Bab 3
🌲🌲🌲
Maya dibantu Juna menyerahkan drone miliknya kepada petugas kepolisian. Mesin terbang tanpa awak yang dikendalikan dari jarak jauh itu diletakkan oleh Maya di atas meja.
Setelahnya, gadis dengan kaus warna putih lengan pendek itu menyalakan ponsel pintarnya. Aplikasi yang terhubung dengan chip yang terpasang di pesawat nirawak pun segera dia buka.
Sekian detik kemudian, riwayat perekaman terpampang. Telunjuk Maya dengan lincah menyentuh waktu terbaru dari deretan video yang muncul di layar.
“Ini, Pak!” tunjuk Maya saat video itu mulai berputar.
Rahagi menggeser duduknya agar bisa menyaksikan hasil rekaman. Keterbatasan lebar layar ponsel membuat mereka semua memicingkan mata. Mereka tak sabar menunggu detik-detik video itu menunjukkan posisi Selena sebelum terjatuh.
“Ketinggian pengambilan objeknya cukup rendah ya, Mbak?” tanya polisi yang tertera nama Sufendi di dadanya.
“Iya, Pak. Di awal-awal saja saya ambil dengan jangkauan yang lebih luas. Selebihnya saya memang sengaja mengambil gambar dengan jarak rendah agar objek tampak lebih jelas,” terang Maya sambil mengembuskan napas dari mulutnya.
Ekspresi Maya menunjukkan dia berharap drone-nya merekam detik-detik saat sahabatnya terjatuh. Sehingga terpecahkan teka-teki kematian Selena. Apakah kecelakaan tunggal? Atau ada pihak yang mencelakainya.
Rahagi sempat memperhatikan sahabat mendiang calon istrinya itu. Maya terlihat merasa bersalah. Mungkin dia menyesal sebab tidak mendampingi temannya hingga sesi pemotretan dilakukan. Bisa juga Maya berpikir dia terlalu egois dengan mengutamakan kepentingannya mengambil video demi konten. Padahal masih ada banyak waktu di lain kesempatan. Setidaknya itu kesan yang ditangkap Rahagi.
“Andai saat itu aku terus bersamamu, Lena,” sesal Maya dengan mata berkaca-kaca. “Pasti musibah itu tak ‘kan terjadi.” Perempuan berambut sebahu yang diikat ke belakang itu menggigit bibir bawahnya.
“Nah ini! Ini pas aku sama Rahagi baru datang.” Juna menunjuk layar gawai.
Maya ingat, saat suara Jeep sampai ke gendang telinganya, dia memang mengarahkan drone ke sumber suara. Dia ingin memastikan Rahagi datang. Lalu drone itu bergerak mengikuti Jeep yang mulai turun ke dasar lokasi galian.
“Ayo, balik ke posisi Selena!” seru Maya pada hasil rekaman drone. Tangannya mengepal menanti hasil rekaman pada detik-detik krusial.
Benar, pesawat tanpa awak itu bergerak dengan mulus ke posisi Selena berdiri. Kemampuan aerial videography Maya bisa dibilang sudah cukup profesional. Tidak rugi dia bergabung di Komunitas Aerial Drone and Racing.
“Lihat, ada perempuan berkerudung mustard menghampiri Selena!” seru Maya dengan mengarahkan telunjuknya. Dia kembali menggigit bibir bawahnya.
Bisa dikatakan, Mayalah yang paling histeris di antara mereka. Apakah karena dia satu-satunya perempuan? Makhluk yang diciptakan dengan perasaan lebih dominan.
"Maaf, aku lebih tertarik merekam pemukiman dan lubang-lubang bekas galian di sektarnya," jelas Maya saat rekaman drone itu hanya melintas sebentar di tempat Selena berdiri.
Sehingga tidak diketahui apa yang dilakukan Selena dengan perempuan berkerudung mustard itu. Maya memalingkan wajah. Diikuti embusan napas lewat mulut dari ketiga lelaki di sekitarnya. Harapan mereka, pupus seketika.
“Siapa wanita berkerudung itu?” tegas Sufendi, “apakah ada teman kalian yang lain di sana?” lanjutnya.
