Bab 1

Bab 1

🌲🌲🌲 

            Rahagi bergegas menyingkirkan kerikil agar kaki tripod kamera bisa menapak tegak di atas tanah. Foto prewedding-nya harus apik. Saat lelaki dengan tinggi 175 cm itu masih dalam posisi jongkok, teriakan histeris wanita mengalihkan perhatiannya.

            Begitu pun dengan Juna yang sedang sibuk memasang kamera pada tripod. Keduanya sontak terperangah melihat tubuh dibalut gaun warna putih itu melayang dari atas tebing ke dasar ceruk bak kapas diterpa angin. Sekian detik kemudian, terdengar dentuman, benturan tubuh Selena dengan bebatuan.

            “Selenaaa!” Teriakan disertai isakan itu menggema di seluruh sudut lereng Gunung Penanggungan. Rahagi berlari mendekati calon pengantinnya. 

            Begitu tepat berada di depan tubuh Selena yang dipenuhi bercak darah, Rahagi seketika ambruk. Kedua lututnya menyentuh bumi. Tak dirasakannya tusukan kerikil-kerikil tajam yang menembus celana warna hitamnya. 

🌲🌲🌲 

            “Kamu yakin Gi, mau ambil gambar prewedding di lokasi bekas galian C?” Juna masih tak percaya dengan pilihan temannya. Baginya, keputusan itu konyol. Selama ini belum ada orang menjadikan lokasi penambangan tanah, pasir, dan kerikil itu sebagai latar belakang foto sebelum pernikahan. Bagi fotografer itu, pemandangan di lokasi tambang tidak ada nilai estetikanya. Yang ada berdebu, terjal, dan tanahnya gersang. 

            Rahagi menyunggingkan senyum, hingga tampak gigi putih dan ginsulnya. Pertanyaan itu dia hitung sudah lebih dari lima kali terlontar dari sahabatnya. “Yakinlah, masih harus kujelasin lagi?”

            “Gimana ya, Gi.” Tangan kiri Juna menggaruk-garuk kepala, sedangkan tangan kanannya tetap mengendalikan kemudi.

            “Kayak nggak ada tempat yang lebih layak aja!” protesnya, “Ranu Manduro masih mending, ‘kan? Di situ juga bekas galian C, tapi ‘kan sudah ijo. Sedep dipandang mata. Masih wajarlah buat background foto. Anggep saja Swiss-nya Mojokerto.” Kini giliran Juna yang tersenyum nyengir. Dia masih berharap bisa mengubah pilihan temannya itu di detik-detik terakhir.

            Sebenarnya Rahagi sudah menjelaskan filosofi kenapa galian C di kaki Gunung Penanggungan yang dipilih sebagai lokasi foto prewedding. Tak lain sebagai upaya menyampaikan pesan kepada para tamu undangan pernikahan, bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan yang begitu parah di daerahnya. Namun, tetap saja akal Juna belum bisa menerima idealisme rekannya itu.

            “Ini bukan perkara layak atau tidak, Jun. Tapi perjuanganku belum selesai. Masyarakat harus melek sama keadaan lingkungan mereka. Jangan sampe ya, ketika longsor sudah******pemukiman warga, kita baru sadar ada yang nggak beres dengan eksploitasi alam ini. Kalo udah kayak gitu, telat tahu nggak?”

            Tengkuk Juna seketika merinding mendengar amarah Rahagi. Pasalnya dia sendiri sudah mengecek lokasi yang dipilih teman sejak SMA-nya itu. Memang ada sensasi ngeri begitu melihat lereng Penanggungan yang digali dengan kedalaman lebih dari 100 meter. Ceruk-ceruk dalam dan luas di kaki gunung terbentuk. Bahkan buldoser, ekskavator, dan truk-truk yang mengangkut tanah, pasir, dan kerikil hasil tambang itu, jika dilihat dari permukaan lereng yang masih perawan, bak mobil mainan yang ukurannya bisa digenggam. 

            Setelah dua sahabat itu saling membisu, akhirnya Jeep yang mereka tumpangi sudah sampai pada lokasi yang mereka survei sepekan lalu. Di antara tanah gersang dan berdebu di kaki Penanggungan itu, gadis berpakaian pengantin warna putih bergaya Eropa melambaikan tangan. 

