2
Lucunya, Dara dan Dirga menolak untuk saling bertemu lebih dulu. Sibuk. Alasan yang sama dari keduanya. Bahkan melihat poto masing-masing saja mereka malas. Ya mereka pikir untuk apa, percuma juga melihat poto kalau ujung-ujungnya, suka tidak suka tetap harus menikah.

Hari ini wedding day mereka. Pesta besar-besaran digelar. Jangan ditanya, mereka sama sekali tak ikut campur. Jadi kedua orang tua lah yang menyiapkan semuanya. Mungkin kalau bukan karena para orang tua yang ngebet pengen jodohin kedua anak mereka, mereka tak akan mau serepot ini.
Beauty and Care Salon yang jadi penata riasnya. Mama dan papa menyambut tamu di luar sana dengan senyum sumringah. Raut bahagia kedua orang tua itu tercetak jelas. Sangat berbeda dengan pria tampan berjas yang memasang wajah angkuhnya.

"Mbak yakin? Mau berpenampilan seperti ini?" Nana menatap berkedip, tak percaya dengan tingkah nekat bossnya itu.

"Lakukan saja, Na."
Nana mengoleskan make up ragu-ragu. Dia tak kuasa menolak.

"Gue pengen liat reaksi cowok itu? Haha. Palingan kalau dia suka modus juga bakal mundur. Dan gue gak perlu susah-susah nikah."

Dara tertawa kecil. Larut dengan angannya. Nana menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan ide konyol Dara. Bagaimana kalau acara pernikahan bubar coba? Duh, dia sebagai tata rias bisa kena semprot juga. 

Akhirnya selesai juga sesi make up. Nana meringis melihat hasilnya. Sungguh sangat jauh berbeda dan membuat pangling siapapun. Sementara Dara tersenyum puas.

"Thanks Na. Gue naikin gaji lo besok."

Nana tersenyum kaku. Bagaimanapun juga, meski bosnya Dara, tapi dia juga deg-degan kalau dapat semprot dari orang tua Dara.

Ketukan pintu membuat keduanya menoleh. Gisa, keponakan Dara yang mengetuk. Dia melongok.

"Mbak, udah ditunggu... aaah!" Dia terpekik, hampir terjungkal. Buru-buru Nana menariknya masuk ke dalam. 

"I-ini mbak Dara kan?"
"Iya. Ini gue."
"Kok, jadi jelek gini." 

Gisa menatapnya dengan tatapan aneh. Gimana enggak coba, Dara jadi jelek. Dengan tompel besar di pipi kanannya. Giginya juga di behel. Kulitnya yang putih mulus jadi blentang blentong penuh bopeng seperti bekas cacar atau jerawat. Pokoknya bukan Dara banget deh. Apalagi kalau ditambah kacamata ala-ala anak cupu, uh.. itu bukan Dara banget.

"Ya gini, cara nguji biar tahu pria yang beneran sayang atau gak, Gis," jelasnya asal. Gisa masih menggeleng tak percaya. 

"Lo jangan bilang-bilang sama nyokap gue ya? Pokoknya ini rahasia kita bertiga."
Gisa cuma bisa mengangguk pasrah.

Gedoran dari luar membuat mereka bergegas. Dara memakai penutup wajahnya. Selintas begini gadis ini terlihat cantik. Matanya tajam dan bagus. Tapi kalau penutup sebagian wajahnya dibuka, hmm... jangan pingsan ya.

"Kakak bakal kayak gini? Yakin?"
"Stt... udahlah. Ayok. Keburu diomeli mama ntar."

Dengan diapit Nana dan Gisa, Dara keluar dari kamar. Menuruni tangga rumah mewahnya. Memang mereka mengadakan resepsi di rumah, tak di hotel seperti biasa.

Lancar. Sejauh ini tak ada yang tahu perubahannya. Kecuali Dirga tadi, saat cadar gadis itu tersingkap dan memperlihatkan paras gadis itu meski hanya selintas. Tapi dasar es, dia cuma diam saja. 

------------

Mereka sudah berada di kamar pengantin yang dihias bunga-bunga indah. Entah siapa yang ditugaskan susah susah kesini. Mau-maunya jauh-jauh dari lokasi rumahnya coba. Tapi untunglah selepas acara tadi mereka langsung ke apartemennya Dirga. Tak tahulah kalau masih di rumah. Yang ada dia bakal susah menutupi penyamarannya. Mama sama papanya juga pasti kaget melihat riasannya sekarang.

Lelah, juga ngantuk. Dara ingin tidur. Tapi lihatlah, cowok itu santai saja bersandar di headbord, memainkan gawainya. Dia sudah memperlihatkan wajahnya pada Dirga. Tapi yang membuatnya kesal, cowok itu sama sekali tak memperlihatkan ekspresi kagetnya. Dia biasa saja. Padahal menurutnya wajahnya sangat jelek. Aneh. Apa mata cowok itu buta.

"Lo tidur di bawah," ujar Dara galak. Dirga mendongak, menatap remeh pada Dara.
"Bukannya ini kamarku? Kenapa bukan kamu aja yang tidur di bawah," balas Dirga sarkas. Bahasanya pun kaku. Dara mengumpat dalam hati. Benar-benar menyebalkan. 

"Ya sudah. Malam ini gue izinin lo tidur di atas. Tapi jangan harap bisa macam-macam sama gue," ancamnya. Dirga memasang wajah datarnya. Padahal ini rumah siapa sih?

"Kamu pikir tubuhmu menarik?"

Kok... nyebelin. Memang dia sadar penampilannya jauh dari dia yang asli. Tapi dia merasa kesal mendengar ucapan cowok itu.

"Sial! Awas saja kalau sampai lo lihat wajah cantik gue dan jatuh cinta," rutuknya dalam hati.

Terpaksa malam ini dia tetap memakai riasan jeleknya. Huh! Dapat dipastikan besok jerawatnya yang asli bermunculan.

----------

Pagi. 
Dirga yang notabene disiplin, bangun lebih dulu. Menyingkirkan tangan Dara yang menimpa badannya. Gadis ini tidurnya petakilan juga ternyata.

Dirga tak terlalu memperhatikan wajah istri barunya, dan langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sampai dia selesai mandipun gadis itu belum juga bangun. Tapi Dirga tak peduli. 

Dia memakai jas dan dasinya dan bersiap ke kantor. Pagi-pagi sekali. Memang itu kebiasaannya. Makanya tak ada satupun karyawannya yang berani datang terlambat. Tak perlu sarapan. Dia tak terbiasa dengan rutinitas pagi itu.

Untung saja mereka sudah di apartemennya sendiri, jadi tak ada drama dengan orang tua. Memang itu persyaratan dari Dirga. Dia mau menikah asal tinggal di apartemennya sendiri, dan tidak bareng orang tuanya ataupun orang tua Dara. Tanpa menimbulkan keributan, dia berangkat ke kantor.

Pukul setengah tujuh, barulah Dara terbangun. Kaget dengan bias sinar matahari yang mengintip dari celah jendela.

"Astaga! Gue kesiangan!" pekiknya dan berlari ke kamar mandi.