Bab 2

Sebelum dibaca, subscribe, love dan komen ya. Biar tambah semangat.❤️


Reyhanli, Turki dan Bumi Syam

 

Mobil Jeep berisi 5 orang pria itu melaju melintasi dinginnya udara pagi. Sepanjang perjalanan, tidak terlihat mobil lain melintas. Kiri kanan jalan hanya pepohonan tandus dan beberapa gedung yang sudah hancur.

Tiba2 terdengar suara pesawat berputar-putar. 

"Yalla..yalla," teriak salah seorang pria yang duduk di samping supir.

Yang lain mendongak, melihat dari balik kaca mobil. Meski agak jauh, suaranya terdengar bising. 

"Ya Allah. Katanya gencatan senjata??" teriak pria yang duduk dibelakang supir. 

Mereka semua tampak pucat. Kontan terdengar ayat-ayat Allah dilafazkan dari bibir mereka. Pria gagah dengan rahang persegi yang duduk di depan tadi berdoa dalam hati.

"Ya Allah. Jika ini hari terakhirku, tolong jaga Ibu."

Terdengar dentuman bom di kejauhan. Supir terus melajukan mobilnya menembus jalan terjal. Tak lama, sudah tak terdengar lagi suara bising. 

"Sudah. Tenang. Kita hampir sampai," ujar si supir.

Masing-masing masih terus melafazkan kalimat-kalimat Allah dalam hati. Tak lama, mereka sampai di tujuan. Hamparan tanah gersang dengan banyak tenda dan terpal. Setelah jeep diparkir, mereka disambut oleh anak-anak kecil.

Para pria ini adalah relawan dari lembaga kemanusian yang hendak mendistribusikan bantuan pangan pada para pengungsi korban perang. Salah satunya adalah Usman, pria gagah bermata elang. Mereka berbasa-basi sebentar dengan relawan lokal. Kemudian langsung menurunkan barang-barang di mobil yang akan dibagikan pada pengungsi.

Usman mengeluarkan banyak biskuit dari ranselnya. Ya, setiap menginjakkan kakinya di sini, ia selalu membawa biskuit atau permen untuk dibagikan ke pada anak-anak itu. Mereka bergerombol menerima biskuit dari Usman.

Sebelum melanjutkan perjalanan ke wilayah pengungsian lain, Usman duduk menyendiri di sebuah undakan. Memandang langit bumi Syam. Kerongkongannya terasa kering. Setiap Ramadhan, ingatannya selalu kembali ke masa lampau. Begitu kerasnya ia berusaha melupakan, luka itu belum bisa benar-benar pergi. Padahal umurnya sudah 25 tahun. Dari mulai kehidupan di pesantren sampai ia bisa berpindah-pindah dari satu negara, ke negara lain, luka itu tetap terbawa.

Ia teringat, almarhum Bapak sering membawanya ke masjid, selain untuk sholat jamaah, juga berbuka di sana. Karena di masjid memang banyak orang menyumbang nasi berkah. Kadang ada juga yang memperhatikan mereka, karena, sering mengambil nasi kotak di masjid.

“Nasi kotak ini kan harusnya untuk dibagi-bagikan, bukan cuma untuk orang yang itu-itu aja,” salah seorang bapak berkaca mata yang bicaranya sengaja dikeraskan kepada temannya.

“Namanya juga orang miskin. Ya ini ditujukan buat orang miskin, Pak. Masa orang kaya mau ikutan ngambil. Malu, dong,” ujar temannya.

“Mungkin perlu dibicarakan dengan pengurus mesjid, gimana kalau ngambil nasinya pake kupon. Jadi yang kemarin sudah dapat, tidak bisa dapat lagi setelah dua hari,” cerocos bapak kacamata tadi. Temannya hanya mengangguk-angguk.

Bapak tahu itu ditujukan padanya. Kadang Usman melihat gurat kesedihan di wajah bapaknya. Tapi bapak pura-pura tersenyum padanya.