            “Hai … aku sudah setengah jam loh di sini!” seru Selena, “tumben kalian ngaret!”

            “Sorry, Len, tadi masih nge-charge kamera. Baru dibalikin timku tadi pagi, baterainya kosong,” jelas Juna begitu turun dari mobil.

            “It’s oke, nggak masalah. Pokoknya bukan calon pengantinku aja yang hatinya kosong dari namaku,” sindir Selena dengan mata melirik ke arah Rahagi. 

            Kekhawatiran perempuan yang mempunyai kedudukan di Bagian Umum Human Resource Departement (HRD) di perusahaan baja itu tidak berlebihan. Rahagi bukan tipe lelaki hidung belang meski punya tampang yang menjual. Akan tetapi lelaki itu juga belum pernah menyatakan cinta kepada Selena.

            Baru kali ini Selena bertemu dengan  pria yang tidak serta merta menggodanya pada pertemuan pertama. Akhirnya, Selena tahu dari cerita singkat yang diberikan Juna. Jika Rahagi pernah gagal melamar gadis impiannya. Setelah menikah nanti, Selena ingin Rahagi sendiri yang menceritakan masa lalunya itu. 

            Untuk saat ini, bagi Selena hal itu tidak penting. Ajakan Rahagi untuk menikah merupakan perkara yang luar biasa. Meskipun posisi Rahagi hanya sebagai karyawan biasa, tetapi bagi Selena dia lelaki istimewa. Seistimewa pilihan lokasi foto prewedding saat ini. Selena sampai harus berhati-hati melangkah di atas tanah yang tidak rata dengan high hells yang dipakainya.  

           Tahu Rahagi tetap bergeming dengan sindiran Selena, Juna menyikutkan siku ke perut sahabatnya. “Gi, mbok ya dijawab, ‘hanya ada namamu di hatiku, Len,’ biar dia seneng.”

            “Iku ngunu bukan style-ku, Jun. Udah, ah!” Rahagi mengarahkan pandangannya ke sekeliling lokasi galian. Lalu beralih ke selatan, pada puncak Penanggungan yang tampak hijau.

            “Ngegombal dikit nggak apa-apa kali, Gi. Nyenengin calon istri apa salahnya. Atau jangan-jangan, kamu masih mikirin Rin–”

            “Jangan sebut nama itu lagi, Jun!” Rahagi memotong ucapan Juna dengan letupan emosi yang sulit dibaca. Tangan lelaki berkemeja putih itu mengepal. Tubuhnya kini membungkuk lalu memungut batu seukuran genggaman tangan. 

            Melihat reaksi temannya itu, Juna mundur selangkah. Dia ragu apakah batu itu akan menyasar wajahnya. 

            Saat tubuh Rahagi kembali tegak, tangan kanannya yang memegang batu mengayun ke atas lalu terpelantinglah batuan itu ke angkasa hingga jatuh di dasar galian. 

            Juna menarik napas lega. Dia selamat dari amukan temannya. 

            “Sel, kamu tunggu di sini saja, ya!” 

            Sapaan Rahagi itu cukup membuat Selena merona. Meski gadis itu awalnya tak suka saat dirinya dipanggil Sel. Maknanya serasa bilik kecil dan sempit dalam penjara. Pun arti lainnya, baginya enggak ada keren-kerennya, yaitu sel sebagai bentuk terkecil dari organisme hingga hanya bisa dilihat oleh manusia dengan bantuan mikroskop. Padahal dia sudah memperkenalkan diri dengan nama panggilan Lena. 

            Selena memandang Rahagi tanpa kedip. Juga tak kunjung memberikan jawaban. Membuat Rahagi merasa perlu menambah penjelasan agar calon istrinya itu menurut. “Aku sama Juna mau nentuin spot pengambilan gambar dulu. Pas kapan hari kami ke sini belum maksimal karena nggak bawa kamera.”

            “Baiklah, meski sedari tadi aku berdiri sendirian di sini.”

            “Loh, bukannya sama Maya?”

            “Iya, tapi dia langsung ngacir. Biasa lagi ngevlog, buat konten. Katanya ini tempat langka. Pasti bakal banyak viewer-nya.”

