Bab 1

Sebelum dibaca, minta subscribe, love dan komennya ya. Makasii❤️

“Bu, ada undangan berbuka di rumah Mba Sinta. Hayu kita siap-siap,” ujar Bapak kepada Ibu yang sedang mencuci piring.

“Kita diundang atau Bapak tahu lewat grup wa saja?” ujar Ibu malas.

“Dari wa. Tapi kan berarti mengundang semua saudara di grup,” ujar Bapak lagi.

“Kenapa tidak makan di rumah saja sih, Pak? Ada tahu tempe kok. Ibu juga tadi dikasi sayur lodeh sama tetangga.”

“Kasihan Usman. Tiga hari berturut-turut makannya tahu tempe terus. Kalo di rumah Mba Sinta bisa perbaikan gizi.”

Akhirnya ibu mengalah.

“Usman, kamu siap-siap, ya. Kita mau buka puasa di rumah Bude Sinta,” teriak Ibu.

“Iya, Bu,” jawabku.

Aku tahu Ibu enggan ke rumah saudara-saudara Bapak. Mereka memang kaya, tetapi sedikit sombong. Akupun sering tidak nyaman berada di antara sepupu-sepupuku itu. Tapi, mau bagaimana lagi, perintah bapak kan tidak bisa dilawan.

Kami sampai di rumah mewah berpagar tinggi bersamaan dengan keluarga pak Lek Anton, adik bapakku. Seorang pengusaha batu bara. Bedanya mereka sampai naik mercy, kami berjalan kaki, setelah turun dari angkot di perempatan.

Bude Sinta sudah ada di teras menyambut tamu-tamunya. Bude selalu sumringah ketika ponakan-ponakannya mencium tangannya, kecuali aku.

“Selamat ya, Surya. Kamu katanya diterima di SMA favorit,” ujar Bude pada sepupuku.

“Ah, Rosi, kamu tambah cantik aja. Katanya jadi selegram nih sekarang? Keren amat,” ujar Bude pada Rosi, kakak perempuan Surya lagi.

“Eh, Siska, kamu sama siapa ke sini? Mama pergi lagi? Ya sudah, hayu masuk,” kali ini Bude berkata pada Siska, anak tetangga Bude, yang memang sering berkunjung ke sini.

Ketika giliranku mencium tangannya, Bude hanya diam saja. Tidak bertanya kabar. Boro-boro mengucapkan selamat atas diterimanya aku di sebuah pesantren favorit di Jawa sana, memberi senyumpun tidak.

Di dalam sudah ada keluarga Pakde Yoni, Pakde Toni dan juga Bulek Sari, beserta anak-anak mereka. Pekerjaan mereka semua pengusaha. Hanya bapakku seorang guru sd. Ibuku bantu-bantu kebutuhan hidup dengan berjualan gorengan dan lauk, berkeliling dari rumah ke rumah mengendarai motor.

Setiap ada pertemuan keluarga, hanya keluargaku saja yang banyak diam karena memang jarang diajak bicara. Aku yang duduk di kelas 3 SMP, kadang tidak mengerti situasi keluargaku ini. Tapi Bapak selalu berpesan harus bersikap baik sama saudara. Jadi aku berusaha berbaur dengan saudara-saudaraku.

“Anak-anak, kalian main di kamar dulu sana sambil menunggu bedug,” perintah Bude Sri.

Anak-anakpun menurut, termasuk aku.

“Kita main play station ajalah. Gua ada game baru nih,” kata Denis, anak Bude Sri yang paling tua.

Yang tidak main play station, bermain game dengan ipad mereka masing-masing. Kecuali aku tentunya, karena aku memang tidak punya ipad, bahkan hape pun tak punya.

“Emang lo udah di terima sekolah di Belanda, Nis?” tanya Surya pada Denis.

“Yoi,” jawab Denis sambil memainkan remote playnya.

“Lo udah biasa ke luar negri, jadi ga canggung lagi dong ya,” ujar Rosi.

“Yah, lumayanlah. Lha kalian liburan akhir tahun ke Turki, gua malah belum pernah ke sana,” ujar Denis.

“Beruntung banget. Aku paling main ke Asia aja,” ujar Siska, anak tetangga yang cantik. Kemudian dia melihatku.

“Kalo Usman, udah ke mana aja?” tanyanya.

“Yah, dia sih belum pernah ke luar negri kali,” malah Denis yang menjawab.

“Lha Paklek Budi kan cuman guru SD. Berapa sih gaji guru SD?” Surya ikut-ikutan berkomentar.