“Tidak, Pak. Saya hanya datang berdua dengan Selena,” terang Maya, “Mas Gi, kamu pasti tahu ‘kan wanita itu siapa?”
Rahagi menelan saliva dan tetap bergeming. Dia tidak berani menatap manik tajam Maya yang tertuju padanya.
“Mas, jawab!” bentak Maya sambil menggebrak meja. Hingga menyita perhatian petugas kepolisian lain di ruangan itu.
“May, tahan emosimu.” Juna mencoba menengahi. “Wajah perempuan berkerudung mustard itu tidak tertangkap kamera. Kita sama-sama tidak tahu.”
“Yang pasti, perempuan itu bukan temanku atau teman Selena, circle pertemanan kami tidak ada yang berkerudung,” tegas Maya perlahan dan penuh tekanan. Dia kembali duduk di kursi kayu agar emosinya lebih stabil.
“Baik Mbak, tahan emosinya. Menangani kasus seperti ini kita memang harus sabar mengumpulkan bukti. Setidaknya kita sudah menemukan satu petunjuk. Ternyata ada orang lain yang menghampiri korban sebelum terjatuh.” Petugas kepolisian itu mencoba menenangkan suasana.
“Laporan kalian sudah cukup. Selanjutnya bawa surat keterangan ini ke rumah sakit agar jenazah bisa ditangani sebagaimana mestinya.”
“Baik, Pak, terima kasih, kami pamit dulu.” Rahagi segera bangun dari duduknya dan mengambil amplop warna cokelat berlogo lambang lembaga pengayom masyarakat.
Sementara itu, Maya masih tinggal karena diminta utuk mengirim hasil rekamannya sebagai barang bukti ke komputer tim penyidik.
🌲🌲🌲
Sehari telah berlalu sejak insiden tewasnya Selena. Perempuan yang menutup usia di angka 29 tahun itu telah disemayamkan di pemakaman umum. Lokasinya cukup dekat dari perumahan yang Selena beli tiga tahun silam di kawasan Mojosari.
Media massa lokal hari ini mulai menayangkan berita kematian Selena. Foto gadis dengan rambut lurus sepunggung itu nangkring di beberapa portal online, juga Instagram kabar Mojokerto. Judulnya pun beragam, di antaranya Tragedi Prewedding, Galian C Kembali Memakan Korban, hingga yang berbau mistis, Tumbal Calon Pengantin.
Ada pun Rahagi, hari ini dia mengajukan cuti kerja. Pikiran dan tubuhnya terlalu lelah jika harus menghadapi mesin-mesin pabrik. Ponselnya pun dinonaktifkan. Sebab, sejak kemarin malam, puluhan pesan masuk ke nomornya.
Begitu tersiar kabar bahwa korban yang terjatuh dari tebing itu adalah calon istri Rahagi Sambara–nama yang tak asing di kalangan wartawan karena posisinya sebagai ketua Persatuan Buruh Indonesia–kasus ini menjadi makin seksi.
Sosok Rahagi yang terbiasa memimpin aksi demonstrasi kala terjadi kezaliman terhadap hak buruh atau tuntutan kenaikan UMK memang sangat familiar di kalangan para jurnalis media lokal Mojokerto. Bahkan hampir semua wartawan itu mempunyai nomor kontaknya.
Maka, begitu dipastikan Selena adalah calon istri sang orator, rekan-rekan juru berita itu langsung menghubungi Rahagi. Meminta waktu untuk melakukan wawancara eksklusif. Pemburu berita itu didera rasa penasaran atas kronologi pre-wedding yang berujung kematian calon mempelai wanita. Mereka ingin mendapatkan informasi dari sumber pertama.
Pikiran kritis para jurnalis tidak begitu saja puas dengan keterangan polisi jika kasus itu sebagai kecelakaan tunggal. Mereka tahu Rahagi selama ini menjadi musuh para pengusaha tambang galian C yang melakukan eksploitasi secara ilegal.
Pun demikian para pengusaha yang telah mengantongi izin resmi, tetapi melakukan pelanggaran atas kedalaman galian yang melebihi dari ketentuan. Juga pengabaian bekas galian dari tanggung jawab reklamasi.
Semua tindakan tersebut sama-sama melanggar Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 7 Tahun 2014. Juga Undang-Undang nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Serta Peraturan Pemerintah nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang.