            “Oh ... ya sudah, sabar. Sebentar aja, kok.” Rahagi lalu kembali naik ke Jeep menyusul Juna. Mereka akan turun ke dasar ceruk bekas galian. Memeriksa apakah perlu mengambil gambar dari posisi itu hingga pemandangan Gunung Penanggungan yang gagah bisa terekspose sempurna meski ternoda ceruk bekas tambang. 

            Sementara itu, Selena terus menatap punggung Rahagi hingga lelaki itu duduk pada jok di sebelah kemudi. Pipinya terasa memanas, bukan karena sinar mentari pagi yang mulai menyapa kulit putih dan halusnya. Lebih tepatnya karena hormon kebahagiaan sedang diproduksi massal oleh tubuhnya. Apalah artinya menunggu sekian menit bila dibandingkan dengan penantiannya selama dua tahun ini. 

            Tentu aku akan bersabar, Sayang.

            Setelah berhati-hati mengemudi Jeep pada jalanan menurun dan berkelok-kelok, kini Rahagi dan Juna berhasil menginjakkan kaki di dasar bekas galian. Juna sibuk mengeluarkan tripod kamera dari dalam bagasi. Sementara Rahagi memandang Selena yang berdiri di atas sana, tampak seperti kapas putih yang bertengger di atas bebatuan. Saking dalamnya lubang galian tempatnya berdiri sekarang. 

            “Gi, bantuin, dong!” 

            Rahagi bergegas menyingkirkan kerikil agar kaki tripod kamera bisa menapak tegak di atas tanah. Foto prewedding-nya harus apik. Saat lelaki dengan tinggi 175 cm itu masih dalam posisi jongkok, teriakan histeris wanita mengalihkan perhatiannya.

            Begitu pun dengan Juna yang sedang sibuk memasang kamera pada tripod. Keduanya sontak terperangah melihat tubuh dibalut gaun warna putih itu melayang dari atas tebing ke dasar ceruk bak kapas diterpa angin. Sekian detik kemudian, terdengar dentuman, benturan tubuh Selena dengan bebatuan.

            “Selenaaa!” Teriakan disertai isakan itu menggema di seluruh sudut lereng Gunung Penanggungan. Rahagi berlari mendekati calon pengantinnya. 

            Begitu tepat berada di depan tubuh Selena yang dipenuhi bercak darah, Rahagi seketika ambruk. Kedua lututnya menyentuh bumi. Tak dirasakannya tusukan kerikil-kerikil tajam yang menembus celana warna hitamnya. 

            Gaun putih itu kini dipenuhi noda. Rahagi masih tak percaya atas apa yang dilihatnya. Dia menggelengkan kepala dengan cucuran air mata. “Jun, Selenaku baik-baik saja, kan?” ucapnya dengan suara parau. Rahagi mencoba mengguncang pelan bahu Selena. “Sel, bangun, Sel. Kita akan nikah, ‘kan?”

            Sementara itu, Juna memegang nadi di telapak tangan Selena. Sudah tidak ada denyut di sana. “Ikhlaskan Lena, Gi.” Tangan Juna menggenggam erat bahu sahabatnya.

           “Apa, ikhlas? Ha … ha … ha …” Tawa itu lalu berubah tangisan. “Aku nggak percaya.” Rahagi memeriksa sendiri denyut nadi di pergelangan tangan Selena. Wajahnya kian pias tatkala menyadari ucapan sahabatnya itu benar. 

            Rahagi ingin menggenggam tangan yang belum pernah disentuhnya itu untuk terakhir kali. Dibukanya perlahan jemari lentik yang masih dalam posisi menggenggam itu. Dada Rahagi sontak mendadak sesak. Bros bentuk tulip dengan hiasan batuan warna merah itu di telapak tangan Selena. Bros tulip itu mengingatkannya pada sebuah nama yang tak ingin dia sebut lagi, Rinjani. 

            “Nggak mungkin!” gumam Rahagi.

🌲🌲🌲 

Assalamu’alaikum teman-teman, dukung cerita ini dengan subscribe dan rajin komentar, ya. Biar aku semangat lanjutinnya sampai tamat. Makasih.😍🙏