Siska tidak bertanya lagi. Akupun malas menanggapi. Sakit rasanya Bapak direndahkan seperti itu. Tapi aku teringat nasehat Bapak, untuk tidak membuat ulah di rumah Bude. Aku memutuskan keluar kamar saja, sambil mengambil tasku yang kuletakkan di sebelah Surya.

“Mau ke mana, lo?” tanya Surya.

“Keluar, cari angin,” jawabku.

Aku menuruni anak tangga berbahan marmer. Sebenarnya aku juga bingung. Memangnya aku mau ke mana? Para orang tua sedang duduk  di ruang tamu. Pura-pura ke kamar mandi saja. Beberapa menit kemudian, akupun keluar dari kamar mandi.

Tiba-tiba Denis turun tergopoh-gopoh menuju ruang tamu.

“Ma, Iphoneku yang baru hilang,” ujarnya terengah-engah.

“Dicari dulu, Sayang,” ujar Bude Sinta merasa terganggu.

“Sudah, Ma. Tadi aku taro di tempat tidur. Trus ga ada. Yang lain juga bantu cari.”

Anak-anak keluar kamar memasuki ruang tamu, begitu pula aku. Tiba-tiba Denis melihat ke arahku dan mengarahkan telunjuknya padaku.

“Sebelum Usman keluar kamar masih ada,” ujar Denis.

Semua mata tertuju padaku yang masih bingung.

“Maksudnya?” tanyaku.

“Kalo boleh aku lihat tas kamu, Man,” ujar Denis.

Kulihat mata ibu dan bapak terbelalak.

“Apa maksudnya? Kamu menuduh Usman mencuri?” tanya Ibu.

“Hanya ingin mengecek saja,” ujar Denis kalem.

Surya menghampiriku dan langsung merebut tas dari tanganku, membukanya dan mengambil sesuatu dari dalamnya.

“Ini bukan Iphonenya??” tanya Surya sambil mengangkat iphone.

Mataku terbelalak. Bagaimana Iphone itu bisa ada di tasku? Aku tidak pernah mengambilnya!

“Ini pasti fitnah. Aku tidak mengambil handphone itu,” jeritku memandang Bapak dan Ibu yang hampir menangis.

“Usman! Berani-beraninya kamu mencuri di rumah Bude!”  ujar Bude Sinta geram.

Bapak memegang lenganku.

“Usman! Apa yang kamu lakukan? Bikin malu kamu!” jeritnya kecewa.

“Demi Allah, Pak. Bukan Usman yang mengambil. Usman tidak tahu kenapa bisa ada di dalam tas,” ujarku menahan tangis.

“Masih mau ngeles. Jelas-jelas ada di tas lo nih,” ujar Surya.

“Bukan Usman yang mengambil,” tiba-tiba Siska bicara dengan suara bergetar.

“Saya lihat sendiri, Surya yang memasukkannya ke tas Usman,” lanjutnya lagi.

“Siska! Diam kamu. Jangan mentang-mentang kamu naksir Usman lantas kamu bela dia!” teriak Surya.

“Aku tidak naksir Usman. Tante Sinta, bukankah di kamar ada cctv? Kan bisa dicek,” ucap Siska lagi.

Bude Sinta tampak kebingungan. Saudara-saudarku saling pandang. Dan tidak ada satupun yang bersuara.

Akhirnya Bapak menarikku dan Ibu.

“Kalian memang tidak punya hati. Bisa-bisanya memperlakukan keluargaku seperti ini. Semoga saja kalian tobat. Ayo Usman, Bu, kita pulang,” ajak  Bapak. Kamipun pergi dari rumah mewah itu. Setelah keluar dari gerbang, aku mendengar langkah kecil mengikuti kami. Aku menengok ke belakang. Rupanya Siska.

            “Siska, makasih ya,” ujarku pelan.

Ia tidak menjawab. Ia berjalan cepat mendahului kami dan menghilang di ujung jalan.

Bapak menatapku, kemudian beliau merangkulku.

“Maafkan Bapak. Kenapa Bapak malah percaya dengan mereka. Bisa-bisanya Bapak ikut marah padamu,” ujarnya.

“Tidak apa-apa, Pak.”

“Hayu kita cepat-cepat pulang. Sebentar lagi adzan Maghrib,” ujar Ibu menarik tangan Bapak.

Kupandangi rumah Bude Sinta dari kejauhan. Aku tidak mau menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Lihat saja, suatu saat nanti, aku akan jadi orang kaya dan bisa keliling dunia. Dan pada saat itu, kalian tidak bisa menghinaku dan keluargaku lagi.

 

Bersambung?