Bab 2
🌲🌲🌲
[Kamu lagi di mana, An …]
Sebuah pesan masuk di gawai pintar milik Rinjani. Siapa lagi jika bukan dari lelaki yang baru dikenalnya sebulan lalu–yang memanggilnya Ani. Panggilan yang bagi Rinjani terasa asing dan klasik. Mengingatkannya pada judul lagu lawas dari raja dangdut tanah air.
Dengan jemari gemetar, Rinjani membalas pesan itu. Sejak Rahagi Sambara menyatakan suka padanya, entah kenapa jantung Rinjani selalu berdegup lebih kencang bila lelaki itu mengirim pesan.
[Di sekretariat, Kak Gi]
Pesan itu segera Rinjani kirim. Dia yang sedang duduk di depan komputer sekretariat majalah kampus menoleh ke kanan dan ke kiri. Khawatir ada teman yang memergokinya senyum-senyum sendiri sambil membalas pesan.
[Kapan turun? Aku mau kasih sesuatu]
Pesan dari Rahagi itu makin membuat Rinjani salah tingkah. Dia sampai mengentak-entakkan kakinya ke lantai saking geroginya.
[Lima menit lagi]
Rinjani gegas mengemasi novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. Dia harus mengkhatamkan isinya agar bisa mengerjakan tugas kritik sastra dari sang dosen.
[Kutunggu di teras bawah, kursi pojok utara]
Bertemu dengan Rahagi membuat tangannya mendadak terasa dingin. Saat Rinjani hendak meninggalkan sekretariat, rekan satu timnya di majalah kampus datang. Sehingga dia tidak perlu mengunci pintu.
“Mau ke mana, buru-buru amat?” sapa Naira–senior bagian penyunting naskah.
“Hm … ditunggu teman, Mbak, sama ada kuliah juga.” Rinjani menyunggingkan senyum, hingga matanya yang tak terlalu lebar terlihat makin sipit.
Sementara itu, Rahagi duduk di kursi panjang yang terbuat dari cor-coran batuan dan campuran semen, permukaannya bak marmer, adem di kulit. Di hadapannya juga ada bangku panjang yang memisahkan dengan kursi satunya.
Teras gedung administrasi ini sengaja disediakan tempat duduk yang dulu digunakan untuk mengantre pembayaran uang semester. Sebelum teknologi berkembang hingga semuanya bisa dilakukan dengan transfer.
Kini tempat ini lebih dimanfaatkan para mahasiswa untuk mengisi waktu luang. Entah untuk mengobrol dengan teman, atau mengerjakan tugas. Sebab tersedia colokan listrik dan free wifi. Sehingga dipastikan suasananya tak pernah sepi. Begitu pun siang ini.
Melihat gadis yang ditunggunya sudah datang, Rahagi mengeluarkan kotak kecil dari dalam tasnya.
Sementara itu, Rinjani masih berdiri kaku.
“Duduklah!”
Ada perasaan ragu tatkala gadis berdagu lancip itu mengikuti permintaan Rahagi. Kemarin, saat mengikuti kajian di masjid kampus, baru saja Rinjani mendapatkan materi tentang larangan berdua-duaan dengan lelaki asing.
“Sebentar saja,” tegas Rahagi. Seolah paham keraguan Rinjani.
Akhirnya Rinjani duduk tepat di hadapan Rahagi dengan meja panjang sebagai sekat di antara mereka. Toh di sini cukup ramai, pikirnya.
“Terimalah!” Rahagi mengangsurkan kotak kecil warna hitam hingga berada di tepi meja dekat Rinjani duduk.
“Apa ini, Kak?”
“Hadiah kecil dariku karena kamu sudah bersedia jadi pa–” Rahagi seketika menghentikan ucapannya. Dia ingat, Rinjani tidak mau pacaran. Jika ada lelaki yang ingin serius menjalin hubungan, maka jalannya adalah ta’aruf yang diniatkan untuk menikah.
“Hm … maksudku kamu bersedia ta’aruf denganku,” tegas Rahagi, “bukalah!”
“Sekarang?”
Rahagi mengangguk disertai senyuman. Senyum khas karena ada gigi ginsul di rahang atas bagian kanan. Terlihat sangat manis sampai Rinjani segera menundukkan pandagannya. Takut dia terbius.
Dengan tangan gemetar, Rinjani membuka kotak hitam kecil itu. Wajahnya seketika semringah melihat bros berbentuk tulip berbahan logam warna silver. Dipercantik permata merah marun pada bagian bunganya.
“Masyaallah, cantik sekali.” Rinjani tak dapat menahan rasa takjubnya.
“Syukurlah jika kamu suka. Pakailah.”
“Hm … besok saja, Kak. Saya mau ada kuliah,” elak Rinjani, “makasih banyak, saya duluan.”
Rahagi melepas kepergian Rinjani dengan senyuman dan rasa puas. Tak salah dia memilihkan hadiah untuk perempuan yang telah mencuri hatinya. Tulisan Rinjani di majalah kampus sebenarnya sudah lama dia baca. Selalu terasa bernas. Hanya saja Rahagi belum pernah bertemu dengan orangnya. Hingga Rahagi ingat, saat Rinjani mengulas Turki sebagai salah satu saksi kejayaan Islam di masa lampau, tersirat kekagumannya pada bunga tulip yang akan mengembang saat musim semi tiba.
