BAB 4
PENGGANTI TUMBAL
“Sebuah ucapan, tak selalu dianggap angin lalu. Ada masanya, semua akan diminta pertanggung jawaban oleh pemegang janji.”
Uwiww! Uwiww!
Suara ambulans. Petugas medis segera menjemput. Ternyata itu korban kecelakaan, ia tak sadarkan diri.
“Warga Negara Asing, ia kecelakaan di tikungan 01 Sanjana, mobilnya masuk jurang dan terbalik.” Suster Intan menjelaskan.
Dokter Selvi segera bertindak, memasang alat oksigen dan alat bantu pernapasan. Setelah sekian lama berusaha, nyawa gadis itu tidak dapat tertolong.
“Di mana Dokter Syahla dan petugas lainnya?” tanyaku heran.
“Biasalah, ritual bulanan. Kali ini menggunakan—“ Suara Dokter Selvi terputus. Ia baru menyadari salah berbicara.
“Apa, Dok?”
“Tidak, maksudku rapat bulanan.”
“Bagaimana jika sekarang kita beritahu keluarga pasien.” Aku memberi usul. Dokter Selvi terlihat gugup.
“Jangan dulu, Dok. Kita menunggu instruksi Dokter Syahla.”
“Mengapa semua harus menunggu Dokter Syahla? Bukankah kita juga Dokter?”
“Manajemen rumah sakit ini memang begitu, Dok. Dokter Syahla adalah pewaris rumah sakit ini.”
Dokter Angga datang, ia mengedipkan mata ke arah Dokter Selvi. Gerakan isyarat tangannya menyiratkan sesuatu yang tak bisa dimengerti olehku. Dokter Selvi keluar, mereka membicarakan hal yang serius. Entah apa, aku tak terlalu perduli.
Mereka membawa jenazah gadis bule Jepang tersebut. Menuju ruang operasi, hal ini sontak membuatku kaget bukan kepalang. ‘Bukankah gadis itu positif meninggal? Lalu, apa yang akan dioperasi,’ batinku.
Dokter Selvi bolak-balik di depan ruangan. Terlihat sangat sibuk sekali, kemudian Dokter Syahla datang. Bau parfumnya tercium sangat menyengat di rongga hidung.
Aku tak peduli mereka, aku menuju ruangan tempat di mana Safira dirawat. Safira sudah tertidur, di samping Ibunya. Di sini sudah ada Suster Novelia. Ia memperbaiki letak infus yang longgar.
“Bagaimana, Bu keadaan Safira? Tadi, sudah diberi obat oleh Suster ‘kan?” sapaku.
“Sudah membaik, Dokter. Barusan minum obat dan ia tidur,” jawab Bu Sarinem.
“Baiklah, Bu. Aku permisi bertugas kembali,” pamitku pada Ibunya Safira. Ia mengangguk pelan.
Aku ke luar ruangan, melewati tempat penyimpanan alat-alat medis. Di sana, ada Dokter Sigit. Ia membawa sekotak alat operasi, lalu pergi. Cepat sekali langkah ia berjalan, bahkan hentakan sepatunya tidak terdengar lagi. Ia melangkah menuju lorong gelap rumah sakit.
“Dokter Arfan, bantu kami. Kita akan melakukan autopsi dadakan malam ini,” tegur Dokter Syahla, membuyarkan pikiranku tentang Dokter Sigit.
“Autopsi? Mengapa sangat buru-buru, bukannya kita harus mendapat izin dari keluarga korban terlebih dahulu? Lagian, kematian gadis itu telah jelas, karena kecelakaan tunggal bukan?” tanyaku bertubi-tubi.
“Tidak perlu, Dok. Aku mengenal gadis itu. Ia adalah sepupuku, kami memang tidak akrab sedari kecil. Terlebih, saat itu ibunya yang membunuh ibuku,” Lirih Dokter Syahla. Ia menahan tangis, ada genangan air mata yang ia tahan di sudut matanya.
