Bab 6
🌲🌲🌲
Cokro meremas kuat lengan kursi. Dia mulai merasa gerah. Rinjani tidak boleh dibiarkan memberikan keterangan yang justru akan mempersulit dirinya. Apalagi sampai menanggung hukuman yang bukan menjadi tanggung jawabnya.
“Kerja kalian selalu saja nyalahi perintah,” gumam Cokro spontan.
“Papa ngomong apa, barusan?” Irawati menoleh ke suaminya saat mendengar ocehan dengan emosi rendah itu. Hanya saja, apa yang diucapkan Cokro tidak tertangkap dengan jelas di telinganya. Karena Irawati juga sama kagetnya begitu mendengar pengakuan Rinjani.
“Nggak apa-apa,” sangkal Cokro, “anakmu itu, mulai ngelantur ngomongnya.” Cokro berusaha mengalihkan fokus obrolan. Agar Irawati tidak melihat perubahan gelagatnya.
Niat Cokro berhasil. Irawati seketika melupakan gumaman yang tidak jelas dari mulut suaminya. Namun, ucapan terakhir Cokro membuat dada Irawati nyeri. Ada kekhawatiran, Cokro tidak maksimal membela Rinjani kali ini.
Di satu sisi, tim penyidik bagian linguistik forensik tampak berbinar. Seolah petugas itu sudah mendapat titik terang. Juga benang merah kasus yang sempat menyita perhatian masyarakat itu. Cinta segitigalah yang menyebabkan insiden berdarah itu terjadi. Suatu kesimpulan sederhana, yang bisa dicerna dengan mudah. Sebuah motif klise.
Tentu jika praduga itu menjadi kenyataan, masyarakat akan digemparkan dengan sosok perempuan cantik anak juragan galian C. Siapa kira perempuan berhijab, yang hidupnya dalam penilaian orang sangat beruntung. Guru dengan status Aparatur Sipil Negara–status yang masih wah bagi masyarakat desa. Anak pertama pengusaha sukses. Bahkan telah bertunangan dengan perwira polisi. Kini justru terganjal tindakan kriminal. Namun masyarakat juga akan maklum. Bukankah cinta itu buta? Hingga tindakan orang yang sedang dimabuk cinta seringkali bertentangan dengan logika.
“Lantas, apakah Mbak Rinjani yang menyebabkan korban jatuh?” tanya penyidik hati-hati.
Perempuan berkerudung warna baby pink itu tidak seketika menjawab. Seolah dia sedang memperhitungkan konsekuensi dari pernyataannya. Sementara itu, orang-orang di sekitarnya menunggu dengan degup jantung lebih kencang.
“Iya, Pak. Saya yang menyebabkan Selena terjatuh.”
“Rinjani, kamu jangan mengarang cerita di sini!” teriak Cokro diikuti langkah maju. “Pak Polisi, jangan begitu saja percaya omongan Rinjani. Dia sedang ngarang cerita.”
Bukan hanya Cokro yang tak percaya. Rahagi pun dibuat terperangah dengan pengakuan Rinjani tersebut.
“Bapak mohon tenang, kami belum selesai!”
“Sudah, cukup! Saya mau ngajak Rinjani pulang.” Cokro meraih pergelangan tangan Rinjani dan menariknya. Namun petugas lain berusaha menghalangi. Suasana di ruangan itu sempat gaduh.
“Tenang, Pak. Tenang!” seru petugas, “jika Bapak tidak bisa diajak kerja sama, ini akan menyulitkan putri bapak sendiri!”
Dengan napas terengah-engah, Cokro mengalah. Dia lalu kembali duduk di samping Irawati.
“Pa … gimana ini?” rengek Irawati tak kalah cemasnya.
“Nanti aku akan minta bantuan Pak Bambang. Polisi yang sedang tugas itu kaku. Nggak bisa diajak kerja sama.”
Sepasang suami istri itu lalu kembali fokus ke depan karena tim penyidik kembali menjalankan tugasnya.
“Baik, Mbak Rinjani. Bisa diceritakan gimana kejadiannya saat itu?”
“Saya mendengar Kak Rahagi akan melakukan pengambilan foto prewedding di lokasi galian. Karena lokasinya tak jauh dari rumah, maka saya pun memutuskan memberikan bros yang Kak Rahagi berikan kepada saya beberapa tahun lalu itu. Saya masih menyimpannya dengan baik. Saya pikir, saya sudah tidak berhak atas bros itu. Karena mestinya bros itu jadi milik wanita yang akan menjadi istri Kak Rahagi. Jadi, pagi itu saya niatkan memberikannya untuk calon istri Kak Rahagi.”
“Akhirnya Mbak Rinjani datang ke lokasi kejadian?”
“Ya.”
“Sendiri atau ada teman?”
“Sendiri, Pak.”
“Baik, apakah Mbak Rinjani sebelumnya sudah mengenal korban?”
Rinjani menggeleng. “Tidak, Pak.”
“Jadi saat itu adalah pertemuan pertama?”
“Ya.”
“Lalu, apa yang Mbak lakukan saat itu?”
“Selena saat itu sedang berdiri sendirian, saya lalu menghampirinya.”
🌲🌲🌲
“Assalamu’alaikum.”
