Bab 6
"Bukannya Lala suruh hapus status Bapak!" Geram aku, efeknya jadi fatal gini. Baru Lidya yang daftar kepengin dilamar, nanti siapa lagi? 

"Sudah bapak hapus dari kemarin, terhitung sepuluh menit setelah diunggah." Bapak sedikit gugup, gegabah banget itu jari-jari tua. 

"Untung Lidya gercep langsung screenshot sebelum dihapus." 

Polos banget itu cewek hitam manis tunjukkin layar ponsel dan benar, ada status Bapak di sana. Gak terbantahkan lagi. 

"Bapak cuma becanda, Lid. Lagian masa iya kamu mau sama bapak-bapak gini." 

"Ya gak masalah atuh, cinta kan gak mengenal usia. Ya, kan, Pak RT?" 

Preeetlah! Gak percaya aku. Cinta apaan? Yakin, pasti ada modus ini. Kaya di bumi ini udah gak ada pilihan laki-laki lain aja. Lidya masih bisa mendapatkan pria seumuran, lebih tua sedikit atau berondong sekalian. Lah ini kenapa seleranya malah yang tua-tua? 

"I--iya. Eh, Ups!" Bapakku kebingungan sendiri. 

"Tuh, kan. Bapak kamu aja bilang iya." 

"Gak mau. Aku gak mau punya ibu baru yang seumuran." 

"Jangan egois atuh, La! Bapak kamu juga butuh seorang pendamping." 

"Iya, tapi bukan kamu." 

"Emangnya kalau aku kenapa sih, La?" 

"Masih banyak lelaki muda yang mau sama kamu, ngapain ngebet banget sama Bapak?  Bapakku udah tua, seumuran sama bapakmu. Mau dicari apanya? Banyak duit juga enggak." 

Dari sini aku belajar kalau seseorang yang kelihatannya polos itu bukan jaminan bahwa dalamnya polos juga. Eh, apa sih? Pokoknya itulah. Kukira Lidya gadis baik-baik, ternyata? 

"Iya, kelihatannya emang gak banyak duit. Cuma punya toko perabotan rumah tangga doang, tapi Bapakmu punya sawah banyak, kan, di kampung nenek kamu?" 

"Dari mana kamu tahu?" 

"Dari Emak sama Bapak. Eh, ups!" Lidya gelagapan, sadar keceplosan. 

Oh, jadi gitu ceritanya. Punya orang tua harusnya bisa jadi panutan, ini malah menjerumuskan anaknya. Suruh Lidya buat deketin Bapak ternyata ada tujuan tertentu. Kelakuan horang jaman now maunya habis nikah langsung enak, gak mau berjuang dari nol. 

Aku masih ingat dulu suka duka Bapak jualan perabot pakai motor. Suka diledekin sama orang, katanya Bapak habis bertengkar sama Ibuk segala panci, sapu, kain pel dibawa-bawa. Dulu banget waktu aku masih kecil dan belum bisa bangun toko kaya sekarang. Ibuku yang jungkir balik ikut berjuang dari nol eh ini ada cabe-cabean yang mencoba ikut menikmati hasilnya. Oh, gak semudah itu. It's not my dream! 

"Sana pulang! Cari jodoh di tempat lain." 

"Kok, ngusir!" 

"Kok, gak tau diri!" 

"Sudah, sudah, cukup!" Bapak melerai situasi menegangkan ini. 

"Kalau Bapak sampai nikahin Lidya--" 

"Apa, La? Mau pergi dari rumah ini? Ya bagus, berarti kamu pengertian sama kami." 

Sumpah! Itu mulut kepedean banget, amit-amit. Kalau aku ini kaya tokoh bar-bar di cerita Istri Sah Vs Pelakor, udah kubejek-bejek si Lidya. 

Kalau sampai Bapak nikahin Lidya. Rumah ini, toko, sawah dan ladang bakalan jatuh ke tanganku semua lah. Enak aja! Belajar sono dari isi bahan bakar di SPBU, semua dimulai dari nol. Ya, kan! 

Aku marah semarah-marahnya, langsung masuk kamar dan males ngapa-ngapain sampai malam. Dibujuk makan juga males, gak ngaruh biar ditawari beberapa menu makanan di abang-abang yang lewat depan toko. Padahal ada ayam goreng kremes, tahu tek-tek, nasi goreng spesial dan bakso. Mana ada napsu makan kalau lagi emosi gini. 

Bapak setengah tua itu susah banget dikasih tahu, dibilangin jangan suka bikin status sembarangan biar gak ada yang salah paham, eh malah ngeyel. Gempar sudah satu RT. 

Bingkai foto ukuran 10R kuletakkan di pangkuan. Ada gambar Ibuk tengah tersenyum di sana. Permukaan kacanya basah oleh air yang bergulir dari pipiku. 

"Ibuk cepet banget ninggalin Lala." Bingkai berpindah dalam dekapan, seakan tubuh mendiang Ibuk kini tengah kupeluk erat. "Gak bakalan ada yang bisa gantiin Ibuk." 

"Di hati Bapak juga gak bakalan terganti." 

Aku menoleh ke arah pintu, pria berpeci hitam bernama Abdul Somad berdiri dan tersenyum di sana. 