Aku termenung, terdiam dengan semua fakta yang ada. Sungguh mengherankan, gadis blasteran Jepang itu ternyata masih keluarga Dokter Syahla. Dari tatapan matanya, Dokter Syahla menyimpan dendam pribadi. Hatiku luluh, mendengar pernyataan Dokter Syahla.
Aku seorang Dokter Kandungan, tetapi dulu aku adalah Dokter Umum. Aku sangat suka dengan pembedahan anatomi tubuh manusia. Aku pernah beberapa kali ikut kegiatan autopsi di rumah sakit Australia.
“Maaf, aku tidak bisa membantu jika tidak sesuai prosedur.” Aku menolaknya, bagaimana mungkin melakukan autopsi mendadak. Semua harus menggunakan prosedur. Segera kutinggalkan Dokter Syahla seorang diri.
Mereka melakukan sendiri tanpaku. Seorang pasien bernama Reina, menjadi korban autopsi dadakan. Tiba-tiba Suster Imelda keluar, ia mencariku.
“Dok, tahu sekotak alat operasi yang baru? Kami mencarinya, tapi tidak ada,” keluh Suster Imelda.
Di sudut ruangan, ada Dokter Sigit. Ia melambaikan tangan ke arahku, seolah menyampaikan. Jangan beri tahu mereka, jika ia yang membawa sekotak alat tersebut.
“Tidak, Sus. Aku tidak melihatnya,” jawabku.
Dokter Sigit tersenyum, lalu ia pergi. Dokter Syahla terlihat sibuk, ia membawa pisau bedah. Beberapa menit kemudian, tenaga medis ke luar dari ruangan. Suster Imelda membawa satu plastik hitam kecil. Entah apa isinya, aku tak perduli.
Aku penasaran, masuk ruang dimana mayat Reina berada. Kusibak kain penutup tubuhnya, ada jahitan dibagian perut sebelah bawah. Sepertinya, ada yang tidak beres. Aku mengerti, mereka sengaja menipuku. Mereka tahu, aku pasti menolak proses autopsi. Jadi, mereka bebas membedah perut Reina.
Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa Reina harus diperlakukan seperti ini? Mayat kaku dengan puluhan jahitan, dilakukan tanpa prosedur yang baik. Semua terkesan buru-buru.
Kutatap lekat wajah Reina. Tiba-tiba, kedua matanya terbuka. Menatapku dengan tatapan sayu dan sedih, sontak saja membuat terkejut.
“Astaghfirullah,” ucapku spontan.
Mata Reina seperti mengungkap rasa kebencian serta dendam mendalam. Ini pertama kali dalam hidupku, menyaksikan mayat yang membuka matanya. Hal ini sangat rancu dalam dunia medis, mungkin ini ada kesan mistis.
“Reina, ini aku, Dokter Arfan. Entahlah, apa yang terjadi padamu. Tutuplah matamu, kumohon, Reina.”
Kuusap wajah Reina, dengan membaca doa yang kulafalkan dengan fasih. Akhirnya matanya tertutup. Namun, ada kejadian aneh lagi, tangan Reina bergerak sendiri. Ia menunjuk ke arah jahitan dari dada hingga perutnya. Seolah ingin menyampaikan suatu pesan.
Deg!
Jantungku berdegub kencang, ini semua bagaikan mimpi. Seumur hidup, ini pengalaman mistis terseram selama menjadi dokter. Gangguan-gangguan tenaga medis memang ada, tapi kali ini sungguh berbeda.
Di sebelah kanan, ada Dokter Sigit. Sejak kapan ia datang? Tak terdengar suara ketukan sepatu atau bayangan. Dokter Sigit menyentuh tangan Reina dan meletakkan ke posisi semula. Ia menutup kembali mayat Reina dengan kain.
“Sejak kapan ke ruangan ini, Dok?” tanyaku.
