"Gimana kabarmu?"
"Yah, beginilah. Bisa lihat sendiri." Hey! Lagi-lagi beruang kutub itu tertawa.
"Ayo, silakan duduk." Dirga mempersilakan. Mereka terlihat akrab. Ada hubungan apa mereka sebenarnya?
"Oh? Ini siapa?" Raka baru menyadari keberadaan Dara. Kaget dengan tampilan aneh gadis di ruangan Dirga.
Dirga tak menjawab. Justru mengerutkan dahi melihat perubahan dadakan Dara. Yang tadinya seperti gadis tak punya sopan santun, tiba-tiba saja mematung.
"Saya Raka, rekan kerja Dirga." Dara melirik uluran tangan Raka dan menghentakkan kakinya kesal. Moodnya yang sudah buruk bertambah buruk. Dia keluar dari ruangan Dirga dan membanting kasar pintu ruangan Dirga.
Brak!
"Ada apa dia?" tanya Raka heran. Gadis yang aneh, pikirnya. Dirga menatap tajam kepergian gadis itu.
"Biarkan saja," ucapnya datar.
"Kau minum apa?" tawarnya kemudian. Raka menggeser duduknya. Belum pulih keterkejutannya dari sikap gadis jelek barusan.
"Terserah kau saja."
Dirga mengangguk. Menelepon Linda untuk membawakan minuman ke ruangannya. Mulai membicarakan tentang kerjasama mereka.
-----------
Gadis berwajah jelek itu berjalan dengan mulut menggerutu. Gak hanya hari pertama yang super menyebalkan, hari kedua ke dua juga tak kalah menyebalkan ternyata. Bisa-bisanya dia ketemu mantan di kantor Dirga. Untung saja Raka tak mengenalinya tadi.
Bukannya dia masih cinta, tapi cenderung membenci pria itu. Tiga tahun hubungan kandas tanpa alasan yang jelas. Gimana gak sakit hati coba? Malah tiba-tiba dapat undangan lagi. Huh! Menyebalkan sekali.
"Apa!" Bentakan andalannya tiap kali ada yang memandangi dirinya. Tak lupa tatapan tajam nan sangar menambah kesan antagonis di wajah anehnya.
Dia tidak tahu kemana langkah akan membawanya. Yang penting bisa mengelurkan unek-uneknya saja dia sudah puas. Hingga tiba di sebuah tangga, dia berhenti. Rupanya itu tangga menuju rooftop.
Ragu-ragu kakinya yang terbungkus heels melangkah meniti satu persatu anak tangga. Mulut kecilnya sedikit terbuka, berdecak kagum. Hamparan dataran bumi terlihat indah seperti lukisan yang terpajang. Meski sering berkunjung ke gedung pencakar langit, tapi tak pernah sekalipun dia mengunjungi rooftop. Semilir angin berhembus menerpa wajahnya, menerbangkan helai rambutnya.
Pelan kakinya melangkah lebih ke tengah. Menghirup dalam-dalam udara ketinggian. Rasanya masih sama dengan udara dataran sana, tapi sensasinya berbeda. Untung saja cuaca hari ini tak terik. Mentari diatas sana tertutup awan, sehingga cukup untuk melindunginya dari teriknya matahari.
Berdiri di tepi atap, benar-benar di tepi, dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Di sebelah kiri Monas dikejauhan sana terlihat kecil. Dia coba lihat dari tangannya yang membentuk bulatan teropong. Terkekeh sendiri. Lucu.
Bangunan-bangunan tenda milik pedagang kaki lima di bawah sana terlihat kerdil. Kendaraan di jalan raya bawah sana juga seperti semut yang berbaris. Senyumnya mengembang. Tiba-tiba ide konyol terlintas di otaknya. Dia menarik napas panjang, dan...
"Aaaa...." teriaknya membentangkan tangannya. Memejamkan mata, membayangkan adegan di film Titanic antara Rose dan Jack. Sayangnya tak ada Jake disini yang akan memeluknya dari belakang. Padahal so sweet kali ya.
"Kamu gila!"
Suara yang mengagetkannya. Sontak dia menoleh. Mendecak begitu tahu lagi-lagi pri menyebalkan itu yang membuyarkan imajinasinya.
"Bisa gak sih jangan ganggu!" omelnya kesal.
Dirga mengabaikan protes gadis itu dan menariknya dari tepi atap agak ke tengah. Angin yang lumayan kencang menerbangkan rambut keduanya. Persis seperti di drama-drama Korea itu. Sayangnya ini bukan drama romatis seperti itu. Justru sepertinya drama yang menyebalkan.
"Saya tahu, kamu itu stress. Tapi bisa kan jangan bunuh diri di kantor saya?"
What? Apa katanya?
"Bu-bunuh diri?" ulang Dara. Alisnya berkerut. Sedetik kemudian dia terbahak.
"Lo yang gila. Haha. Siapa juga yang mau bunuh diri?" Tawanya terpingkal-pingkal. Dirga menatapnya kesal.
"Lalu, untuk apa kamu di atap?" Tawa Dara terhenti. Mendengkus.
"Cari hiburan lah. Stress gue deket-deket lo terus."
"Hah!" Dirga membuang napas kasar.
