Bab 7

Bab 7

🌲🌲🌲 

 

              “Cerita saya belum selesai, Pak.” Jawaban Rinjani itu menarik perhatian. Setiap mata kini kembali tertuju kepadanya, kecuali Rahagi. Lelaki itu justru memejamkan netranya.

            “Saat saya begitu saja meninggalkan Selena, di tengah jalan saya merasa seperti pengecut. Datang dengan mengucapkan salam. Lalu pergi begitu saja. Saya yakin Selena pasti akan kepikiran dengan tingkah saya yang kekanakan. Maka saya putuskan kembali. Saya berniat pamitan padanya, dan sekali lagi mengucapkan selamat atas rencana pernikahannya. Saya harus tampak kuat, meski sebenarnya hati saya terasa berat.”

            Mendengar pengakuan Rinjani dengan suara serak, dada Rahagi ikut sesak. Kepalanya pun terasa pening. Dia lalu memegang pelipisnya dengan tangan kiri. Keputusan Rahagi untuk menikah, tak lain karena melihat Rinjani telah bertunangan terlebih dahulu. 

             Rahagi kira, Rinjani sudah bisa move on dari mimpi-mimpi yang telah mereka rancang bersama. Atas saran Juna, Rahagi diminta untuk melanjutkan hidup dengan menikah. Maka dia pun berusaha melupakan semuanya. Mengajak Selena menikah, adalah langkah praktisnya. 

              Selama empat tahun terakhir, Rahagi dan Rinjani memang sudah memutus komunkasi. Namun tak dipungkiri, Rahagi diam-diam masih memantau kabar Rinjani. Hingga informasi pertunangan Rinjani sampai padanya. 

             “Saat saya kembali melihat Selena dengan gaun pengantin warna putih, dia terlihat anggun. Saya membayangkan binar wajahnya yang sedang menatap calon suaminya di bawah sana. Ternyata hati saya makin perih, Pak. Harusnya saya yang ada di posisi itu. Bukan dia!” teriak Rinjani setengah terisak. 

             Tanpa Rahagi sadari, air matanya ikut menetes. Andai ini bukan kantor polisi, ingin rasanya dia merengkuh tubuh Rinjani dan mengatakan bahwa dia juga masih berharap mereka bisa bersatu. 

             “Saat itu akal sehat saya entah ke mana, saya spontan mendorong Selena,” ucap Rinjani lirih sambil menunduk.

              “Itu nggak benar Pak Polisi!” teriak Irawati. Wanita itu berdiri sambil mengarahkan telunjuk ke arah Rinjani. “Dia ini, Pak, jangankan membunuh orang, nginjek semut saja nggak tega. Rin, katakan itu cuma karanganmu saja, Nak! Bunda tahu kamu suka nulis cerita, tapi nggak sekarang.” Irawati mengguncang bahu Rinjani. Tak ada perlawanan dari raga yang tampak tak berdaya itu. 

              Melihat Rinjani tak merespon permohonannya, Irawati bergeser ke sebalah. “Nak Rahagi, tolong katakan itu tidak benar. Sampean ada di lokasi kejadian, ‘kan? Sampean pasti tahu ‘kan kalo bukan Rinjani yang menyebabkan Selena jatuh. Tolong bela anakku, jangan diam saja!” teriak Irawati.

              Pengakuan Rinjani barusan membuat tubuh Rahagi menggigil. Tanpa diminta, dia akan melindungi Rinjani semampunya. Makanya saat dia menemukan bros tulip dalam genggaman Selena, Rahagi segera mengamankannya. Namun siapa sangka kini bros itu sampai juga ke tangan polisi. 

              “Nak Rahagi, Ibu mohon.” Irawati sampai bersimpuh di bawah kaki Rahagi. “Ibu tahu Sampean pernah sakit hati sama keluarga kami, tapi jangan dibalas seperti ini. Rinjani itu segalanya buat Ibu.”

              “Ma, ngapain kamu sungkem di depan anak itu!” seru Cokro tak terima, “ayo bangun!” Cokro segera menarik tubuh Irawati agar kembali berdiri tegak. 

              “Bapak Ibu, mohon kembali tenang!” seru petugas, “untuk sementara pemeriksaan ini sudah cukup. Dan kami harus menahan Mbak Rinjani.”

              Seketika meja digebrak. “Tidak ada yang bisa nahan Rinjani!” hardik Cokro, “mau pake dasar apa? Pengakuan dia barusan? Itu bukan alat bukti.”

              Tim penyidik lalu berunding.

              “Baik, jika Bapak keberatan putrinya kami tahan untuk sementara, kami izinkan. Dengan catatan, jika bercak darah dalam bros ini terbukti darahnya korban, maka putri Bapak akan kami jemput sebagai tersangka,” tegas penyidik, “mohon izin merekam sidik jarinya terlebih dulu Mbak Rinjani.”

              Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dinginnya udara di ruangan ber-AC itu makin membuat Rahagi menggigil. Tiba-tiba dialah yang merasa telah menghabisi nyawa Selena. Rinjani melakukan semua itu karena dirinya. Andai dia tidak menyeret Selena dalam hidupnya, mungkin perempuan itu masih melanjutkan karirnya.

               Setelah proses pengambilan sidik jari Rinjani selesai, mereka diizinkan pulang. Rahagi berjalan mengekor di belakang Rinjani dan keluarganya. Saat mereka tiba di teras, Juna dan Maya baru datang. Dari arah parkiran mereka setengah berlari. Pandangan Maya menghujam pada Rinjani. Pun sebaliknya. Namun itu hanya berlangsung sekilas, sebab Rinjani ditarik ibunya ke arah parkiran. Sementara Maya sempat menghentikan langkahnya. Lalu kembali mengekor Juna yang menghampiri Rahagi.