"Bo-hong! Buk-ti-nya ma-sih ke-pe-ngin ni-kah la-gi." Susah ngomel kalau lagi sesenggukan begini, terbata-bata jadinya. 

"Jadi kamu lebih suka bapak jadi duda permanen? Baik, kalau itu bikin anak bapak bahagia." 

Kok kedengarannya aku kejam banget, ya. Apa standarku terlalu tinggi untuk calon istri Bapak hingga sampai saat ini belum ketemu yang pas. 

"Ya gak gitu juga." 

"Terus apa? Jika standarmu persis seperti mendiang Ibuk, sampai kapanpun juga gak bakalan dapat. Neti--gadis seumuran Bapak, kamu gak mau, Bulik Ratmi--janda dua anak yang potensial diangkat derajatnya kamu tolak juga. Lidya perawan kinyis-kinyis kamu usir. Kamu maunya yang seperti apa?" 

"Yang enggak seperti ketiga-tiganya. Lala yakin masih ada yang lebih tepat. Yang butuh istri memang Bapak, yang menjalani juga Bapak. Tapi siapapun itu nanti juga bakal jadi ibunya Lala. Tentunya harus pakai bibit, bebet, bobot. Bukan asal comot yang penting gelar duda wassalam. No, no, no. It's not my dream, Pak!" 

Dunia sudah terbalik memang, biasanya orangtua yang selektif dan overprotektif sama anaknya. Ini malah Bapak yang kugituin. Bapakku masih ganteng, kharismatik dan super baik. Beliau berhak mendapatkan pasangan terbaik dari yang terbaik. 

"Ya sudah, kalau itu not your dream, sekarang have a nice dream saja. Percuma debat sama kamu kalau lagi uring-uringan begini. Pasti bapak juga yang kalah. Benar-benar kurang lebih sama almarhum Ibukmu. Menyebalkan! Untung bapak sayang." 

Pernah lihat kobaran api yang disiram pakai  air? Seperti itu cara Bapak menenangkan aku. Mengalah, diam, lalu mengusap-usap pucuk kepalaku. Kadang sambil nyanyi lirih--tembang-tembang jadul yang kurang familiar di telingaku. Konyol tapi efektif bikin aku ngantuk berat dan lupa jika sesaat sebelumnya ngamuk-ngamuk gak jelas. 

____

"Bapak jangan terlalu lemah, dong. Laki-laki itu harus tegas." Urusan semalam belum kelar meskipun aku sudah berhasil dijinakkan. Pagi ini disambung lagi sembari sarapan. 

"Masalahnya yang Bapak hadapi ini perempuan. Harus hati-hati, penuh kelembutan supaya gak menyakiti perasaan." 

Iya juga, mungkin Bapak lebih memilih gelut sama preman daripada berterus terang menolak beberapa wanita yang menyukainya. 

"Tapi kalau Bapak lembek terus-menerus, pasti mereka menganggap bahwa Bapak memberikan harapan." 

Mau tegas gimana, dengar curhatan Bulik Ratmi yang kehilangan salah satu sendalnya saja Bapak langsung terenyuh. Lalu memberikan sepasang sendal jepit merk selow warna merah muda. Dari situlah semuanya bermula. Jika Bapak menganggap itu biasa, tetapi berbeda dengan Bulik yang mempersepsikan itu sebagai wujud perhatian. 

"Lalu bapak harus bagaimana?" 

"Bapak bikin status Wa aja, bilang kalau saat ini belum berencana untuk menikah lagi. Bagus, kan, ide Lala? Melumpuhkan lawan tanpa perlu berhadapan." 

"Ya, terserah kamu lah." 

"Aseeek. Bapak ganteng kalau manut." 

'Saya Abdul Somad, ketua RT 62 menyatakan bahwa saat ini belum berencana untuk menikah lagi. Tentang kehebohan status tempo hari saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Itu bukan saya tujukan untuk diri sendiri tetapi sebuah candaan untuk anak saya. Demikian status ini saya buat dengan sebenar-benarnya.' 

Aku senyum-senyum sendiri baca status sekaligus klarifikasi lucu langsung dari HP Bapak. Ikon mata di bawah langsung bertambah, artinya sudah banyak yang melihat. Baguslah! Mudah-mudahan cepat sampai dari mulut ke mulut. 

"Assalamualaikum!" 

Duh, siapa lagi itu yang bertamu pagi-pagi? Jangan bilang Bapak mau didemo wanita-wanita single sekampung. 

"Wa'alaikum salam," jawabku. 

Aku salah, ada wanita asing di depan pintu. Ia memperkenalkan diri sebagai Asih, perkiraanku ia berusia 40 tahunan. Katanya warga baru yang kemarin pindah ke salah satu rumah di sekitar sini. Mau setor kelengkapan identitas keluarga kayaknya. 

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Bapak setelah kupanggil ke belakang. 

"Saya mau laporan sama pak RT sebagai warga baru. Ini fotokopi KTP dan KK saya." Wanita yang sepertinya lemah lembut dan keibuan itu meletakkan berkas yang ia bawa di atas meja. 

Mataku langsung tertuju pada status yang tertera di KTP wanita bergamis marun itu. 

'Cerai mati.' 

Akhirnya aku nemu oase di tengah padang pasir untuk Bapak. 

Bersambung








Komentar

Login untuk melihat komentar!