PERSALINAN BUTO IJO
BAB 5
PERSALINAN BUTO IJO

“Jadilah sosok bersahaja, berkepribadian baik. Bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi dengan semua makhluk.”

Malam ini, aku termenung di dalam ruangan kerja istriku. Memikirkan tentang kejadian tadi di rumah sakit tersebut. Semua ini membuatku bingung dan sangat tertantang untuk menelisik lebih jauh. 

Pukul 00.00 terdengar suara ketukan pintu dari luar. Halus, menderu terbawa angin terdengar samar-samar. 

Tok! Tok! Tokkk! 

Namirah membuka pintu, ternyata ada seorang ibu hamil beserta suaminya. 

“Tolong, Bu Bidan. Istri saya mau melahirkan.” Suami dari ibu tersebut menjelaskan. 

“Ayo, silakan masuk, Pak, Bu,” seru Namirah. 

Ada bau bunga kantil masuk ke rumah kami, seiring dengan arah udara dari aroma tubuh pasangan suami dan istri ini. 

“Bapak silakan duduk di sini, kami akan membantu Istri Bapak. Maaf, namanya siapa?” tanyaku. 

“Nama saya Karto dan istri saya Serti, Dokter.” 

“Dari kampung mana, Pak?”

“Kampung Gama, di seberang sungai perbatasan Sanjana, Dokter.”

“Kampung Gama? Aku belum pernah mendengar sebelumnya.”

“Kampung kami memang kurang terkenal, tapi kampung kami ada,” jelasnya. 

Kutinggalkan Pak Karto, segera bergegas membantu Namirah menyambut bayi mereka. 

“Sudah bukaan berapa, Ma?” tanyaku. 

“Mama cukup kaget, Pa. Sudah bukaan delapan, posisi membahayakan Bu Serti. Namun, untunglah Bu Serti kuat dan terlihat baik-baik saja,” jawab Namirah. 

Bu Serti terlihat sangat tenang tanpa ekspresi. Ia tidak bersuara layaknya ibu hamil lain yang mengeluh sakit ketika melahirkan. 

“Pa, ambilkan gunting.”

Kuberikan gunting pada Namirah, persalinan pertama yang sangat lancar tanpa hambatan. 

“Aaaaa,” teriak Namirah. Aku sedang mempersiapkan obat-obatan menjadi kaget. 

“Ada apa, Ma?”

Kulihat Namirah menggendong bayi sangat besar. Bayi seukuran ini biasa dikatakan bayi sumo. Bayi itu tersenyum ke arah kami, ia tidak menangis layaknya bayi biasa. 

“Bayi sumo, Pa. Padahal, ukuran perut dan tubuh Bu Serti kecil. Seharusnya tidak memungkinkan hal ini terjadi.” Namirah mulai merasa janggal, tapi inilah kenyataanya. Bayi sumo berjenis kelamin laki-laki telah berada di depan mata kami. 

Setelah dimandikan dan ditimbang, berat badan bayi ini sembilan kilogram. Ia sangat lucu dan imut. 

“Ini bayinya, Pak. Silakan masuk melihat istri dan anaknya.” Namirah menyampaikan pada Pak Karto. Bayi ini masih dalam gendonganku, entah mengapa rasanya tanganku dingin.

“Terima kasih, telah membantu kami. Anakku, kuberi nama Raja Buto,” kata Pak Karto. 

Bu Serti sangat sehat, seperti tak ada rasa sakit selepas melahirkan. Kuberikan bayi ini kepada Bu Serti untuk segera diberi ASI. 

“Dari mana, Bapak tahu jenis kelaminnya laki-laki? Aku dan istriku belum mengatakannya. Firasat seorang Ayah memang selalu benar,” candaku. 

“Kami telah lama mengetahuinya, Dok,” sahut Bu Serti. 

“Terima kasih bantuannya, Bu Bidan dan Pak Dokter. Ini uang pembiayaan persalinan istri saya.” Pak Karto memberi beberapa lembar uang seratus ribu. 

“Terima kasih, Pak. Oh, ya, ini obat untuk membantu memulihkan kondisi Bu Serti,” kata Namirah, sembari memberi sebungkus obat. 

“Saya sudah sehat, tidak perlu obat, Bu. Kami pamit pulang, keburu pagi, Bu, Dok.” Bu Serti berdiri, menggendong bayinya. Seperti tak ada rasa sakit yang mendera tubuhnya. Ia terlihat sangat segar bugar. 

Aku dan Namirah berpandangan penuh arti, saling melontarkan pertanyaan lewat kedua bola mata. 

“Biar kuantar saja, tunjukkan jalannya. Kasihan, jika kalian pulang naik angkot, lagian sudah jam segini tidak ada lagi taksi atau angkot yang lewat,” seruku. 

“Kami biasa jalan kaki, Dok. Sebentar lagi ada angkot menjemput kami,” tegas Pak Karto. 

Mereka berpamitan, lalu ke luar rumah kami. Tiba-tiba ada angkot berwarna putih lewat, padahal sudah pukul 03.00 dini hari. Mereka naik, kemudian pergi. 

