Assalamualaikum. Selamat pagi para pembaca yang budiman. Terima kasih sudah mampir. Kita ketemu lagi sama Usman. Sebelumnya klik subscribe, like dan lovenya ya. Biar tambah semangat di bulan penuh keberkahan ini. Semoga Allah merahmati para pembaca di sini. Aamiin. ❤️ ***
Pakde Toni sebenarnya paling baik diantara saudara-saudara bapakku. Kadang dia suka menyapa dan menanyakan kabar, jika dia sedang sendiri. Tapi kalo ada Tante Mirna, entah kenapa Pakde Toni berubah menjadi dingin. Pernah suatu kali, ketika aku masih duduk di kelas 4 SD, aku dititipkan di rumah Pakde Toni. Pakde membeli susu untuk Rina, Sandra dan aku.
“Usman, ini susu buat kamu dua, ya. Yang susu kotak besar untuk dibawa pulang. Juga beberapa biskuit,” ujar Pakde sambil memberikan kantong plastik padaku.
Seketika Tante Mirna menarik Pakde Toni menuju dapur. Tapi aku masih bisa mendengar pembicaraan mereka.
“Mas, ngapain sih beliin segitu banyak buat si Usman. Cukup satu ajalah,” omel Tante Mirna.
“Kasihan. Dia mungkin jarang dikasi susu,” ujar Pakde Toni.
“Itu urusan Dek Budi lah. Anaknya kan bukan tanggungan kita. Wong Dek Budi juga masih kerja, kok.”
“Ya tapi..,” belum sempat Pakde Toni melanjutkan, Tante Mirna sudah memotong.
“Pokoknya jangan tapi-tapi. Aku juga ga suka sering dititipin si Usman. Aku juga repot banyak kerjaan!”
Dan tak kudengar lagi pembicaraan mereka. Hanya langkah Pakde Toni masuk ke dalam kamar.
Rina dan Sandra sepupuku, memang tidak pernah membullyku. Tapi mereka hampir tidak pernah mengajakku bicara. Hanya seperlunya saja. Jadi jika aku sedang di rumah mereka, biasanya aku bermain saja di ruang tamu. Mereka berdiam di kamar. Entah apa salahku pada mereka.
“Kok lo pucet gitu mukanya? Lo ga kenapa-napa? Mending lo pulang aja, istirahat. Lagian banyak anak-anak di sini.”
Aku mengangguk. Memang lebih baik aku pulang saja. Kulihat sekali lagi Tante Mirna dari kejauhan. Sekarang ada dua perempuan yang mencoba menenangkannya. Sepertinya itu Rina dan Sandra. Tiba-tiba hatiku sedih melihat mereka.
“Mmm, Sat. gua bisa minta tolong, ga?” tanyaku.
“Iya, apaan?”
“Ibu yang di pojok itu. Gua kaya pernah lihat,” ujarku sambil mengeluarkan dompet dari saku celanaku.
“Tolong aja kasihin ini ke dia. Bilang aja tadi ada orang nitip ke ibu gitu, jangan sampai kelihatan yang lain,” bisikku mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan menyerahkannya ke Satya.
“Emang siapa sih?” tanya Satya kepo.
“Ga penting juga. Tolong, ya. Gua kayanya ga enak badan. Gua balik, ya.”
“Oke. Siap.”
Sesampainya di rumah, kuceritakan semuanya pada Ibu.
“Pakde Toni sudah meninggal, Nak. Yah kira-kira dua tahun setelah bapakmu meninggal. Tapi ibu juga tidak diberitahu oleh saudara-saudara bapakmu. Ibu malah tahunya dari teman yang kenal juga dengan Pakde Toni.”
“Innalillahi wa innailaihi rojiun. Sakit apa bu?”
“Pakde kena kanker katanya. Jadi butuh banyak biaya. Setelah pakdemu meninggal, kabarnya usaha Tante Mirna juga bangkrut, karena ditipu partnernya. Uangnya dibawa lari. Makanya mereka pindah rumah,” cerita Ibu panjang lebar.
Aku mengelus dada prihatin. Biar bagaimanapun mereka tetap saudaraku. Aku tidak tega mendengarnya.
“Usman, Ibu minta, ingatlah pesan Bapakmu. Janganlah kau menyimpan dendam dengan siapapun. Kau ini lulusan pesantren, seorang relawan kemanusian. Bersihkan hatimu, Nak,” nasehat Ibu.
Aku menghela nafas.
“Iya, Bu,” jawabku.
Xxx
Aku membereskan berkas -berkas di ruanganku. Ada suara ketukan di pintu.
“Ya, masuk.”
Satya masuk menghampiriku. Sebenarnya aku ingin bertanya lebih lanjut soal Tante Mirna, tapi Satya sudah keburu bercerita duluan
"Man, si jurnalis abal-abal itu sudah kita mention ig-nya, sudah di dm. Masih pansos aja. Dia ga mau hapus videonya," cerita Satya berapi-api.
"Gua jadi ingat cerita gua dulu. Lagi asik nyetir mobil sambil dengerin lagunya Sheila on 7, tiba2 jederrr. Metromini nabrak gua dari belakang! Untung ga kenceng. Gua turun, gua marahin supirnya. Gua minta simnya. Dia malah ketawa. Dikata mas ini polisi apa? Yah, sama kaya elo ngomongnya,” cerocos Satya.
Aku tertawa.
“Masih aja lo dengerin Sheila on 7?”
“Enggalah. Semenjak istri gua pernah bilang itu vokalisnya cakep, gua jd males."
“Lha, apa hubungannya? Hahaha,” aku tertawa.
Bagas mengetuk pintu dan langsug masuk sebelum dipersilahkan.
"Uda ditantangin tu cewe, kita bersedia jadi nara sumber di podcastnya. Malah balik nantangin. Katanya dia mau grebek kantor ini!” ujar Bagas, wajahnya memerah kesal.
Spontan aku dan Satya tertawa.
“Lha, malah ketawa,” ujar Bagas bingung.
“Abis. Lucu juga tu cewe,” jawab Satya.
“Ya udah, kasihlah alamat kantor ini. Kita lihat, berani ga dia ke sini. Bagas , siapin data-datanya,” ujarku memberi perintah.
“Siap, Bos.”
Keesokan harinya.
Ternyata, selegram itu benar-benar nekat. Sekarang dia sudah ada di ruang tunggu kantor.
"Suruh ke ruangan gua aja," perintahku pada Bagas.
Tak lama, pintu diketuk. Masuklah seorang perempuan cantik memakai kerudung warna pastel dengan percaya diri. Ketika dia melihatku, matanya terbelalak. Sikap angkuhnya mendadak luntur. Ia tampak gugup melihatku.
"Usman?" tanyanya pelan dengan suara bergetar.
Lanjut? Author lagi membayangkan Usman mirip artis siapa ya?