🌲🌲🌲
Bayangan peristiwa lima tahun itu terus berkelindan dalam benak Rahagi. Tubuhnya saat ini sedang berada di kantor Polsek Ngoro, tetapi pikirannya melayang di Malang, saat bunga-bunga bermekaran dalam hatinya.
“Jadi di antara kalian tidak ada yang tahu kronologi jatuhnya korban?” tanya petugas kepolisian berwajah persegi.
Rahagi, Juna, dan Maya kompak menggeleng. Ketiga pemuda itu tampak linglung. Peristiwa nahas yang menimmpa teman mereka masih serasa mimpi. Sulit dipercayai.
“Baiklah, jika demikian, untuk sementara, kasus kematian Saudari Selena Regina ini kami nyatakan sebagai kasus bunuh diri atau kecelakaan tunggal sampai ada bukti lain ditemukan.”
“Jika bunuh diri tidak mungkin, Pak Polisi. Saya ini sahabatnya Selena. Dia sangat bahagia dengan rencana pernikahannya. Rasanya tidak logis jika dia tiba-tiba begitu saja mengakhiri hidup,” potong Maya berapi-api. Dia tidak terima dengan kesimpulan itu, meski hanya sementara.
“Baik, keterangan seperti ini yang kami butuhkan, sehingga kami bisa memberikan keterangan yang tepat atas jatuhnya korban. Jika begitu, kita simpulkan sebagai kecelakaan tunggal yang kronologinya belum bisa dijelaskan sebab tidak ada saksi mata yang melihatnya.”
Suasana ruangan bercat krem itu terasa tegang. Hanya terdengar bunyi keyboard komputer dari salah satu petugas yang mengetik hasil interogasi.
“Kamu yakin Mas Gi, ini kecelakaan tunggal?” Sorot mata Maya tajam menghunus ke dua retina Rahagi. Seketika pemuda itu menelan salivanya.
“Menurut Mas, apakah Selena seceroboh itu dengan membahayakan dirinya berdiri di tepi tebing hingga dia terpeleset lalu terjatuh?”
Rahagi membisu, tetapi tangannya meremas saku celananya dari luar. Bros tulip itu tadi diambilnya menggunakan sapu tangan lalu segera dia simpan dalam saku. Dia masih menimbang, apakah benda mungil itu bisa menjadi barang bukti bahwa ada orang lain yang mendorong Selena hingga terjatuh? Ataukah bros itu milik Selena sendiri?
Hanya saja bentuknya yang sama persis dengan bros yang Rahagi berikan untuk Rinjani lima tahun lalu membuat Rahagi ragu. Bagaimana mungkin terjadi kebetulan seperti itu? Jika itu memang milik Selena, kenapa tidak dikenakan di bajunya? Kenapa justru dalam genggamannya?
Jika benar bros itu milik Rinjani, kenapa sampai ada di tangan Selena? Apakah Rinjani memberikanya pada Selena? Kapan? Apakah pagi tadi, yang berarti Rinjani penyebab Selena terjatuh?
Rahagi mengacak-acak rambutnya. Dia terlihat begitu frustasi. Hati kecilnya mengatakan tidak mungkin Rinjani berbuat sejahat itu, tetapi keberadaan bros tulip itu seolah menafikkan semuanya. Jika dia tetap menyimpan bros tulip itu, apakah ini adil untuk Selena?
“Gimana, menurutmu, Mas?” tegas Maya kembali.
“Sabar, May, kita sama-sama terpukul atas kematian Selena, apalagi Rahagi.” Juna menepuk-nepuk bahu temannya yang masih menunduk itu.
“Oya, Mas Rahagi dan Juna ‘kan sudah jelas posisinya saat korban terjatuh. Kalo Mbak Maya sendiri sedang di mana saat itu?”
“Pak Polisi mencurigai saya?” sahut Maya tak terima.
“Siapa saja bisa jadi tersangka Mbak dalam kasus seperti ini.”
“Gila apa, Pak. Selena itu sahabat saya, mana mungkin saya mencelakainya. Saat itu saya lagi ngevlog dan bikin konten untuk akun YouTube saya. Saya naik ke tanah yang lebih tinggi dan sibuk mengendalikan remote drone.”
“Drone?” potong petugas, “Mbaknya menggunakan drone?”
“Iya, Pak.”
“Bisa kami cek hasil rekamannya?”
“Masih di dalam mobil, Pak. Saya sendiri belum sempat cek hasilnya karena keburu dengar teriakan Selena, Pak.”
“Baik, kami minta hasil rekamannya, sebagai alat bukti. Siapa tahu alat itu merekam kejadian sebelum korban tewas.”
Rahagi panas dingin begitu Maya beranjak dari kursinya. Dia tidak pernah membenci Rinjani karena gadis itu tak salah apa-apa. Namun, bagaimana jika ternyata Rinjani terlibat atas tewasnya Selena?
🌲🌲🌲
Apakah yang dikhawatirkan Rahagi akan terbukti? Simak di bab selanjutnya, ya. Makasih❤️