Usman mengambil buku kecil dan pulpen. Ia biasa mencatat semua perjalanannya.

Dulu aku bercita-cita menjadi orang kaya, bisa keliling dunia. Aku juga berjanji tidak akan jadi orang sombong seperti saudara-saudaraku. Dan, di sinilah aku berada. Dari negara satu ke negara lainnya. Tapi bukan untuk liburan. Bukan untuk pariwisata. Allah mendengarkan doa-doaku. Aku memang belum menjadi orang kaya, tetapi berkecukupan. Aku memang bukan ke luar negri untuk jalan-jalan, tetapi Allah tahu yang terbaik untukku. Jika Allah memang menakdirkan aku bekerja untuk menjadi relawan, aku ikhlas. Biarpun aku harus meninggalkan ibu sendirian di rumah.

Tiba-tiba dua anak perempuan, sekitar umur 8 tahun menghampiri Usman. Dua anak lucu dan imut bermata biru. Yang satu berambut ikal dan yang satunya berambut lurus panjang.

            “Ayyu mas-alah waladaty?” tanya Usman dalam Bahasa Arab, yang artinya “Ada masalah apa anak-anakku?”

Mereka saling pandang. Tampak ragu untuk menjawab.

Usman mengeluarkan biskuit dari ranselnya. Mungkin mereka belum dapat. Mereka menggeleng.

            “Jadi kenapa?” tanya Usman lagi.

            “Law samah, hal indak mushaf Quran, Ammiy?” (Apakah kau punya mushaf Quran, Paman?)

Mata Usman membulat. Mendadak hatinya teriris. Biarpun dalam keadaan susah, mereka masih mau menghafal Quran

            “Kami ingin menghafal Quran. Tapi, kami tidak punya,” ujar yang berambut lurus.

            “Kami ingin sekali khatam di bulan Ramadhan ini,” ujar yang berambut ikal.

Usman menahan air matanya.

            “Maaf, Paman hanya bawa satu. Dipakai bersama ya. Tapi Paman janji. Kalau Paman ke sini lagi, Paman akan bawakan, ya?” kata Usman sambil mengeluarkan Quran kecil yang selalu disimpannya dalam ranselnya.

            Mereka menerima Quran itu sambil tersenyum.

            “Jazakallah khoir,” ucap mereka berbarengan.

            “Nama kalian siapa?” tanya Usman.

            “Aisyah,” jawab yang berambut ikal.

            “Ameera,” jawab yang berambut lurus.

Kemudian mereka kembali ke tenda masing-masing. Sebelum melanjutkan perjalan bersama rombongan, Usman memandang tenda-tenda itu dan bergumam,” Aisyah, Ameera, tunggu Paman ya. Semoga kalian bisa menjadi penghafal Quran.”

            Xxx

 

Setelah hampir dua minggu di Bumi Syam, akhirnya Usman dan rombongan pulang. Ketika sampai di bandara, mereka mendapat berita yang tidak mengenakkan.

            “Man, ada lagi nih, yang sok tahu. Ngomongin bantuan kemanusian di podcastnya,” cerita Satya, salah satu relawan.

            “Oya, siapa emangnya?” tanya Usman. Belum sempat badan ini beristirahat, sudah harus mengurusi hal-hal yang membuat pening kepala.

            “Nih, jurnalis sekaligus selegram. Jurnalis abal-abal ya gini ini,” gerutu Satya.

            “Musti klarifikasi nih,” ujar Bagas, salah satu relawan juga.

            “Dia bisa mempengaruhi followernya. Bisa-bisa yang tadinya mau donasi jadi ga jadi gara-gara fitnah ini,” ujar Satya panjang lebar.

Usman menonton video podcast itu. Seorang wanita cantik, memakai jilbab ala hijaber sedang mewancarai narasumbernya. Alis Usman mengernyit. Wajahnya tak asing. Siapa ya? 


Lanjut? Atau bersambung?