Ia tak menjawab. Hanya menunjuk jendela yang sedikit terbuka. Entahlah, Dokter Sigit selalu bertingkah aneh. Ia menunjuk jam tangannya, seolah menyuruhku untuk pulang. Lalu ia pergi.
Memang sudah malam, sebaiknya aku pulang. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku berjalan menuju taman belakang rumah sakit.
Kulangkahkan kaki menuju taman belakang. Terdengar ada dua orang yang sedang beradu pendapat. Kuhentikan langkah, memasang telinga.
“Sudah dikubur janin itu?”
“Ya.”
Plakkk!
Sebuah tamparan mendarat.
“Mangapa? Apa salahku?”
“Kau mengubur duluan tanpa perintah. Akibatnya, kami yang kena damprat Dokter Syahla.”
“Dokter Syahla sudah mengizinkan! Meskipun belum rapat di forum!”
Bukkkk!
Suara pukulan, mereka sepertinya terlibat perkelahian. Aku mundur, sebuah keadaan ambigu. Aku harus apa, kenyataan ini membuka pertanyaan baru.
Krekkk!
Tak sengaja, kakiku terpijak sebuah botol minuman. Petugas kebersihan belum membersihkannya.
“Siapa di luar!” bentak mereka dari dalam. Aku segera menjauh, masuk bersembunyi di ruang isolasi.
Bruk! Brukkk!
Suara langkah kaki mereka setengah berlari. Mereka mencari sumber suara sembari melihat ke segala penjuru arah. Dari celah pintu, ternyata dua orang itu adalah Yunus dan Fauzi. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa mereka meributkan perihal penguburan janin Safira?
Mereka berlalu dan pergi. Aku segera ke luar ruangan. Tak sengaja, tanganku menyibak tirai biru muda. Di sini ada pintu, sepertinya sangat terjaga kerahasiaannya. Ada pintu dibalik pintu, ada ruangan dibalik ruangan. Dari luar, tidak terlihat jika itu sebuah tirai pembatas.
Kudorong pintu itu, ternyata mereka lupa menguncinya. Setelah diperhatikan, gagang pintu ini berbeda dari pintu biasanya. Bentuknya bundar, ada kode digit angka di sini. Ada beberapa tombol berwarna berbeda. Ini seperti pintu yang dirancang khusus untuk menyimpan sebuah rahasia besar.
Aku masuk ruangan, dikagetkan dengan sosok wanita. Agar tidak ketahuan, aku bersembunyi dibalik sebuah lemari besar. Wanita itu terlihat sangat sibuk, tangannya banyak menggenggam cairan kimia.
Air kimia campuran buatannya, mendidih berwarna biru. Setelah sosok itu berbalik arah, ternyata itu Dokter Syahla. Sedang apa ia di sini? Di dalam ruangan kecil dan tersembunyi. Ia keluar ruangan, ingin rasanya aku berteriak. Agar ia tak mengunci pintu, ia tak tahu ada aku di dalam sini.
Sebelum menutup pintu, ia memencet tombol beberapa digit, sangat rumit. Kode-kode digit yang tersusun dari angka yang banyak.
Blaamm!
Suara pintu terkunci dari luar. Bagaimana caraku Agar bisa ke luar dari sini, nanti akan diakali. Sekarang sudah aman, aku sendirian. Lega rasanya ke luar dari balik lemari ini.
Kuperhatikan sekeliling ruangan, sangat rapi. Tersusun dalam teknologi digital tinggi, tapi baunya sedikit amis. Aroma darah mencuat, terlebih ketika aku melewati sebuah lemari besi berwarna abu-abu.
‘Di sini sangat aneh, apakah ada petunjuk di dalam sini?’ gumamku seorang diri.
