Bab 5
         Bab 5
          🌲🌲🌲 


         "Yah, kenalin ini Kak Rahagi.” Rinjani segera berdiri begitu ayahnya menginjakkan kaki di ruang tamu.

  Dengan ekspresi datar, Cokro memandang sekilas pemuda yang duduk di sofa. Setelah menutup resleting jaket kulitnya, pria dengan cambang tebal itu ikut duduk. 

          “Permisi, Pak. Saya Rahagi.” Lelaki bertubuh kerempeng itu mengatupkan kedua tangannya sambil mengangguk pelan. 
 
           Cokro membalasnya dengan tatapan merendahkan.

           “Ada yang mau saya sampaikan ke Panjenengan, Pak.” Tidak berbasa-basi menjadi pilihan Rahagi. Meski saat dia menemukan alamat yang dikirim Rinjani, kakinya sempat berdiri kaku di depan pagar besi setinggi dua meter itu. 

           Saat proses ta’aruf, ketika Rinjani ditanya latar belakang keluarganya, gadis itu selalu menjawab berasal dari keluarga biasa saja yang tinggal di kaki Gunung Penanggungan. Rahagi pun percaya. Sebab penampilan Rinjani juga sederhana. Layaknya mahasiswa pada umumnya.

         Apalagi Rinjani juga memakai motor bebek. Bukan mobil mewah sebagaimana yang terlihat Rahagi saat memasuki halaman rumah bercat putih itu. Ada tiga mobil berjajar di garasi yang terbuka. Siapa sangka jika gadis pilihannya tinggal di rumah megah meski memang betul ada di kaki Gunung Penanggungan. 

        Sebagai lelaki sejati, Rahagi tidak mungkin mengingkari janjinya. Dia pantang menyerah sebelum berperang.

“Apa, Mas?” sahut Cokro datar. Posisi duduknya yang berhadapan dengan Rahagi, membuat pengusaha tambang galian C itu bak hakim yang akan menjatuhkan hukuman bagi terdakwa.

“Saya berniat melamar Rinjani, Pak.” Pandangan Rahagi lurus ke arah pria yang sedari tadi melihatnya.

        Yang membuat Cokro kesal, tidak ada nada gemetar saat Rahagi menyampaikan niatnya menikahi Rinjani. Cuk, berani juga pemuda ini, batinnya. 

Kini Cokro melihat dengan saksama sosok pemuda yang berani meminang putrinya itu. “Melamar?” tanya Cokro dengan nada sinis. “Masnya kerja apa?” 

        Lagi-lagi pertanyaan Cokro terdengar merendahkan. Sangat wajar baginya. Sebab Rahagi mengenakan celana jeans dengan warna pudar termakan sengatan panas matahari. Juga kemeja yang tak terlihat dari brand ternama. Ditambah tubuh Rahagi yang kurus, seolah kurang makan. 

“Guru, Pak.”

“Guru apa?”

“Sejarah, Pak.”

“Bukan itu, maksudku, sudah PNS?”

“Masih honorer, Pak.”

“Ha … ha … ha …” Tawa Cokro menggema di ruang tamu dengan lantai full marmer itu. “Memangnya gaji guru honorer berapa, Mas?”

“500 ribu, Pak,” jawab Rahagi tegas.

         Baginya, tidak perlu malu dengan gaji rendah yang didapatkan seseorang lulusan sarjana. Itu bukan kesalahannya. Lemahnya penghargaan terhadap pendidik, bagi Rahagi adalah wujud ketidakbecusan penguasa dalam memperhatikan nasib profesi pencerdas anak bangsa. Jadi bukan aib baginya, juga rekan sejawat lainnya yang masih berstatus sebagai guru honorer. Makanya Rahagi tetap bisa mengangkat kepala di hadapan ayahnya Rinjani.

 Cokro kembali tertawa. Kali ini lebih keras. Namun itu tak membuat pandangan Rahagi menunduk.

         “Mas, Mas, kalo mau hidup susah jangan ajak anakku!” hardik Cokro, “uang segitu, buat ngisi bensin mobilnya Rinjani sebulan saja nggak cukup.” Cokro lalu berdiri tanpa memedulikan reaksi Rahagi.

          “Rinjani, kalo kamu nggak becus cari calon suami, serahkan pada Ayah.” Pria dengan tubuh tetap bugar meski usia sudah mulai memasuki kepala lima itu berlalu pergi dari ruang tamu. Kemudian terdengar suaranya memanggil seseorang untuk menyalakan mesin mobil.
🌲🌲🌲

       “Silakan duduk, Saudari Rinjani.” Suara polisi itu membuyarkan lamunan Cokro dan Rahagi. Pertemuan pertama mereka lima tahun silam seolah baru terjadi kemarin sore.
Setelah Rinjani duduk tepat di samping Rahagi, polisi melanjutkan interogasinya.

        “Kami ucapkan terima kasih atas kesediaannya untuk memberi keterangan dalam proses penyidikan kematian Saudari Selena Regina, Mbak Rinjani. Kami izin memanggil mbak saja ya, biar tidak terlalu kaku.”

         Rinjani menganggukkan kepala sambil berusaha melirik sosok yang duduk di sebelahnya.

         “Kasus ini kami lanjutkan penyelidikannya sebab ada dugaan jika kesimpulan awal kami yang menganggap kasus ini sebagai kecelakaan tunggal, tidak tepat.” 

