Satu

"Pokoknya aku nggak mau dateng! Titik, nggak pakai Puspa!"

Aku melempar kertas tebal berwarna gold itu, yang bahkan belum dibuka saja sudah tahu isinya apa. Dua nama sejoli tertera di sampul, ditambah ada keterangan hari, tanggal, dan lokasi acara.

"Ujung-ujungnya juga bakal jadi bahan bully-an lagi. Sama kayak sebelum-sebelumnya." Aku terus mengoceh, sambil mencomot kentang goreng buatan Galang, sahabatku sejak kuliah.

Seperti biasa, Galang hanya tersenyum sambil menyiapkan pesanan pengunjung kafe yang sudah empat tahun ia rintis ini. Dia pria yang tak banyak bicara, anti gosip, anti ribet, dan anti gores. Walau kayak gitu, doi punya cewek yang aduhai memesona. Membuat jiwa jomlo-ku bergetar, persis sewaktu pegang lubang colokan listrik.

"Kamu mau dateng emang?" tanyaku yang duduk tak jauh darinya.

"Kalau dapet undangan dan nggak ada halangan, ya, wajib dateng lah."

"Kamu mah enak, ada si Sesil. Lah, Aku? Mau gandengan sama siapa? Tiang listrik?" Aku masih saja mengomel, paling sensi kalau dapat undangan nikah, terlebih itu teman semasa kuliah.

"Kenapa sih, ya Tuhan, aku jomlo sampai tua gini. Cobaan hidupku terlalu berat, please diskon dikit ...."

"Cobaan sama azab itu beda tipis," ucap Galang sambil meletakkan tiga porsi kentang goreng di nampan, disusul tiga gelas milkshake cokelat. "Jangan-jangan kena kutukan dari mantan yang tersakiti," lanjutnya.

"Ish, apaan, sih! Percaya amat sama takhayul kayak gitu." Aku membuang muka ke sisi lain, malas jika membahas masa lalu. Di mana dulu aku dikejar banyak pria. Bahkan, bisa gonta-ganti pacar kayak minum obat. Tiga kali sehari. Tetapi sekarang ....

"Jangan galau terus. Nih, anterin ke meja nomor empat," ucapnya sambil menyodorkan nampan ke arahku. "Jangan lupa senyum." Ia menyentil hidungku pelan.

Aku menghela napas panjang, lantas berdiri. Mengambil nampan dan berjalan keluar dapur kecil itu, menuju meja tamu.

Terlihat wanita berambut panjang tengah menunduk memainkan ponsel. "Maaf. Silakan dinikmati," ucapku saat sampai ke meja tujuan.

"Terima kasih. Eh, eh, tunggu! Kamu ... Sea, 'kan?" Balasan berupa pertanyaan itu membuatku mengernyitkan dahi, mencoba mengingat-ingat siapa makhluk berdandan menor ini.

Duh, ingatanku sangat payah. Aku sama sekali tak mengenalnya.

"Maaf ...." Ucapan bernada keraguan meluncur di bibir, berharap mendapatkan balasan atas kebingungan ini.

"Aku Fanya, temen kuliah. Lupa sama aku? Jahat banget."

Fanya? Fanya, Fanya ... aku masih mencoba mengingat-ingat. Tunggu, temanku saat kuliah dulu hanya ada nama satu orang yang bernama Fanya si dekil . Masa iya, sih, Fanya yang itu?

"Halo? Lagi semedi apa mikir?" Petikan jemari di depan membuatku tersadar.

"Sorry."

"Pasti bingung, ya? Iya gue Fanya si dekil itu. Tapi itu dulu, Say. Lihat dong sekarang. Udah putih dan cantik kayak artis."

Aku memutar bola mata malas. Iya, artis flora fauna.

"Iya, cantik sekarang. Beda banget sama dulu, makanya aku sampai nggak ngenalin," ucapku yang berseberangan dengan hati.

Dia terbahak.

"Bisa aja, emang banyak kok yang bilang aku cantik. Btw, kamu kerja di sini, ya?"

"Iya. Kafe ini punya si Galang, aku cuma bantu-bantu."

"Oh, punya Galang si cupu itu? Masih aja deket sama orang kayak dia."

Belum tahu aja dia, si Galang sekarang kayak gimana. Bakal kesurupan pasti kalau ketemu Galang nanti.

"Nanti kalau cari suami itu yang kaya dan ganteng, biar nggak malu-maluin kalau diajak kondangan. Suamiku pengusaha mebel terbesar di kota ini. Kamu kalau mau beli-beli, di toko laki-ku aja. Ntar dikasih diskon 1% deh."

Hilih. Banyakan sedekah bulananku 2,5%. Astagfirullah,  jadi sombong.

"Ya udah, sih. Silakan dinikmati makannya. Aku permisi dulu."

"Eh, tunggu. Aku denger-denger kamu belum nikah, ya? Kok bisa, sang primadona kampus yang selalu gonta-ganti pacar dulu, sampai sekarang masih sendiri aja."

Ucapan yang terdengar seperti ejekan itu, membuat langkahku seketika terhenti. Tanpa berniat membalas, aku bergegas menjauh dari meja Fanya. Masuk ke dapur, lalu menegak segelas air putih yang masih penuh.

Sabar, sabar, Sea. Orang sabar suaminya mirip Siwon. Aku menenangkan diri sendiri sambil mengibaskan-ngibaskan tangan di depan muka.

"Ada yang tanya kapan nikah lagi?" Suara Galang dari sisi kiri, membuatku menoleh ke arahnya. Ia sangat hafal gerak tubuhku saat sedang kesal.

