Bismillah. Terima kasih ya yang udah support author. Jadi tambah semangat. Semoga para pembaca diberi limpahan berkah dan rahmat di bulan suci ini. Sebelumnya, minta tolong pencet subscribre, like dan tinggalin komen ya. ❤️
***
Usman tak kalah terkejut. Tubuhnya serasa ingin limbung. Ia berusaha sekuat tenaga untuk bersikap biasa saja. Tetapi orang yang mengenalnya bilang, ia tidak pandai menyembunyikan ekspresi wajah. Memang tidak bakat menjadi aktor. Wanita di hadapan Usman ini, dia benar-benar seorang Siska. Wanita dari masa lalu, yang mengusik mimpi-mimpi Usman. Sebenarnya ia masih menghantui pria itu sampai saat ini.
“Siska?” tanya Usman pelan.
Untuk beberapa saat, mereka hanya mematung di tempat masing-masing. Bagas salah tingkah.
“Mmm..saya permisi dulu, Pak,” ujarnya undur diri.
“Mmm..silahkan duduk,” ujar Usman berusaha memecah kekakuan.
Siska tampak ragu. Tapi akhirnya ia duduk juga.
“Apa kabar, Usman?” tanyanya. Kelihatan jelas ia berusaha bersikap biasa saja.
“Baik, Alhamdulillah. Bagaimana dengan kamu?”
“Baik, Alhamdulillah.”
Hening kembali.
“Ibu Bapak gimana, sehat?” tanyanya lagi.
“Ibu Alhamdulillah baik. Bapak sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.”
“Innalillahi wa innaialihi rojiun. Turut berduka cita ya,” ujar Siska, kali ini wajahnya berubah sendu. Usman tahu wajah itu tulus mendoakan.
“Bagaimana juga kabar keluargamu?” tanya Usman canggung.
Siska menghela nafas.
“Yah, baik,” jawabnya singkat. “Mmm..jadi sekarang kau bekerja di sini?” tanyanya mengalihkan pembicaraan mengenai keluarga.
“Bisa dibilang begitu.”
“Oke. Kamu saya undang sebagai narasumber di podcast saya,” ujarnya.
Usman tersenyum.
“Biasanya yang bertugas untuk media itu Bagas, atau Satya. Atau ada teman kami, Fatimah. Kamu tinggal pilih aja siapa,” ujar Usman.
“Di sini kamu bosnya kah?” Siska bukan menjawab malah balik bertanya.
“Bukan. Kamu mau bertemu dengan presiden dari lembaga ini? Kemungkinan tidak bisa. Beliau sibuk,” ujar Usman.
Ia terdiam.
“Baiklah. Tapi aku mengundangmu untuk menjadi narasumber, bukan yang lain,” ujarnya memaksa. Tampaknya ia sudah tidak canggung lagi.
“Kenapa? Bukan tugasku untuk menjawab pertanyaan awak media.”
“Peraturan yang kaku,” gumamnya.
“Saya ada beberapa video dan berkas-berkas, jika mau melihat…,” belum sempat Usman selesai bicara, hape Siska berdering.
“Maaf, saya angkat dulu, ya,” ujarnya sambil berdiri dan berjalan menjauh.
Terdengar suara sayup-sayup dari seberang telpon Siska.
“Aku jemput ke dalam, ya?” ujar suara itu.
“Tidak usah. Aku sebentar lagi selesai, tunggu aja di parkiran,” ujar Siska langsung menutup telponnya.
“Maaf Usman. Saya ada keperluan mendadak. Saya tunggu kamu di kantor saya,” ujar Siska menyerahkan kartu namanya pada Usman.
“Mmm..tapi…’
“Saya pamit. Assalamualaikum,” ujar Siska berjalan ke luar ruangan. Dan Usman, hanya bisa terpaku di tempat.
Dasar wanita keras kepala!
Tok tok..
“Ya, masuk,” ujar Usman.
“Gimana, Man?” tanya Satya.
“Dia minta gua jadi nara sumber di podcastnya. Gua bilang ya ga bisa. Yang tugas jawab itu kan biasanya elo atau Bagas,” keluh Usman.
“Yah, gapapalah. Kenapa sih sekali-kali. Ayo, kapan ke sana. Gua antar. Kita gempur dia,” ujar Satya bersemangat.
