Saya segera masuk ditemani si dia. Disambut oleh dokter spesialis kandungan yang dengan ramah berdiri dari balik meja kerjanya. Saya bercerita kronologi dan riwayat keguguran sebelumnya.
"Oh gitu. Oke, kita langsung USG aja ya," ucap sang dokter tenang.
Lalu, alat USG sudah menempel di perut saya. Dokter menggulirkan ke beberapa titik, sedikit menekan, lalu tersenyum.
"Nggak papa. Baik-baik aja bayinya di dalam...."
Membuat saya sungguh bersyukur tiada tara. Jauh lebih tenang dari detik sebelumnya.
"Sudah kelihatan ini jenis kelaminnya. Mau dikasih tau atau mau kejutan aja?" Dokter berparas cantik itu mengerjapkan matanya dengan tulus, memberikan pilihan.
"Mau tau, dok...." Saya melirik ke arah si dia yang duduk di sisi pembaringan. Tersenyum. Ya, kami sama-sama lega.
"Cowok ya. Inih...." Dokter memberi tanda pada layar, di titik jenis kelaminnya tercipta.
Oh, hati ini, gerimis rasanya.
Beranjak mengikuti sang dokter kembali ke meja kerjanya.
"Obatnya ada dikasih bidan? Dibawa nggak?"
"Oh iya, ada ini, dok, sudah 2 kali diminum hari ini" Saya segera mengeluarkan obat penguat kandungan dari bidan.
Dokter itu menggangguk, lalu menggeleng.
"Em, saya kasih resep obat penguat kandungan yang sesuai usia bayinya ya ini. Kalau ini...." Dokter mengangkat obat dari bidan, "Ini untuk penguat kandungan di bawah usia 3 bulan soalnya"
Saya mengangguk patuh. Sama sekali tak bisa menyembunyikan raut bahagia atas berita "kandungan ini baik-baik saja".
"Obatnya diminum. Istirahat ya. Ada pertanyaan lagi?"
Saya dan suami bertatapan, dalam sorot mata yang sama-sama bercerita tentang lega dan bahagia yang menghinggapi hati kami.
Detik berikutnya, kami menggeleng. Entah. Rasanya memang tak ada yang lebih kami harapkan selain kondisi "selamat" bayi yang saya kandung. Kehabisan kata, saya menggeleng.
Berdiri dan berpamitan, mengucapkan terimakasih banyak hingga beberapa kali. Keluar dari ruang periksa, bertemu dengan perawat jaga di depan pintu, kembali, kami mengucapkan terima kasih banyak. Beranjak dalam langkah yang rasanya begitu menggerimiskan hati.
"Kita tebus obat dulu ya" Si dia menunjuk apotik tak jauh dari praktek dokter yang baru saja kami kunjungi.
Saya mengangguk. Sebelumnya, saya ke toilet lebih dulu. Lalu antri di apotik. Kami duduk di kursi panjang. Mengamati satu per satu pasien yang dipanggil bergiliran. Ada yang sudah hamil besar, ada yang sedang program hamil. Urusan "mengandung anak manusia" ternyata memang sungguh seindah dan semenantang itu.
Apoteker jaga memanggil nama saya. Menyerahkan beberapa obat yang diresepkan dokter. Penguat kandungan, multivitamin, dan obat pereda mual. Si dia menerima sodoran obat dalam kemasan plastik. Menyerahkan uang yang disebutkan.
Lalu, kami bersiap pulang. Sedikit lagi akan meninggalkan apotik sekaligus praktik dokter kandungan itu saat saya seperti terlupa sesuatu. Seperti, ada yang mengganjal, belum terselesaikan.
Detik berikutnya, saya menepuk jidat. Menarik tangan si dia yang sudah bersiap pergi, menjauh dari tempat ini.
"Ya Allah lupa!"
"Apanya?"
"Tadi loh kita dateng, daftar, nunggu, periksa, terus bilang 'makasih banyak' aja" Saya sungguh baru teringat.
Si dia masih belum bisa menyimpulkan yang saya maksud. Masih nampak, terlalu lega dan teramat bahagia.
"Kita tadi bilang makasih terus pergi. Belum bayar...." Saya berucap sambil menggaruki kening. Tak habis fikir. Kok bisa-bisanya tu loh.
"Oh iya, ya. Pantes tadi dokternya ngeliatin aja kita pergi, perawatnya juga. Kayak ada yang aneh"
"Aduuuh...." Saya menutup muka. Malu sekaligus lucu. Soal rasa memang seringkali membuat kita lupa.
Kami beranjak kembali menuju perawat jaga yang tadi hanya kami tinggalkan dengan ucap "terimakasih banyak". Menuntaskan pembayaran yang benar-benar terlupakan.
"Oh, masuk ke dalam aja ya, Mba. Bayarnya langsung sama dokternya"
Saya mengangguk. Masuk ke dalam, disambut dengan tatapan bersahabat. Memohon maaf karena benar-benar lupa.
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Kami bergerak pulang, lagi-lagi, harus menempuh perjalanan 2,5 jam. Tapi, saya akan diberhentikan di rumah mamak kali ini, di Sanga-Sanga. Sekitar 1 jam saja. Sampai kondisi saya benar-benar bisa untuk pulang ke rumah kami berdua.
Malam itu, dingin cuaca sepanjang perjalanan. Sesejuk bahagia yang menggelayuti perasaan.
"Nak, sehat-sehat ya. 4 bulan lagi kita ketemu" Saya membisik pada perut yang membuncit. Dengan kerinduan pada yang dekat, sangat dekat, tapi belum terlihat. Ya, 4 bulan lagi. Bulan depan, bulan depannya lagi, dan seterusnya, saya hanya dapat terus berdoa agar ia baik-baik saja di dalam sana. Bertahan, tumbuh dengan sehat dan sempurna.
...........
Bersambung