         Polisi itu lalu mengeluarkan plastik transparan yang di dalamnya terdapat sebuah bros bentuk tulip dengan permata merah sebagai kuncup bunganya. Rinjani dan Rahagi sama-sama terkejut. Bagaimana bros itu bisa sampai di tangan polisi?

         Seolah paham kedua pemuda di depannya ingin bertanya tentang kronologi bros itu ada di pihak kepolisian, petugas itu pun kembali berbicara.

        “Sore tadi ada yang datang kemari, dan menyerahkan benda ini. Katanya ini ditemukan di tempat Saudari Selena Regina sebelum terjatuh,” ucap penyidik sambil mengangkat kantong plastik lalu kembali meletakkan di atas meja.

         Pikiran Rinjani mulai tidak fokus. Saat perjalanan tadi dia menduga Rahagilah yang melaporkannya, ternyata ada pihak lain. Ini benar-benar di luar prediksi guru yang suka mengarang cerita itu. 

        “Apakah bros ini milik Anda, Mbak Rinjani?”

        “Hm … saya tidak yakin, Pak.”

         “Kenapa tidak yakin?”

         “Saya memang punya bros yang mirip dengan itu, tapi bukan berarti itu milik saya kan, Pak?”

         Polisi itu manggut-manggut sambil mengetukkan telunjuknya di atas meja.

        “Baik, untuk membuktikan apakah bros ini milik Mbak Rinjani atau bukan, itu perkara gampang. Tinggal kami lakukan tes sidik jari.”

         Melihat dirinya akan terlibat dalam kasus kematian Selena, Rinjani mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dalam diamnya, dia juga memikirkan strategi apa yang akan dipilih. 

        “Oya, jika Mbak Rinjani punya bros yang mirip dengan ini,” papar petugas sambil telunjuknya mengarah ke kantong plastik di atas meja, “bisa tunjukkan ke kami barangnya?”

        “Hm … sudah saya berikan ke–” Rinjani menghentikan ucapannya.

        “Diberikan ke siapa?” sahut penyidik cepat. 

        “Sa-saya berikan ke Selena, Pak.”

        “Nah ini saya suka kejujurannya. Bu guru, ‘kan ya? Makanya harus jujur. Apalagi calon istri polisi juga.”

        Rinjani mulai risih saat kehidupan pribadinya diusik dalam proses penyidikan. Apalagi ada Rahagi di sebelahnya.

        “Kapan Mbak Rinjani ketemu Saudari Selena?”

         “Kemarin pagi.”
  
         “Saat Saudari Selena hendak melakukan pengambilan foto prewedding di lokasi galian C itu?” tegas tim penyidik.

         Rinjani mengangguk lalu menunduk.

         “Rin, Bunda yakin bukan kamu kan, pelakunya?" Irawati gegas berdiri dari kursinya yang terletak di belakang Rinjani. Wanita berkerudung merah dengan gaya dililitkan ke leher itu kini mengguncang bahu putrinya dari arah samping. “Iya, kan Rin? Bukan kamu, 'kan?”

           “Ibuk mohon tenang, agar Mbak Rinjani bisa memberi keterangan dengan nyaman!” tegur petugas. “Silakan duduk kembali!” 

           Melihat istrinya tidak menuruti perintah tim penyidik, malah berkacak pinggang, Cokro ikut berdiri. Pria itu menghalau istrinya agar kembali duduk tenang.

         “Pa, Rinjani, Pa. Kamu tega dia dipenjara?” protes Irawati saat Cokro menarik tangannya. Apalagi ekspresi suaminya itu terlihat begitu tenang. Tidak seperti dirinya. Jantungnya serasa berlompatan.

           “Proses penyidikannya belum selesai, Ma. Kita lihat dulu nanti.”

  “Awas kalo sampai Papa biarkan Rinjani dipenjara!” ancam Irawati sambil mengacungkan telunjuknya tepat di hidung Cokro. Wanita itu kini kembali mendaratkan tubuh sintalnya di kursi.

  “Berdasarkan laporan yang masuk ke kami, Mbak Rinjani dan Mas Rahagi bertemu di lokasi kejadian sore tadi dan meninggalkan bros ini di tempat. Apakah kalian berdua sebelumnya saling kenal? Atau bahkan mempunyai hubungan khusus?” Pandangan penyidik menatap tajam manik Rinjani dan Rahagi secara bergantian.

          Keheningan sejenak merasuk di ruangan itu. 

   “Kami–” jawab Rinjani dan Rahagi berbarengan. Lalu keduanya saling menoleh sehingga saling beradu pandang. Luka yang telah lama mereka simpan, haruskah diungkap dalam proses penyidikan?

    Rinjani gegas memalingkan wajahnya. Dia sedikit mengangkat dagunya yang lancip.

            Sementara itu, petugas kepolisian bagian linguistik forensik terlihat serius, menunggu pernyataan yang akan terlontar. 

    “Kami dulu sepasang kekasih yang berkomitmen menikah, Pak.”

             Jawaban Rinjani yang terdengar ringan itu, membuat orang-orang di sekitarnya terheran. Sangat jarang orang yang menjebloskan dirinya sebagai tersangka tindakan kriminal. 

     Rahagi yang merasa sangat mengenal karakter Rinjani menatap kosong bros tulip yang tergeletak di atas meja. Dari intonasi yang terdengar enteng, tersimpan rencana yang mungkin akan membuat orang lain geleng-geleng.  

🌲🌲🌲 
Bersambung

Langkah apa yang akan diambil Rinjani?