Bab 7
Hujan sejak Subuh bikin mager, paling enak rebahan sambil scroll sosmed ditemani cemilan. Buka kulkas cuma ada cabe rawit  merah dan ijo. Masa iya ngemil itu? Tapi okelah kalau buat teman mie instan kuah. 

"Yaaah, habis juga." Di rak piring kaca tempat biasanya aku menaruh mie instan juga kosong gak ada apa-apa. 

"Cari apa, La?" Bapak menyeduh kopi hitam favoritnya. 

"Mie kuah yang warna ijo, Pak." 

"Sudah bapak makan tadi." 

"Yaaah." 

"Ya, maaf. Kirain gak ada pemiliknya. Hehehe." 

"Ish, kalau gak ada pemiliknya emang bisa nangkring sendiri di lemari." 

"Ya sudah, beli lagi sana sekaligus belanja kebutuhan dapur." Bapak mengeluarkan dua lembar kertas berwarna merah dari lipatan pecinya. 

"Kebutuhan jajan Lala juga penting, tambahin!" Aku menyodorkan telapak tangan lagi dan menyusulah lembaran kertas berikutnya yang kali ini berwarna biru. 

Sisa-sisa gerimis dan genangan air di beberapa titik mewarnai sepanjang jalan cor  yang kulalui. Bapak melarang pakai motor, takut terjatuh karena licin. 

"Jangan manja! Orang dekat ini warungnya." 

Itu cuma alasan, dua kali pernah terjatuh saat aku nekat menerobos hujan bikin Bapak khawatir. Kalau bepergian dan kebetulan sedang turun hujan, seenggaknya tunggu reda dulu. 

Warung sayur Budhe Ndut terletak di gang berbeda, dipanggil Budhe Ndut karena bodi wanita paruh baya itu terbilang sangat subur,  berkat dirawat dan dipupuk sepenuh hati oleh suaminya. Hihihi ...

Ada tiga lapak memanjang di sana, satu khusus untuk sayur mayur, dua untuk ikan-ikan basah, daging dan ayam potong, tiga untuk sayuran matang dan jajajan pasar titipan warga sekitar. 

Aku leluasa memilih apa saja karena warung masih lengang. Mungkin pada malas keluar rumah saat cuaca mendukung begini. Cocoknya memang rebahan, bukan keluyuran. Tapi gak berlaku buat yang kerja. 

Di plastik besar yang kutenteng sudah full sayuran dan lauk pauk mentah. Untuk stok beberapa hari. Lihat jajanan aneka macam bikin perut meronta-ronta. Kue lapis pelanginya menggoda iman dan taqwa. Dari kubu hijau ada lemper, timus dan mendhut melambai-lambai. Sedangkan dari kelompok gorengan ada  bala-bala gendut, bakwan jagung, perkedel, tahu isi dll juga dadah-dadah minta dibawa pulang. Okelah, beli satu-satu biar merata. 

Beli jajan basah kelar, godaan datang dari baki yang berbeda. Tempat lauk dan sayur-sayuran matang. Sekali-kali bolehlah makan masakan orang. Entah nanti Bapak ngomel atau enggak urusan belakangan. Hari ini mager ngapa-ngapain termasuk masak. 

____

"Kamu masak, La? Kayaknya dapur sepi-sepi saja dari tadi." 

Sekarang jam 12 siang, jadwal Bapak tutup toko menjelang Dzuhur. Nanti akan buka lagi satu jam kemudian. 

"Tadi beli, Pak. Lala lagi males masak." 

"Belum ada kabar kapan sidang skripsinya?" 

"Belum, Pak. Masih mau dibaca sama dosen pembimbingnya." 

"Ooh." 

Aku menyiapkan nasi, sayur asem dan balado ikan cuwe untuk Bapak dan untuk diri sendiri. 

"Cobain dulu, Pak. Kayaknya enak banget ini." Sesendok kuah sayur asem kuambil dari mangkok, lantas menyeruputnya. Sensasi asem, manis dan gurih menyatu di lidah. Seger banget dinikmati hangat-hangat. 

Satu kali suapan, Bapak terdiam. Suapan berikutnya juga demikian. Ada apa? Apa mungkin kurang cocok dengan masakan orang, tapi gak mau ngomong sama aku, takut anaknya marah. Beliau tetap meneruskan mengunyah makanan dalam diam, hingga habis tak bersisa. 

"Bapak suka?" 

"Hmmm." 

Tumben, bahkan saat kami melewatkan makan bersama tiap hari biasanya tetap ramai biar cuma berdua. Ada apa dengan hari ini? Gak mungkin kan Bapak PMS. 

"Rasanya gimana, Pak?" 

"Asem." 

