereka tiba di rumah sakit. Lilis langsung masuk ke ruang bersalin, sementara Martin masih berada di sampingnya. Dokter segera memeriksanya, sedangkan Rina menunggu di luar. 

"Ada apa, Dok?" tanya Martin setelah melihat dokter yang memeriksa kondisi istrinya tiba-tiba memintanya untuk mendekat. 

"Maaf, Pak. Kami harus melakukan tindakan operasi, karena ada sesuatu yang tidak memungkinkan istri, Bapak melahirkan secara normal. Selain itu, tekanan darahnya juga tinggi." Dokter Ira menjelaskan. Mendengar itu Martin terdiam, lalu melirik istrinya yang masih terus menahan sakit. 

"Tolong lakukan yang terbaik untuk istri saya," pinta Martin. Setelah itu ia keluar untuk mengurus dan menanda tangani surat persetujuan. 

"Apa yang terjadi?" tanya Rina setelah melihat Martin keluar dari ruangan di mana Lilis berada. 

"Lilis harus operasi karena .... " Martin menggantung ucapannya saat ponselnya tiba-tiba berdering. Khawatir ada yang penting Martin langsung menerima panggilan tersebut. 

[Mas cepat pulang, Diva tadi ngamuk terus sekarang pingsan. Buruan pulang, Mas]

"Diva." Martin panik dan juga bingung, di sisi lain Martin memikirkan tentang istrinya, dan di sisi lain ia juga memikirkan tentang putrinya. 

[Tapi, Vin aku .... ]

[Mas buruan pulang, kamu nggak kasihan sama Diva]

"Sudahlah, kamu pulang saja, urus anak dan istrimu itu. Lilis masih ada aku, punya suami tapi nggak guna." Rina geram mendengar percakapan Martin dan istrinya. Itu sebabnya Rina memutuskan untuk mengurus semuanya. 

***

Malam telah tiba, operasi yang Lilis jalani lancar, bayi perempuan yang begitu cantik berhasil Lilis lahirkan. Sejak semalam Rina terus berada di sebelah Lilis, khawatir jika nanti tiba-tiba sahabatnya itu sadar. Sementara itu Martin masih sibuk dengan keluarganya, lelaki itu sama sekali belum kembali lagi ke rumah sakit. 

"Lis, kamu harus cepat sembuh, agar kamu bisa membalas perbuatan Martin. Aku benar-benar tidak nyangka kalau Martin dan mamanya tega bohongin kamu." Rina mengusap punggung tangan Lilis, berharap sahabatnya itu segera sadar dan kondisinya pulih seperti semula. 

"Alhamdulillah, Lis kamu sudah sadar." Rina tersenyum bahagia saat melihat Lilis sadar. 

"Rin." Lilis memejamkan matanya sejenak, rasa nyeri di perut membuatnya tidak nyaman. 

"Kamu jangan banyak bergerak dulu, sebentar ya aku panggil dokter dulu." Rina beranjak keluar untuk memanggil dokter, sementara Lilis memilih untuk diam. 

Selang beberapa menit seorang dokter datang, Lilis sempat terkejut karena dokter yang menanganinya adalah teman SMA dulu. Setelah lama berpisah, kini mereka dipertemukan kembali. Dokter Dewa segera memeriksa kondisi Lilis. 

"Jangan banyak pikiran, dan banyak istirahat agar kondisinya segera pulih," ucap Dokter Dewa. Sementara itu Lilis hanya mengangguk. 

"Terima kasih," ucap Lilis. 

"Sama-sama, oya Rin kamu ikut aku sebentar ya. Ada resep obat yang harus kamu tebus nanti." Dokter Dewa berucap. 

"Ah, iya." Rina mengangguk. Setelah itu Dokter Dewa beranjak meninggalkan ruang rawat Lilis. 

"Kamu tunggu sebentar ya, aku nggak lama kok," ujar Rina. 

"Iya." Lilis mengangguk. Setelah itu Rina bergegas keluar dari ruang rawat sahabatnya itu. Setelah Rina keluar, Lilis menoleh ke arah kanan, di mana putrinya tengah tertidur pulas dalam box khusus bayi. Ingin rasanya Lilis menggendong dan menciumnya. 

"Sayang, sehat-sehat ya." Lilis terus memandangi wajah ayu putrinya. Tiba-tiba saja pintu ruangan terbuka, reflek Lilis menoleh. Detik itu juga ia terkejut setelah melihat siapa yang datang. 

"Vina, kamu .... "

"Kamu tidak perlu kaget seperti itu, kedatangan aku ke sini cuma sebentar kok. Aku cuma minta tanda tangan kamu saja." Vina memotong ucapan Lilis, bahkan wanita itu berjalan menghampiri Lilis seraya membawa sebuah map dan bolpoin. 

"Sekarang cepat tanda tangan di sini, karena waktuku tidak banyak." Vina menyodorkan map dan bolpoin tersebut pada Lilis. Seketika Lilis membaca isi map tersebut, detik itu juga ia menggeleng, rupanya Vina ingin menguasai hartanya. 

"Sampai kapanpun aku tidak akan tanda tangan." Lilis menggeleng. Hal tersebut membuat kesabaran Vina habis. 

"Ok, kalau kamu tidak mau tanda tangan, itu artinya ini menjadi terkahir kalinya kamu melihatnya." Vina berjalan mendekati box bayi di mana putri yang baru saja Lilis lahirkan berada. 

"Berani kamu menyentuhnya maka ... tolong, tolong." Lilis berteriak saat melihat Vina hendak menutup majah putrinya dengan bantal. Karena tidak ada yang kunjung datang. Lilis terpaksa turun dari brangkar, kondisi yang masih lemah membuatnya terjatuh ke lantai. 

"Astagfirullah." Lilis meringis menahan sakit pada bekas luka operasinya. Detik itu juga pintu ruangan terbuka, menyadari akan hal itu Vina menoleh melihat siapa yang datang, Vina berlari keluar. 



_________&&&&&&&&&&_________


Jangan lupa subscribe dan bintang lima ya, untuk bisa mendapatkan notifikasi selanjutnya.