Sehingga analisis mereka mengarah pada adanya upaya pembunuhan calon istri Rahagi sebagai bentuk teror agar lelaki itu berhenti mengusik pengusaha tambang galian C. Sebab bisnis ini keuntungannya menggiurkan.
Sayangnya, pesan dari para wartawan itu tidak ada yang dibaca oleh Rahagi. Baru kali ini pria dengan pendidikan akademik sarjana pendidikan jurusan sejarah itu menghindari wartawan. Sebelumnya dia selalu bersikap ramah dan gampang diajak kerja sama. Sebab selama ini dia memang butuh wartawan untuk meliput aksinya agar diketahui masyarakat umum.
Namun, kali ini lelaki berambut ombak itu menghindar. Rahagi tak ingin masalah pribadinya menjadi konsumsi publik.
Hampir seharian Rahagi mengurung diri di kamar. Dia tak selera makan. Yang ada hanya kenangan tentang Selena yang terus kerkecamuk dalam jiwa.
Berdiam diri seharian di kamar ternyata tidak membuat jiwa Rahagi tenang. Usai menunaikan salat Asar, dia menyalakan motor sporty-nya. Jaket kulit warna hitam dan kacamata warna senada, tak lupa helm sesuai standar dia gunakan. Lelaki itu lalu melajukan motornya ke jalanan. Pikirannya masih kalut sehingga dia berjalan tanpa tujuan.
Motor itu bergerak pelan hingga mengantarkannya ke jalan provinsi lalu berbelok ke kanan. Memasuki gang kampung berpaving yang becek oleh siraman air dari mobil tangki. Motor sporty warna hitam itu diapit truk-truk pengangkut tanah galian.
Sesekali kerikil dan gumpalan tanah menyeruak dari balik terpal yang menutup bagian terbuka bak truk saat ada guncangan dari jalanan yang berlubang. Membuat Rahagi menjaga jarak aman dengan truk di depannya. Tak lama kemudian, lelaki itu berhenti di lokasi tempat dia berbicara dengan Selena untuk terakhir kali.
Langit di ufuk barat sore ini tampak merah. Sebenarnya ini panorama yang sangat indah, hanya saja suasana hati Rahagi sedang berduka. Setelah helm dia lepaskan, pandangan lelaki itu tertuju pada sosok berkerudung mustard dengan pakaian dinas Pemda warna khaki. Dilepaskannya kaca mata hitam yang dipakainya karena dia khawatir ini hanya ilusi. Namun, apa yang dilihatnya nyata.
Rahagi bergerak mendekat pada sosok yang tak asing baginya. Perempuan itu berjalan sambil jongkok, seolah mencari sesuatu.
“Apakah ini yang kau cari?”
Mendengar ada suara di belakangnya, perempuan berkerudung persegi itu menoleh dengan posisi tetap duduk jongkok.
Mengetahui siapa yang datang beserta benda yang disodorkan, wanita itu terduduk di atas tanah gersang dan berkerikil tajam. Kedua telapak tangannya menapak tanah, menopang tubuhnya yang sempat terhuyung.
“Apakah ini yang kau cari, An?” tanya Rahagi sekali lagi. Kali ini disertai panggilan khasnya untuk Rinjani. Bros tulip itu masih dipegang Rahagi. Sebab Rinjani hanya memandangnya ketakutan.
“Ambillah!” pinta Rahagi dengan maju selangkah.
Rinjani bukannya bergerak maju, melainkan mundur karena intonasi suara Rahagi terdengar datar dan mencekam. Dia tak sadar jika di belakangnya adalah ceruk dalam. Titik yang sama saat Selena terjatuh.
“Ambillah, An! Ini milikmu, ‘kan?”
Makin Rahagi maju, Rinjani juga kian mundur. Hingga telapak tangannya yang sedari tadi berada di belakang punggungnya, tak lagi menyentuh bebatuan sebagai tumpuan, melainkan udara kosong.
“Ough …!” Teriakan Rinjani bersahutan dengan cicit burung pipit yang hendak kembali ke sarang.
🌲🌲🌲
Bersambung
Apakah Rinjani juga terjatuh di tempat yang sama seperti Selena?
Jangan lewatkan di bab 4.