Bab 4
🌲🌲🌲
Dengan sigap tangan kanan Rahagi menyambar tangan kiri Rinjani yang mengarah ke angkasa. Ada pun tangan kanannya menangkap pinggul ramping di depannya secepat kilat. Rahagi bergerak mundur dan hampir kehilangan keseimbangan. Namun, aroma wangi vanila yang dia hidu dari puncak kepala Rinjani menenangkannya. Mereka hampir menjadi korban lubang galian C berikutnya.
Angin berhenti berembus. Daun dan ranting mematung saat dua insan yang sama-sama telah berusaha mengubur rasa itu menenangkan degup jantungnya.
Hingga Rinjani bergidik begitu menyadari tubuhnya tak berjarak dengan Rahagi. Bahkan tangan kiri lelaki itu terasa hangat di pinggangnya. Perempuan itu memang mengharapkan dada Rahagi menjadi tempatnya bersandar, tetapi tidak dalam keadaan seperti ini. Dengan kesadaran yang mulai pulih, Rinjani mendongak. Netra keduanya sempat beradu sepersekian detik. Lalu Rinjani bergerak mundur selangkah. Kemudian dia berbalik dan berlari sekencang-kencangnya.
Rahagi menundukkan kepala dalam-dalam. Bahkan dia tak paham, apa sebenarnya yang diinginkannya. Maksud hati ingin mengenang Selena, justru Rinjani yang dia temui. Hadir menyiram kembali rasa yang telah dibiarkan layu.
🌲🌲🌲
Perempuan dengan wajah tirus dan kulit kuning langsat itu mengamati pantulan dirinya di depan meja rias dengan desain minimalis. Usianya memang sudah memasuki 28 tahun, tetapi hampir tak ada perubahan berarti bila dibandingkan lima tahun silam. Hidup yang serba kecukupan dan gaya hidup sehat dengan asupan buah dan sayur yang sesuai standar, menjadikan kulitnya tetap kencang bak masih mahasiswa.
Ibunya sudah mewanti-wanti, agar Rinjani menikah tidak lebih dari usia 25 tahun. Konon, katanya kecantikan anak gadis akan memudar kala usianya lewat dari seperempat abad. Nyatanya itu tidak berlaku pada guru Bahasa Indonesia itu. Rinjani lalu mengusap pipi dengan ujung telunjuknya hingga turun ke dagu. Terbesit tanya, "apakah Rahagi masih tertarik padaku?"
Pikiran itu secepat kilat teredam dengan kilau dari berlian yang melingkar di jari manisnya. Cincin pertunangan. Ya, Rinjani hampir lupa dia telah mengikat hubungan, meski belum sampai tahap pernikahan.
Dia pikir, setelah hampir lima tahun tanpa kabar, Rahagi benar-benar tak ingin memperjuangkannya kembali. Maka, dia pun pasrah menerima perjodohan. Seorang pemuda yang baru dilantik dengan jabatan sebagai Inspektur Polisi Dua telah melamarnya.
Suara ketukan pintu, mengalihkan pandangan Rinjani dari cermin.
“Rin, ada tamu.”
Dengan malas Rinjani melangkah dan membuka pintu. “Siapa, Bun?”
“Po-li-si,” jelas wanita yang mengenakan setelan baju tidur lengan panjang itu dengan aksen dieja.
“Temannya Mas Prima?”
Irawati–ibunya Rinjani–menggeleng. “Bukan katanya.”
“Lalu, siapa, Bun?” Perasaan Rinjani mulai tak nyaman.
“Kamu temui sajalah. Kalo nggak ada apa-apa, ‘kan nggak perlu takut. Buruan, Bunda mau bilang Bik Sih biar buatkan minum.” Irawati melangkah pergi meninggalkan putrinya tanpa beban.