Ada buku di atas meja, Berisi catatan. Kubuka tiap lembarnya, buku ini berisi kode dan letak penyimpanan kunci laci lemari. Oh, ternyata puluhan laci setiap lemari punya anak kunci yang berbeda. Pantas saja disimpan dan dicatat dalam buku, agar tidak hilang. Aku menganggukkan kepala, sedikit mulai memahami ruangan kecil ini.
Kulangkahkan kaki kembali menuju lemari abu-abu. Mengecek kode digit angka yang tertera, 010. Segera mengecek buku petunjuk. Lembar demi lembar, kutemukan petunjuk baru. Tulisan dibuku ini penuh dengan bahasa latin kedokteran masa lampau. Untungnya waktu kuliah dulu aku gemar membaca, jadi aku paham.
Dilembar halaman 25 mengarahkan agar membuka halaman 13. Mulai menjengkelkan, buku ini sangat penuh rahasia. Ingin rasanya kurobek habis lembaran buku ini. Naluri detektifku melarangnya, lebih baik aku pelajari dan mencari informasi.
Pada halaman 13, terdapat kode angka Jepang dicampur kode fisika. Apa-apaan ini, lagi-lagi membuatku makin geram dan tertantang memecahkan kode ini. Kebetulan, aku pernah kursus bahasa jepang. Ini sangat menarik, dengan senyum mengembang kulanjutkan menjelajahi buku ini.
Setelah berpikir keras, kutemukan beberapa suku kata yang ternyata masih membentuk sebuah kode.
BaFaLaO2ChPhi
“Hmm ... kode yang sangat rumit, aku harus bisa memecahkan satu kode laci dulu. Sisanya aku akan coba dilain waktu.” Aku berbicara sendiri. Dalam pikiranku, sangat tertantang untuk memecahkan semua kejanggalan rumah sakit ini.
Kuhidupkan komputer, mencoba mencari petunjuk baru di sana. Oh, tidak. Komputer ini mempunyai kode digit angka. Setelah sekian lama mencoba, aku menyerah menghadapi komputer ini. Kuputuskan memecahkan lewat logika saja, dengan pena dan kertas kosong.
Kutemukan angka baru setelah menggunakan rumus biologi dan kimia.
“18’5’9’14’1. Kode apa lagi ini?” Suaraku memecah kesunyian.
“Oh, aku tahu.” Segera kucoret-coret selembar kertas dan berhasil.
“REINA.” Begitu hasilnya. Berarti kode laci yang membuatku penasaran tersebut ada hubungannya dengan Reina, si gadis bule blasteran Jepang. Menarik, sangat menarik.
Membuka lembaran halaman 13 kembali, di sana tertulis, ‘Setelah mendapat sebuah nama, silakan ke halaman 5.’ Buku ini sangat mengacaukan konsentrasi. Pantas saja, hanya orang-orang tertentu yang tahu ruangan ini.
Lembaran ke-5, mataku membelalak. Ada beberapa huruf kanji dan rumus matematika yang terpampang. Rumus pokoknya hanya ada sepuluh, tinggal mencari kemana arah cabang tulisan nama Reina tersebut.
Sepuluh rumus kucoba bergantian, tapi tak ada yang sesuai. Ada yang paling mendekati. Rumus nomor 07, ada keterangan baru tentang pendekatan rumus dan cara pemecahannya. Dua kertas telah habis dengan angka dan terjemahan huruf. Aku mengambil kertas ketiga, mencoret-coret sembari berpikir kritis.
“10’1’14’20’21’7/4.” Kode apalagi ini. Aku mulai jengkel dan kesal, tapi hal ini cukup membuat tertawa gemas. Sangat merasa dikerjai oleh buku ini.
Sekian lama berusaha, akhirnya aku berhasil. Kata kuncinya yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
“Jantung,” teriakku. Rasa bahagia bercampur kesal, serta lucu. Entahlah, mungkin masih ada petunjuk atau rumus baru lagi dilembaran buku itu.