Yaiyalah, namanya juga sayur asem, masa iya pahit. Bapak meletakkan piring kosongnya di wastafel, kemudian cuci tangan dan pergi gitu aja gak nungguin aku. Merasa aneh, aku mengikuti Bapak yang melangkah ke kamar. Gak ditutup sepenuhnya, jadi aku bisa mengintip apa yang tengah dilakukannya. 

"Bapak pikir makanan terenak di dunia itu masakan Ibuk. Bapak boleh protes apa enggak, Buk, sama orang yang sudah lancang mencuri resep sayur asem buatan Ibuk ..." 

Begitu yang kudengar ketika Bapak berbicara  sembari mengusap bingkai foto di tangan kirinya. Pantesan aku merasa aneh waktu Bapak mendadak diam sepanjang menikmati makan siangnya. 

Kira-kira sayur asem itu masakan siapa, ya? Aku harus cari tahu. 

"Lala!" seru Bapak. 

Aku balik ke dapur lagi dengan langkah pelan, takut ketahuan mengintip. Wajah Bapak sudah biasa saja, tapi aku melihat sudut matanya sedikit berair. 

"Iya, Pak." 

"Tolong kamu umumkan di grup WA RT kalau   besok ada kunjungan Bu Lurah. Kasih tahu seluruh ketua dasa wisma tentang aktifnya kegiatan pemberdayaan perempuan di kampung ini." 

"Siap, Pak." 

___

"Itu titipan dari ibu Asih yang baru pindah ke kampung ini, La," kata Mbak Ningsih. Salah satu anak Budhe Ndut yang khusus jaga jajanan. 

"Termasuk jajanan basah juga?" 

"Kalau jajanan basah cuma kue lapis sama brownies aja." 

"Mbak Ningsih tahu rumahnya yang mana?" 

"Kalau dari sini kamu lurus aja, pas di perempatan gang belok kiri, rumah kedua  yang di depannya ada pohon jambu air." 

"Oh, oke. Makasih, Mbak, infonya." 

Misteri tentang siapa pembuat sayur asem sudah terpecahkan. Tinggal pikirin rencana  selanjutnya. Asih? Bukankah wanita keibuan itu yang kemarin lusa setor KTP ke rumah? Yang kebetulan berstatus cerai mati. Ah, semesta benar-benar baik sama aku. 

Mengayun kakiku menuju rumah yang disebut Mbak Ningsih tadi, aku sudah membayangkan yang indah-indah. Tentang romansa senja antara Bapak dan calon gebetannya. 

"Awww!" 

Mau belok ke tikungan, lenganku malah tersenggol pengendara sepeda motor. Mau menjangkau kanan kiri menahan keseimbangan udah gak bisa lagi. Fix, pantat dan siku mendarat sempurna di sisi jalan. 

"Bapaaak! Sakit ..." 

Pengendara Vario tadi puter balik, parkirin motor di tepi jalan terus samperin aku. 

"Sorry, sorry! Makanya kalo jalan jangan sambil ngelamun. Mana ke tengah lagi, bukannya minggir." 

Lelaki berjaket hitam itu membuka kaca helm-nya. Kelihatan mata, hidung dan bibir doang. Jadi aku belum bisa pastiin ganteng enggaknya, tapi kelihatannya masih muda. 

"Kok, malah ngomel-ngomel. Situ juga harusnya pelan-pelan kalau mau belok. Duh!" Siku kanan perih karena lecet, darahnya mulai netes. 

"Ikut gue!" 

Dia membantu berdiri dan memapahku ke suatu tempat. Ke salah satu rumah dekat sini yang ... mau kutuju. 

"Ma ... Mama!" 

Cowok itu gedor-gedor pintu bercat biru yang gak lama kemudian terbuka. Benar! Wanita yang masakannya enak itu tinggal di sini. 

"Al, belum jadi berangkat?" Ia bertanya sembari membenarkan hijabnya. "Ini kenapa dan ada apa?" lanjutnya, bingung lihat aku dipapah dan disuruh duduk di kursi teras. 

"Terpaksa balik lagi, Ma. Ada insiden kecil." 

"Loh, kamu ... bukannya anak Pak RT?" Syukurlah, beliau ingat sama aku. Padahal baru sekali ketemu. 

"Iya, Tante." 

"Mama kenal?" Al menyipitkan mata. 

"Kebetulan kemarin ketemu di rumah Pak RT, baru ngobrol sebentar dan belum sempat kenalan. Nama kamu siapa, Sayang?" 

"Nama saya--" 

"Kamu juga, kenalan dulu sana!" tukas Tante Asih, sambil mengusap lengan Al. 

Dapat desakan dari sang Mama, Al membuka helm dan merapikan rambutnya yang berantakan dengan jari-jari kemudian mengulurkan tangan. 

"Gue Al, gak pake Debaran." 

"Lala," balasku. 

"Syukurlah. Untung nama lo bukan Andin." 

Lah! 

Bersambung





Komentar

Login untuk melihat komentar!