Aku mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan hati yang sedang berperang di dalam sana.

"Aku jelek, ya, Lang?"

"Kata siapa?" tanyanya, sambil duduk di sebelahku.

"Aku."

"Kalau itu katamu, berati ya emang jelek."

"Nggak lucu, ah!"

"Omongan itu doa, mending ngomongin yang baik-baik."

"Jangan ceramah sekarang deh."

Galang tertawa, lalu mengusap pucuk kepalaku asal. "Mau sampai kapan baper terus kalau ditanya kayak gitu?"

"Ya, wajarlah, Lang. Di usiaku yang sekarang, harusnya emang udah nikah, minimal punya pacar atau temen deket cowok, kek. Lihat tuh temen-temen angkatan kita, udah ada yang punya anak malahan. Sedangkan aku–"

"Kamu nggak bakal bisa ngerasain nikmatnya bersyukur, kalau bandingin diri sendiri sama orang di atas terus. Coba sekali-kali bandingin sama orang yang nasibnya nggak seberuntung kamu." Ia mengambil gelas kosong yang ada di tanganku, lalu mengisinya lagi di dispenser.

"Masih inget Mina? Dia meninggal mendadak sewaktu kuliah dulu. Lalu, Bagas. Dia masih terbaring koma sampai sekarang di ICU. Sedangkan kamu yang sehat bugar kayak gini ngeluh terus cuma gara-gara pertanyaan kapan nikah? Sea ... Sea." Gelas yang sudah terisi air itu diletakkan di depanku.

"Kebahagiaan itu tergantung pada seberapa besar rasa syukur kita," lanjutnya.

Aku terdiam. Galang orang yang irit bicara, tapi sekali bicara panjang pasti banyak benarnya. Nggak heran, kalau nilai dia 100 terus sejak dalam kandungan.

"Setiap orang itu masalahnya beda-beda, bisa jadi ada yang lebih berat dari masalahmu. Cuma mereka ngejalaninnya santai aja. Cepet tua kamu ntar kalau kebanyakan ngeluh. Dah lah!"

"Hmm, iya, iya," balasku malas.

"Mbak Sea, ada yang nyari." Suara dari arah pintu membuat kami berdua menoleh.

"Siapa?" tanyaku pada Tita, sepupu Galang yang juga kasir kafe ini. Dia membalas dengan mengangkat bahu bersamaan.

Galang lebih dulu berdiri, lantas berjalan ke arah pintu hanya separuh badan. Alisnya terlihat bertautan, lalu mengalihkan pandangan ke arahku dengan wajah penuh tanda tanya.

Aku yang penasaran segera keluar dapur dan seketika tersenyum kecut saat melihat siapa yang Tita maksud tadi. Terlihat dua wanita yang sepertinya baru saja bergabung bersama Fanya, dari jarak jauh aku sudah tahu siapa mereka. Bela dan Dian. Teman rasa musuh yang selalu mencari gara-gara denganku sejak kuliah dulu.

Aku berjalan ke arah mereka dengan santai.

"Eh, itu, itu Sea." Terdengar samar Fanya memberi kode kepada dua wanita yang duduk di depannya. Mereka terlihat berbisik lalu terkekeh.

"Ada apa?" tanyaku tanpa basa basi saat sampai di sisi meja mereka.

"Apa kabar, Primadona Sea?" Bela, wanita berambut blonde itu mengulurkan tangan ke arahku.

"Baik." Kubalas ulurang tangan itu singkat, lalu melipat tangan di depan dada.

"Hai, Sea." Dian menyapa dengan perut buncitnya. "Ternyata rumor yang beredar tentang kamu bener, ya? Kamu belum menikah juga sampai sekarang? Omegod, aku aja anaknya udah mau dua. Dan Bela–"

"Terus apa masalahnya?" potongku.

"Ya masalah, lah. Lihat-lihat umur dong," balas Bela, lalu disusul dengan kekehan dua teman lainnya.

"Emangnya beras di rumah kalian bakal berkurang kalau aku belum nikah? Emangnya hidupku kalian yang nanggung? Enggak, kan? Asal kalian tahu, ya. Semua biaya hidupku, BPJS yang nanggung! Ngerti?" ucapku kesal.

"BPJS?" tanya Dian tampak bingung.

"Iya, BPJS! BaPak Joni Suherman. Buapakku, bukan kalian. Jadi please jangan terlalu urusin hidup orang!"

"Dih, gitu aja marah. Kita cuma kasihan tahu. Apa perlu kita yang cariin suami?" Fanya mengucap lembut, tapi terdengar mengejek.

"Bisa nggak sih, kalian ngelakuin hal yang bermanfaat selain nge-bully jomlo? Ngajarin anak singa baca tulis misalnya!" Suaraku meninggi, malas rasanya mendengar ocehan tiga butir manusia ini.

"Tita! Meja nomor empat aku yang bayarin makanannya. Kalau perlu meja dan kursi bungkus sekalian, jangan lupa karetin dua!" Aku berteriak ke arah Tita. Namun, pandangan masih tetuju pada tiga wanita di depanku ini.

"Oh, ya, Tita! Di playlist ada bacaan ayat kursi?" teriakku lagi.

"A-da, Mbak," balas Tita terdengar bingung.

"Puter sekarang dan pastikan volume-nya paling keras, biar setan-setan di sini pada pergi!" ucapku penuh penekanan sambil terus memandang tiga temanku itu secara bergantian. Mereka langsung tampak gelisah. Tuh, kan, apa aku bilang. Setan emang paling takut sama bacaan ayat kursi!


Komentar

Login untuk melihat komentar!