“Jantung, kode anak kunci 211.” Aku memeriksa setiap nomor kode kunci, banyak sekali anak kunci dengan rupa yang sama. Itu dia, kunci nomor 211, kuambil dengan senyum penuh kemenangan. Ketika dicek ulang, salah nomor. Anak kunci ini 2111.
Pukk!
Kutepuk jidat, ingin tertawa jengkel penuh makna. Kuacak kembali kumpulan anak kunci. Akhirnya, kutemukan juga diujung sudut dengan hitungan urutan nomor 115.
“Bismillah,” ucapku, sembari membuka laci. Laci terbuka, udaranya sangat dingin. Ternyata, lemari di sini bukan sembarangan. Semacam lemari pendingin pengawet. Bau darah menyeruak ke rongga hidung.
“Astaghfirullah,” pekikku.
Isi laci ini jantung dan ginjal manusia. Terlihat masih sangat segar, warnanya masih merah pekat. Seketika darah berdesir, terdiam memandang jantung itu. Apakah ini jantung dan ginjal milik Reina? Mengapa mereka melakukan ini? Aku tak bisa bertindak gegabah. Banyak sekali pertanyaan dibenak, penuh misteri dan kerancuan.
‘Sebenarnya ada apa? masih misteri tentang penguburan janin Safira, serta jantung dan ginjal milik Reina, Untuk apa mereka melakukan ini?” bentakku seorang diri.
Orang yang meninggal, jika tidak lengkap anggota tubuhnya maka, mereka takkan pernah tenang. Reina pasti tidak tenang, jantung dan ginjalnya tidak ikut dikubur. Kulirik jam tangan, sudah pukul 11.15. Ternyata sudah lama menjelajah ruangan ini, hingga lupa waktu. Aku lupa, hari ini Safira keluar rumah sakit. Aku harus memerikan resep obat tambahan.
Kukunci kembali laci tersebut. Meninggalkan ruangan itu, untung saja buku ini lengkap dengan kode digit kunci pintu. Pintu terbuka, aku keluar.
Melangkah cepat sambil memikirkan kejadian tadi. Sungguh tidak masuk akal. Suatu hari nanti, aku akan menemui pemilik rumah sakit ini untuk menanyakan kejadian jangggal di sini.
Bugg!
Bahu seorang lelaki menabrakku, cukup keras. Kami sama-sama berjalan cepat. Ini lelaki yang kemarin terinjak sepatuku di toko kelontong.
“Maaf, Dokter. Saya tidak sengaja. Buru-buru, mau melihat anak saya,” serunya.
“Iya, Pak. Maaf juga, aku terburu-buru. Maaf sebelumnya, anak bapak di ruangan mana?” tanyaku.
“Di ruangan anak, Seruni IV, Dok. Ini Dokter yang membantu operasi istri saya kan yang bernama Asma Astuti?” Ia menatapku lekat, mencoba mengingat-ingat.
“Ya, Pak. Akulah Dokter Arfan, silakan lihat anak kembarnya di ruangan tersebut. Kemarin kami yang menjaganya,” seruku.
“Baik, Dok.”
Ia pergi menuju ruang anak. Kuteruskan langkah menuju ruangan Safira dirawat.
“Safira, hari ini sudah boleh pulang, tapi ingat harus rutin minum obat,” sapaku.
“Iya, Dok. Terima kasih,” tukas Safira.
Kutuliskan resep pada kertas, diterima oleh ibu Safira. Kasihan, menatap ekspesi wajahnya. Ia terpaksa tersenyum melihatku, sedangkan hatinya hancur berkeping akibat ulah Safira.
“Nanti ambil obatnya dengan petugas yang ada di ruangan obat ya, Bu,” jelasku.
“Baik, Dokter Arfan. Terima kasih atas segala bantuannya.”
Tak lama kemudian, Safira pulang. Jasad Reina juga dijemput oleh pihak keluarga untuk dikebumikan.
Bersambung...