"Memang siapa yang bilang gue bunuh diri? Ngadi-ngafi aja sih lo."
Dirga menariknya lagi ke tepi atap. Menunjuk dengan dagunya ke arah bawah.
"Hah? Ngapain?" Dara malah cengo, tak paham.
"Lihat bawah."
Meski tak paham, gadis itu nurut juga. Matanya membulat menyadari kerumunan di bawah. Yang semuanya mendongak ke atas. Memang tak jelas raut wajah mereka, tapi yang pasti mereka menunjuk ke arahnya.
"Me-mereka ngapain?" tanyanya polos. Dirga menatap gadis itu heran.
"Masih juga tanya. Mereka pikir kamu mau bunuh diri, bodoh!"
Dara melongo. Memang tingkahnya tadi persis kayak orang mau bunuh diri kah? Padahal dia rasa aktingnya sudah mirip Rose Titanic loh. Ah, mereka saja yang matanya silap.
"Mereka kira kamu stress karena punya wajah jelek."
Jleb.
Pernyataan apalagi ini.
"Yah! Gue ini cantik!" kesalnya. Menjadi istri Dirga bisa gila dia lama-lama.
"Mereka gak tahu gue yang sebenarnya. Sialan!" umpatnya. Terdengar kekehan kecil. Darimana lagi kalau bukan Dirga.
"Kenapa ketawa? Puas lo!"
Dirga mengangkat sebelah alisnya. Meraih pergelangan tangan Dara lagi.
"Ayo turun. Sebelum mereka tambah geger."
"Gak mau. Orang gue masih pengen disini kok. Maksa," tolaknya menghempaskan kasar tangannya dan berhasil terlepas.
"Jangan keras kepala. Kau hanya bisanya bikin geger saja," omel Dirga.
"Lagipula rekanku tadi sudah pergi. Jadi kau tak perlu khawatir bertemu dengannya."
Mata Dara membulat.
"L-lo tahu?"
"Itu tidak penting. Kita bahas di ruanganku. Sekarang turun."
Terpaksa akhirnya Dara mengalah. Lagipula dia penasaran kenapa Dirga bisa tahu kalau dia tadi menghindari Raka.
Beberapa pasang mata curi-curi pandang ke arah bossnya yang berhasil mencegah wanita itu. Masing-masing membatin, tapi sudah bisa di tebak sih, isi pikirannya pasti sama.
-------------
"Katakan. Kok lo bisa tahu gue kenal Raka?"
Rasa penasaran Dara sudah memuncak. Jadi sampai ruangan Dirga tanpa basa basi dia langsung melontarkan pertanyaannya.
Dirga malah terkekeh. Menyesap cappucino late yang sejak kapan sudah ada di ruangannya, mungkin sisa dia minum bareng Raka tadi.
"Saya gak tahu apa-apa," jawabnya singkat. Dara mengerutkan dahinya.
"Maksud lo? Bukannya lo tahu kalau Raka mantan gue?" cetusnya dengan alis berkerut. Dirga malah tertawa kecil.
"Oh, jadi dia mantan kamu?" Pandangannya sungguh meledek. Tadi dia hanya asal tebak saja karena melihat perubahan raut Dara yang tiba-tiba saat melihat Raka. Pasti ada sesuatu kan?
"Ma-maksud lo? Lo sebenarnya gak tahu? Lo jebak gue? Hah!"
Dirga terkekeh.
"Memang saya bilang kalau dia mantan kamu? Gak kan?"
Sialan. Dara terjebak.
"Aaih! Nyebelin banget sih. Dasar tukang tipu. Gue kira lo bakal kasih solusi. Tahunya cuma basa-basi," rutuknya. Duduk di sofa dengan bersidekap. Memalingkan wajah ke arah lain.
"Solusi?" Tatapan Dirga mengarah ke arahnya. Melangkah mendekat ke arah Dara dengan gelas cappucino late masih di tangannya. Sedikit membungkuk ke arah gadis itu.
"Kau ada dendamkah dengan mantanmu? Apa dia menghianatimu?"
Dara mendecih. Giliran begini, malah kepo.
"Bukannya ini bukan urusan lo?" ucapnya sarkas.
"Memang bukan." Dirga menjauhkan badannya. Kembali menyesap cappucinonya, lalu meletakkan gelas itu di meja.
"Tapi mungkin kita bisa kerjasama," tambahnya. Pandangan keduanya kembali tertumbuk.
"Ah, malaslah. Lo orangnya nyebelin. Pasti mau nipu gue kan? Manfaatin gue?"
"Kali ini saya serius. Kita bisa kerjasama. Kau bisa pegang ucapanku."
Dara mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Oke. Mari kita coba."
Gadis itu duduk dengan bersilang kaki. Jangan lupakan tangan yang bersidekap. Ayolah, tingkahnya memang benar-benar Dara yang asli, meski wajahnya berbeda. Dirga duduk di sofa yang berhadapan.
"Tapi awas saja kalau lo berhianat. Gue pastikan..."
"Tidak akan. Tenang saja. Mungkin mulai sekarang kita bisa buat perjanjian kita?"
"Oke. Siapa takut. Sekarang katakan apa yang lo rencanain. Dan apa keuntungan buat kita."
"Oke. Jadi..."