              “Gimana, Gi, ada perkembangan apa?” tanya Juna tak sabar, “maaf aku baru datang.”

               Rahagi menggerakkan telapak tangannya yang terangkat. “Nggak apa-apa, Jun. Aku ngerti kok.” 

               Sebelumnya Rahagi sempat mengirim pesan jika dia diminta datang ke kantor Polres untuk dimintai keterangan. Dia minta didampingi. Namun, Juna tidak bisa karena masih bekerja bersama timnya dalam pemotretan pernikahan.

               “Kita ngopi, yuk!”

                “Nggak, Jun. Aku lagi nggak mood,” tolak Rahagi, “oya, kamu masih nyimpen nomornya Rinjani, nggak?”

                “Masih.”

                 “Aku minta.”

                 Juna lalu mengeluarkan ponselnya dan mengirim nomor ponsel Rinjani. “Jadi perempuan berkerudung mustard itu Rinjani, Gi?”

                 “Ya,” jawab Rahagi pendek sambil berjalan ke arah parkiran. Juna dan Maya mengikutinya dengan langkah cepat. Sebab Rahagi terlihat mengelak dari pembahasan yang dilempar Juna.

                “Jadi Rinjani pelakunya?”

                “Dia ngakunya gitu, tapi entahlah, hati kecilku masih mengelaknya.” 

                “Cinta itu memang buta ya, Mas,” celetuk Maya disertai senyum sinis.

                 “Aku duluan,” pamit Rahagi yang kini sudah rapi dengan jaket dan helm di atas motornya. Dia tak menghiraukan sindiran Maya untuknya. Suara raungan mesin motor Rahagi yang digas dengan kecepatan tinggi, menambah bising lalu lintas di jalan provinsi.

🌲🌲🌲 

                 Di kamar dengan lampu neon yang masih menyala, Rinjani mengambil buku catatan hariannya. Buku dengan sampul warna hijau itu menjadi teman setianya mencurahkan isi hati. Itu adalah buku ketiga yang dia gunakan untuk menuangkan semua gunda gulana sejak semasa kuliah.

                Bukannya tak punya sahabat untuk mengutarakan isi hati. Rinjani memilih menyimpan urusan hati untuk dirinya sendiri, termasuk hubungannya dengan Rahagi. Tak ada satu pun temannya yang tahu jika dia pernah ta’aruf dengan aktivis organisasi pergerakan mahasiswa itu. Yang temannya tahu, Rinjani kenal dengan Rahagi lantaran mereka pernah terlibat dalam wawancara peliputan aksi penolakan kenaikan BBM. Juga isu perubahan status kampus menjadi Badan Hukum Pendidikan. Berlanjut pada wawancara eksklusif untuk mengisi profil mahasiswa pada majalah kampus.

                Rinjani kini membuka pintu yang terhubung pada balkon. Suasana rumah itu kembali tenang setelah sebelumnya dia disidang oleh kedua orang tuanya. Hari yang berat.

                Kerlap-kerlip lampu di pemukiman yang lebih rendah dari kaki Gunung Penanggungan memperindah suasana malam. Rinjani duduk bersandar pada kursi berbahan rotan. Kemudian dia membuka halaman kosong dan mulai menggerakkan bolpoin.

                Pada usiaku yang ke-28 ini, sepertinya aku baru sadar kenapa takdir memberiku nama Rinjani. Rinjani, gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia yang terletak di Lombok. Pemandangannya indah, makanya menjadi daya tarik bagi pendaki. Tapi karena statusnya sebagai gunung aktif, maka masih menyimpan bahaya. 

               Begitupun denganku. Hari ini aku membuat keputusan yang akan membahayakan diriku sendiri. Bisa jadi aku akan mendekam di penjara maksimal selama 15 tahun. Saat usia 43, aku baru bebas. Menjadi perawan tua. Tentunya tak akan menarik lagi bagi lelaki. Berbeda dengan Gunung Rinjani yang keindahannya akan terus memikat para pendaki. Aku hanyalah seonggok daging yang diberi nama Rinjani. Keindahan parasku, berbatas waktu. Sehingga kelak, aku tak perlu lagi menolak tawaran lamaran dari siapa pun. 

                Aku ingin berterima kasih pada Ayah. Karena dialah aku jadi tahu jika Kak Gi akan melakukan foto prewedding di lokasi galian. Aku memutuskan ke sana. Ingin memastikan Kak Gi bahagia dengan gadis pilihannya. Kuakui selera Kak Gi memang tinggi. Calon istrinya yang bernama Selena itu berparas cantik. Dia lebih tinggi dariku. Kulitnya putih. Sayang nasibnya begitu tragis. Aku tak menyangka peristiwa nahas itu akan menimpa Selena. Aku sungguh kasihan padanya. Dia mati di tangan …

                Jemari Rinjani terhenti menggerakkan pena. Balon percakapan dari aplikasi pesan yang muncul di gawainya mengalihkan perhatian. Sebuah pesan dikirim dari nomor yang belum tersimpan dalam daftar kontaknya.

                 [An …]

                 Hanya satu kata, tapi mampu memporak-porandakan perasaan Rinjani seketika. Bahkan tangan yang terbungkus sweater navy itu tak berani mengusap layar ponselnya. Panggilan itu khas dari Rahagi untuknya. Tak ada orang lain yang memanggilnya Ani … An. 

🌲🌲🌲 

Bersambung

Apa yang Rinjani ketahui tentang kematian Selena …