Selena yang sedang berdiri menatap pergerakan Jeep ke dasar galian, terhenyak dengan suara salam yang didengarnya. Dia tidak seketika menoleh, tetapi mencoba mencerna. Suara perempuan. Yang jelas bukan Maya, sebab sahabatnya itu tidak mungkin menyapanya dengan ucapan assalamu’alaikum. Bahkan Selena sempat berpikir jika itu halusinasinya. Konon, alam terbuka, apalagi bekas hutan tempatnya sekarang berdiri menjadi rumah bagi makhluk ghaib. Jangan-jangan dia sedang diganggu.
Akhirnya Selena membalikkan badan saat mendengar suara salam itu untuk kedua kalinya. Dia lalu mendapati perempuan bergamis cokelat tanah dipadu dengan kerudung warna mustard. Kulitnya tidak putih pucat, melainkan kuning langsat dan tampak bercahaya.
“Ya, maaf siapa, ya?” sahut Selena setengah terperangah. Sampai dia lupa menjawab salam.
“Mohon maaf mengganggu, saya Rinjani.”
Selena menerima uluran tangan perempuan dengan nama yang tak asing itu, Rinjani. Sosok yang selama ini membuat Rahagi bersikap dingin pada setiap perempuan yang berusaha mendekatinya, termasuk Selena.
“Selena,” sahut Selena memperkenalkan namanya.
Pandangan Selena menyapu sosok yang lebih pendek darinya kisaran lima sentimeter. Rasanya seperti mimpi bertemu dengan perempuan yang selama ini membuatnya penasaran. Dari aura yang terpancar, Selena bisa maklum jika Rinjani bisa menawan hati Rahagi sedemikian rupa. Perempuan di depannya, terlihat kalem tetapi binar matanya menggambarkan pemiliknya sosok yang cerdas dan tenang.
“Hm … ”
Deheman Rinjani membuat Selena kembali menatap sosok di hadapannya setelah pandangannya tampak kosong.
“Selamat ya atas rencana pernikahannya.”
“Makasih.” Selena hanya mampu menjawab satu kata. Jujur dia merasa kikuk dengan kedatangan Rinjani yang tiba-tiba. Ada banyak hal sebenarnya yang ingin Selena bicarakan dengan Rinjani, tetapi entah kenapa lidahnya terasa kelu. Sempat terbesit rencana dalam benak Selena untuk mengajak Rinjani ngafe. Dia merasa bisa menjadi sahabat dari mantan Rahagi itu.
Lalu, pandangan Selena teralihkan saat jari lentik Rinjani melepas bros bentuk tulip yang tersemat di kerudung bagian bahunya. Benda mungil itu, sedari tadi tampak bersinar terkena sinar mentari pagi.
“Ambillah,” ucap Rinjani ramah. Tangannya masih menggantung sebab Selena tak kunjung menerima pemberiannya. “Kamu lebih berhak memilikinya.”
“Aku?” tanya Selena masih tak mengerti.
“Iya. Kak Rahagi memberikan ini saat kami mulai berkenalan lebih dekat untuk menyamakan pandangan sebelum memutuskan menikah. Setelah aku dengar ada wanita yang hendak dinikahinya, aku pikir, aku lebih baik memberikan bros ini untuknya. Untukmu.”
Mata Rinjani mulai berkabut. Berat sebenarnya melepas bros cantik itu. Namun, dia juga ingin meringankan pikirannya. Jika bros itu masih dia simpan, maka sosok Rahagi juga akan terus terbayang.
“Ambillah, jaga dia baik-baik,” pesan Rinjani spontan. Pipinya seketika basah. Buliran bening dari netranya tak kuasa dia tahan. Rasanya pesan ‘jagalah dia baik-baik,’ bukan ditujukan untuk bros yang akan diserahkannya. Melainkan untuk sosok Rahagi yang berusaha diikhlaskannya. Beginikah rasanya merelakan orang yang sudah terpatri begitu kuat di hati untuk orang lain?
🌲🌲🌲
Suara Rinjani serak saat menceritakan pertemuannya dengan Selena pagi itu. Jemari lentiknya diusapkan ke wajah, menyapu air mata yang menyembul dari netra.
Tim penyidik masih bersabar menunggu keterangan Rinjani berikutnya. Namun Rinjani masih juga membisu.
“Lalu, gimana korban bisa sampai terjatuh, Mbak Rinjani?” Akhirnya penyidik melontarkan tanya agar tidak banyak waktu terbuang sia-sia.
“Setelah saya menyerahkan bros itu, saya sudah tidak tahan berlama-lama di sana, Pak. Jadi saya langsung pergi. Bahkan tak sempat pamit ke Selena,” jelas Rinjani masih dalam kondisi terisak.
Petugas lalu menyandarkan punggunggnya dengan mengembuskan udara dari dalam mulut. Dikiranya Rinjani akan bercerita jika dia kemudian mendorong Selena hingga terjatuh.
“Jika Mbak Rinjani saat itu tidak tahu gimana korban bisa terjatuh, karena sudah meninggalkan lokasi kejadian, lantas kenapa tadi bilang kalo Mbak yang menyebabkan korban terjatuh?”
Ada ambiguitas pernyataan yang dilontarkan Rinjani, sehingga petugas mempertegasnya.
🌲🌲🌲
Bersambung
Adakah Rinjani memalsukan keterangannya?