Sementara itu, Rinjani menautkan kedua tangannya. Jemarinya saling meremas. Dia sama sekali tak bisa berpikir. Sebab tubuh dan pikirannya sudah sangat lelah. Sebenarnya dia sudah ingin istirahat setelah perasaannya tak karuan. Pertemuan tak terduga dengan Rahagi sore tadi telah memporak-porandakan suasana hatinya.
Sadar ada tamu yang menunggunya, Rinjani segera mengambil gamis dan kerudung dari dalam lemari. Dia pun bergegas menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Di sofa warna abu-abu terang itu duduk dua orang berseragam warna cokelat. Keduanya berdiri begitu Rinjani datang.
“Apakah benar Saudari yang bernama Rinjani?”
“Iya, Pak, saya sendiri,” jawab Rinjani tenang dengan memperhatikan dua petugas itu bergantian.
“Mohon maaf, kami membutuhkan keterangan Saudari. Jadi, mari ikut kami sekarang.”
“Mohon maaf, Pak. Keterangan untuk apa, ya?” Rinjani mulai panik.
“Saksi mata untuk kasus kematian Selena Regina,” jelas polisi itu sambil menyerahkan surat panggilan.
Irawati yang sudah berdiri di belakang Rinjani terperangah mendengar keterangan polisi barusan. “Maaf, Pak. Apa tidak salah orang?” tegas Irawati sambil melangkah ke depan dan berhenti tepat di hadapan Rinjani. Seolah dia ingin menjadi tameng bagi putrinya.
“Mohon maaf Ibuk, ada bukti yang menunjukkan Saudari Rinjani hadir di lokasi kejadian.”
Irawati menelengkan kepalanya masih tak percaya. Dia memang mendengar berita kematian yang sempat ramai dibicarakan warga karena lokasinya tak jauh dari tempat tinggalnya. Namun, siapa sangka jika putrinya ada di lokasi kejadian saat insiden itu terjadi sebagaimana keterangan polisi barusan.
“Betul Rin, kamu di sana saat kejadian itu?”
Rinjani mengangguk.
“Apa?” mata Irawati melotot sempurna, “tapi kamu nggak ada kaitannya sama kematian wanita itu, kan?”
Rinjani mengalihkan pandangannya pada lantai marmer. Dia tidak memberikan jawaban, juga kode apa pun.
“Bisa kita ke kantor polisi sekarang, Mbak?” tegur polisi.
“Tunggu-tunggu, biar Bunda telepon ayahmu dulu.” Irawati menoleh ke kanan dan ke kiri, mengingat-ingat di mana dia meletakkan ponselnya. “Bik Sih, liat hapeku nggak?” tanyanya setengah berteriak.
Wanita berdaster motif kembang sulur segera menghadap setelah meletakkan dua cangkir teh di meja. “Inggih, Buk. Sepertinya tadi di meja makan,” jelasnya.
“Pak, tolong diminum dulu tehnya, biar saya hubungi suami saya dulu!” Usai mempersilakan petugas polisi itu menikmati jamuan, Irawati segera mengambil gawai yang terletak di atas meja makan dan menyentuh nomor kontak suaminya pada layar.
“Pa, ayo ndang diangkat. Lagian seharian ini loh kok belum pulang. Ke mana saja, toh?” Racauan itu keluar dari mulut Irawati sambil modar-mandir.
🌲🌲🌲
“Aku wis nyempatkan datang, tapi malah kok tinggal main hape,” protes Cokro sambil membetulkan posisi bantal di kepalanya.
“Eh, sudah bangun ta, Mas?” Sarah segera meletakkan gawainya di atas nakas. Lalu dia beringsut, mendekati lelaki yang separuh tubuhnya terbungkus selimut itu. Wanita dengan rambut acak-acakan itu ikut membaringkan diri dengan menatap langit-langit kamar.
“Mikir apa? Kurang uang yang kukasih?”
“Mboten, Mas,” sahut Sarah dengan mimik yang dipaksa ceria. Dia ingat, harus tampil menyenangkan agar Cokro tak meninggalkannya.