“Itu angkot mana ya, Ma? Kok tiba-tiba lewat, selama kita di sini baru kali ini angkot itu melintas,” tanyaku pada Namirah. 

“Sudahlah, Pa. Biarkan saja, mungkin itu angkot pembawa dagangan pasar sayur. Cuma, Mama heran, kok bisa Bu Serti kuat sekali, padahal bayi Raja Buto sangat besar.” Namirah menatapku lekat. 

“Besok, Papa akan cari tahu tentang kampung mereka. Sekarang, kita istirahat dulu, Papa capek, Ma.”

Kami segera tidur, rasa lelah dan letih sebagai tenaga medis Tak membuat gentar jiwa kami. Besok, harus kembali bertugas.

Keesokan harinya, Setelah mengantarkan Aira dan Abi sekolah. Aku berhenti disebuah warung kopi di perempatan jalan. Warung ini masih terkesan tradisional, penjualnya juga terlihat telah sepuh. Menandakan mereka penduduk asli daerah sini. 

“Bude, kopi satu, ya!” seruku. 

“Ini, Nak.” Suara Bude memecahkan lamunanku. 

“Bude, tahu tidak kampung Gama? Katanya diseberang sungai perbatasan Sanjana,” tanyaku. 

Tiba-tiba semua orang yang berada di sini, terdiam memandangku. Ada perasaan aneh dalam tatapan mereka, yang tadinya riuh bercengkrama menjadi sunyi. 

“Iya, Nak, Bude dan orang sini tahu.” Senyum kecutnya menandakan sesuatu yang kian membuat penasaran. Bude meletakkan nampan di atas meja, duduk dikursi yang berada di depanku. 

“Tahu dari mana nama kampung itu? Siapa yang memberi tahu?” tanya Bude.

“Ada warga sana yang memberi tahu, ia pasienku tadi malam. Aku dan istriku membantu persalinan bayinya.” 

Entah mengapa, seketika orang-orang berkumpul mendekati. Mereka terlihat antusias dengan cerita ini, padahal aku hanya bertanya dan ingin tahu saja. 

“Pasti, Dokter orang baru di sini, ya?” tanya pria berkumis di sampingku. Aku hanya mengangguk tegas. 

“Sebenarnya, kampung Gama tidak ada secara nyata. Itu kampung alam lelembut penunggu perbatasan daerah Sanjana. menurut orang pintar, penunggunya adalah lelembut buto ijo. Kerajaan mereka sangat besar, hanya orang-orang tertentu yang bisa bertemu dengan mereka.” Bude menjelaskan dengan serius. Ekspresi wajahnya tegang dengan tatapan mata tajam dengan penih misteri.

Deg! 
Kenyataan ini membuatku terhenyak. Berarti semalam yang kami bantu adalah buto ijo, pantas saja ukuran bayi mereka sangat besar. 

“Astaghfirullah,” ucapku spontan. 

“Mereka sangat pandai berubah bentuk dan rupa. Gampang mengecoh manusia. Sebenarnya kampung Gama adalah singkatan dari gandah mayit yang artinya, kumpulan mayat.” Pria berkumis tersebut menjelaskan. 

“Kata Kakekku, biasanya mereka menaiki kendaraan gaib, berupa angkot khusus lelembut,” sahut pria bertubuh jangkung. 

“Tolong jelaskan, asal mula kampung tersebut dan angkot lelembut itu? Apakah memang benar adanya? Semalam, mereka pulang menaiki angkot putih yang kami kira angkot pasar sayur,” tanyaku detail. 

“Ya, benar. Asalnya kami tidak tahu, yang pastinya kerajaan buto memang ada. Mereka penjaga perbatasan Sanjana, ada malam-malam tertentu mereka keluar. Sebenarnya, mereka tidak mengganggu, hanya saja ada manusia yang meminta jasa mereka dengan cara yang salah,” tukas Bude. 

“Buto ijo, terkenal haus darah dan suka memakan janin.” Jawaban pria gemuk ini, membuatku terperanjat. 

‘Apakah ini semua ada hubungannya dengan kejadian di rumah sakit?’ batinku. 

Setelah sekian lama kami ngobrol, aku pamit dinas. Sepanjang perjalanan, kepala dipenuhi tanda tanya. Aku harus menyelidiki ruangan rahasia tersebut, berusaha memecahkan semua kode-kode buku itu. Ada rasa bersalah, mengapa tidak membawa ginjal Reina keluar dari ruangan itu. Aku takut, jika itu terjadi pasti kehebohan akan mencuat ke permukaan. 

Ada seorang kakek berjenggot, melambaikam tangan ke arah mobil. Kuhentikan laju mobilku, di pohon kapuk besar. Sekitarnya banyak perkebunan milik masyararakat. 

“Ada yang bisaku bantu, Kek?” tanyaku. 

“Antarkan Kakek pulang, Nak. Rumah kakek di seberang sana.” Kakek menunjuk arah menuju hutan. 

“Bukankah, di sana tidak ada jalan, Kek? Sepertinya, hanya jalan setapak,” seruku. 