“Gimana, Bos? Kok cepet banget pertemuannya. Nyerah dia?” tanya Bagas masuk ke ruangan.
“Dia minta Usman jadi nara sumber di podcastnya,” jawab Satya.
“Ha? Terus bos mau?” tanya Bagas.
“Maulah,” ujar Satya asal.
Biarpun itu tidak benar, Usman diam saja. Masi bingung dengan pertemuannya dengan Siska.
“Man, lo ngelamun mulu dari tadi. Kenapa sih?”
“Jangan-jangan, lo tersihir sama kecantikannya lagi?”
Berondongan pertanyaan dari Satya seperti suara rentetan senjata saja.
“Udah, jangan pada berisik. Ya udah nanti gua penuhi undangannya,” ujar Usman supaya cepat.
“Udah, gua mau kerja, begitu juga kalian,” ucap Usman mengusir dua bawahan sekaligus sahabatnya ini.
Satya dan Bagas saling pandang.
“Baiklah. Ayo Gas,” ajak Satya keluar dari ruangan.
Xxx
Siska menuruni anak tangga dan berjalan dengan anggun melewati lobi kantor Usman. Dia berdiri di belakang pintu masuk, menelpon seseorang. Tak lama, sebuah mobil sport menjemputnya.
“Hai sayang. Gimana tadi pertemuannya? Siapa ternyata yang berani-beraninya menfitnah kamu sudah berbohong?” tanya seorang lelaki berpakaian parlente. Rambutnya licin, wajahnya putih bersih dengan mata yang menusuk.
“Sudahlah Denis. Tidak usah ikut campur urusan pekerjaanku. Aku sudah bilang berkali-kali aku bisa mengurusnya sendiri,” ujar Siska sengit.
“Jangan begitulah, Sis. Kita ini sudah tunangan. Sebentar lagi aku akan jadi suami kamu. Aku berhak melindungi istriku,” ujar Denis, nadanya seperti memelas.
Siska bergidik. Hatinya perih. Pertunangan ini hanyalah keinginan sepihak. Tapi ia tidak punya daya untuk menolaknya. Kalau saja Denis tahu siapa yang baru ditemuinya. Pasti ia akan langsung masuk ke dalam kantor itu dan berbuat onar.
Wanita itu memandang keluar jendela mobil. Ia tidak pernah menyangka bisa bertemu dengan Usman dengan cara seperti ini. Ia sering bertanya dalam hati, dimanakah keberadaan pemuda itu. Semenjak kejadian di rumah Tante Sinta, Usman seakan menghilang dan Siska tak pernah mendengar kabarnya lagi. Ia hanya berharap bisa bertemu lagi dengan pemuda itu. Tapi bukan dengan cara seperti ini. Sekarang ia pasti membenciku, batinnya. Siska memegang dadanya yang mendadak sakit. Konten di podcastnya kali ini ternyata menyakiti banyak orang. Dan sebelum bertemu Usman tadi, ia seakan tidak peduli. Ia seperti tumbuh menjadi pribadi yang keras. Yang ia pikirkan ia harus sukses dan mendapatkan uang banyak. Juga sedikit kekuasaan. Untuk apa? Untuk bisa melepaskan jeratan Denis. Anak Tante Sinta yang sudah meminangnya. Siska terpaksa menerima kenyataan pahit ini karena hutang budi ayah dan ibunya. Ayah yang dipenjara karena korupsi, terjerat hutang. Dan Tante Sinta mengulurkan tangan. Dengan syarat tentu saja. Menikahkan Denis dengan Sinta.
Dari luar, kehidupan Siska tampak sempurna. Profesinya sebagai selegram sukses dengan banyak endorsement dan mempunyai calon suami pengusaha kaya raya. Para penggemarnya tidak ada yang tahu Siska suka menangis sendirian di kamarnya. Hatinya sering merasa hampa.
Pertemuan dengan Usman tadi kembali tadi kembali terbayang-bayang di kepalanya. Wajahnya tidak berubah. Hanya posturnya saja. Dulu kurus dan sekarang tegap dan gagah. Ingatan Siska kembali ke masa silam.
Bersambung.
Author jadi ikutan galau nih. Kasihan Siska hiks.