“Lalu kenapa kok tadi mukamu cemberut ngunu?”
“Itu loh, Mas. Lihat berita kematian perempuan yang mau foto prewedding itu, loh. Kasihan aku, Mas. Apalagi–”
“Apalagi apa?”
“Mboten, Mas.”
Cokro lalu menepuk-nepuk dadanya, agar Sarah mendekat padanya. Tanpa menunggu lama, wanita yang mengenakan baju tidur berbahan sutra dengan model pengait tali di bahu itu segera merapatkan tubuhnya.
“Malam ini tidur sini, ya, Mas,” pinta Sarah manja.
“Wis ta, nggak usah melanggar kesepakatan. Yang penting kamu ‘kan sudah dapat jatah barusan.”
“Mbok ya sesekali aku ditemani sampai–”
Belum selesai Sarah bicara, Cokro segera bangun begitu melihat nyala di dalam saku celananya yang tersampir di kursi depan meja rias. Dia telah mengatur ponselnya dengan mode getar. Setelah mengambil benda pipih itu, tertera di layar panggilan dari Ira Bojoku Semangatku.
“Ya, hallo, Ma, ada apa?”
Sarah langsung memalingkan muka begitu mendengar sapaan ‘Ma.’ Dia yakin Cokro akan segera pergi. Padahal dia ingin menceritakan sesuatu yang sudah disimpan 29 tahun silam.
“Ya … ya … aku segera pulang, tunggu sebentar.” Cokro segera meletakkan ponselnya di meja, meraih kemeja lengan pendek dan celana panjangnya.
Setelah berpakaian lengkap, dia pun pamit. “Aku pulang dulu, Sar. Jaga dirimu baik-baik.” Sebuah kecupan mendarat di kening Sarah seperti biasanya.
🌲🌲🌲
Mobil jenis SUV ladder-frame warna putih itu berjalan mengikuti sedan dengan sirine di depannya. Rinjani dan Irawati duduk di jok tengah yang dilapisi material kulit yang lembut. Sementara di jok depan, ada sopir keluarga dan seorang petugas polisi.
Perempuan yang melapisi gamisnya dengna long cardigan itu menatap kosong ke luar jendela. Irawati berusaha mengajak putrinya bicara, namun Rinjani memilih untuk membisu.
Sementara ibunya sibuk mengabari ayahnya di mana posisi mereka sekarang, hati Rinjani terasa remuk. Dia kira, Rahagi masih menyimpan perasaan untuknya. Nyatanya lelaki itu malah melaporkannya ke polisi.
“Kamu harus bilang jika kamu nggak kenal dengan wanita yang meninggal itu, Rin.” Irawati mendikte apa yang harus dilakukan putrinya. Seolah Rinjani anak baru lulus TK yang mesti diarahkan harus bicara apa.
“Siapa yang berani menyeret namamu itu? Ayahmu pasti tak akan mengampuninya.” Sepanjang perjalanan, Irawati terus mengeluarkan ancaman. Dia baru berhenti bicara saat kendaraan yang ditumpanginya masuk ke halaman kantor Polres.
Saat Rinjani dan Irawati turun dari mobil, dia sudah disambut Cokro yang datang tiga menit lebih dulu. Mereka tak bicara, hanya mengikuti arahan petugas kepolisian memasuki ruangan bercat krem. Di dalamnya terdapat meja dan kursi yang berjajar.
Di salah satu kursi itu duduk Rahagi. Kedatangan Rinjani yang disertai suara bising ibunya, membuat Rahagi menoleh ke samping. Lalu dia juga melihat Cokro. Dua mata lelaki itu beradu, membongkar kepingan masa lalu.
🌲🌲🌲
Bersambung
Kepingan peristiwa apakah yang terjadi antara Rahagi dan Cokro? Simak di bab 5, ya🤗