“Kita berjalan kaki, tinggalkan kendaraanmu. Kakek jamin, tak apa-apa. Kaki Kakek sakit, tidak sanggup berjalan sendiri,” pintanya. 

“Baik, Kek. Sebelumnya minum obat asam urat ini dulu, Kek.” Aku membuka tas, mengambil obat dan air mineral. 

“Terima kasih, Nak. Kau sangat baik,” seru Kakek. 

Kupapah tangan kakek, membantunya berjalan. Di sini hutan lebat, hanya ada jalan setapak. Kami terus berjalan, mengikuti instruksi kakek. Sampai disebuah sungai berarus deras, langkah kami terhenti. 

“Ayo, Nak,” ajak kakek. 

Tadi tak terlihat jembatan, tapi sekarang ada jembatan kayu jati di depan kami. Mungkin aku terlalu lelah, sudah setengah jam kami diperjalanan. 

Dengan senyum, kusapu keringat yang membasahi dahi dan leher. Kembali, kubimbing kakek melewati jembatan. Ada gadis kecil berenang di sungai, ia sendirian. Arus sungai sangat deras, aku mengkhawatirkannya. 

“Kek, anak siapa itu? Aku takut ia terbawa arus, aku akan memaksanya naik ke daratan,” tukasku. 

“tidak usah, Nak. Gadis itu bernama Uci. Ia memang tinggal di sini, ia takkan pernah terbawa arus, percayalah.” Kakek menahanku. Uci berenang seolah air sungai ini tanpa arus. 

‘Tak terlihat ada rumah di hutan ini, lalu di mana Uci tinggal?’ batinku. 

Tak lama kemudian kami sampai di perkampungan. Rumahnya besar-besar, tinggi menjulang. Rumah tradisional berukir kayu ala-ala kerajaan. 

“Itu rumahku, Nak.” Kakek menunjuk sebuah rumah. Kuhitung dari arah timur, rumah kakek nomor 13. Jika dari tenggara, nomor 5. Susunan rumah yang sangat rapi teratur, jarak dari rumah ke rumah sama. Bentuk rumah mereka semuanya serupa, tak ada beda sedikit pun. Di depan pintu ada gantungan kayu lonceng kecil, jika tertiup angin mengeluarkan suara serentak menggema. 

Nun jauh di sana, ada bangunan paling luas, besar dan paling megah. Layaknya sebuah istana, inti dari daerah ini berpusat di sana. 

Kami masuk rumah kakek, di sini ada beberapa orang. Anggota keluarga kakek ini, mereka sedang duduk membakar sesuatu yang mengeluarkan asap putih pekat. Aku tak suka bau asapnya, campuran kemenyan serta bunga-bungaan. 

“Terima kasih, mengantarkanku pulang. Minumlah ini, Nak. Kau akan menjadi lebih kuat dan kebal,” kata kakek, ia menuangkan minuman ke dalam cangkir bambu. Minuman ini berwarna hitam seperti kopi, baunya bak tanaman langu dan akar kamboja. Kuminum minuman ini, rasanya pahit. 

“Terima kasih, Kek. Sekarang aku ingin pulang. Aku masih ingat jalan yang kita lalui tadi,” tukasku. 

“Kau takkan bisa kembali, tanpa dikawal orang kami. Akan kuperintahkan cucuku, menemanimu pulang,” tegas kakek. 

Kakek bersiul, kemudian datanglah seorang bocah laki-laki sekitar umur delapan tahun. 

“Reksa Geni, antarkan manusia ini ke tempat kendaraannya, di perkebunan seberang sana.”

“Baik, Kek,” jawabnya pelan. 

Reksa Geni tidak memakai baju, hanya sebuah celana kolor saja. Warna kulitnya hitam sedikit biru kehijauan. Mungkin tubuhnya memar asumsiku. 

Sebelum pulang, kakek memberikan sebuah cincin. Batunya berwarna hijau tua.

“Pakailah cincin ini, semoga kau selamat, Nak,” tukasnya. 

Kakek mengambil tanganku, memasangkan cincin itu di jari manis tangan kiri. 

“Baik, terima kasih.”

Aku pulang diantar Reksa Geni. Rumah penduduk yang tadi tertutup rapat, kini telah terbuka semua. Mereka duduk depan rumah masing-masing, menatapku dengan rasa aneh. Mereka juga tidak memakai baju, sama seperti kakek dan Reksa Geni. 

Kami melewati jembatan sungai, ada Uci duduk di batu besar. Ia menatapku tanpa berkedip. Diam-diam ia mengikuti kami, aku pura-pura tidak tahu. 

Perjalanan pulang lebih terasa cepat, hanya beberapa menit saja kami telah sampai. Reksa Geni melambai ke arahku, tersenyum ramah. Uci mengintip dibalik pohon jati besar. 

Kulirik jam tangan, pukul 09.30. Kupacu mobil kencang menuju rumah sakit. 

Bersambung... 

Bagi yang belum subscribe silakan yaa. Follow juga akun aku, biar dapat notif next part. Dijamin seru cerbung RSA ini mentemen.. 

Trims. 


Komentar

Login untuk melihat komentar!