Kemarin ada yang bilang, tinggal serumah bersama mereka itu kenyang visual tapi capek raga. Miya membenarkan pendapat itu. Bicara soal visual, Miya akui keempat lelaki itu memang benar-benar good looking.
Mari Miya kasih gambaran sedikit. Dimulai dari David. Si gondrong yang sepanjang hari berwajah kusut itu tipikal laki-laki yang digilai para pembaca W*ttpad. Sikapnya yang menyebalkan dan tampak cuek dengan wanita lain, namun bucin sama pacarnya. Dikaruniai wajah tampan yang terpahat sempurna, punya looks sedikit Arab, sedikit western, padahal keturunan Indonesia asli. Dan sedang kabur dari orang tua kaya.
Lalu Erlang yang begitu charming. Pemilik badan bagus yang ideal, senyum yang membuat sesak napas, dan gaya pakaian serta potongan rambut rapi, juga otak cemerlang di balik potongan rambut rapinya itu. Sikap yang ramah, tenang, dan membuat Miya merasa diperlakukan dengan santun, benar-benar idaman setiap calon mertua. Kariernya juga menjanjikan. Miya rasa, hanya tinggal menunggu waktu sampai Erlang keluar dari rumah ini dan pindah ke apartemen. Selain idaman para ibu-ibu, Miya pikir Erlang juga idaman wanita-wanita karier di kawasan SCBD.
Lalu Wibby yang 'cantik' bak oppa Korea. Gambaran cowok dambaan para remaja SMA. Terlebih senyum cerianya yang selalu dia bagi untuk siapa saja yang ditemui. Dengan mudah akan meluluhkan hati para remaja putri yang selera cowok idamannya sedang tinggi-tingginya.
Terakhir Isaac. Lelaki kocak, ice breaker yang pandai menghidupkan suasana. Bisa masak, paling rajin salat. Idaman kakak-kakak mahasiswi yang mulai berpikir realistis, dan sudah tobat dari mengidolakan pria bening sejenis Wibby. Lelaki impian kakak-kakak mahasiswi yang mulai merasa kalau pria humoris jadi tampak lebih menarik. Miya akui, sosok hitam manis itu mempunyai kadar kegantengan di atas orang-orang biasa.
Miya men-desah panjang. Matanya ke langit-langit kamar. Dia sedang berbaring di atas kasur setelah selesai makan malam. Syukurlah tugas hari ini selesai lebih cepat. Siang tadi dia juga punya waktu istirahat karena keadaan rumah sudah lebih tertata, berbeda dengan hari sebelumnya.
Miya masih meninggalkan beberapa cucian piring di bak cuci, tapi dia akan melakukannya setelah menyelonjorkan kakinya lebih dulu.
Beruntung gatal-gatal yang menyerang David, Erlang, dan Isaac sudah mereda. Bentuk mata, hidung, juga bibir mereka sudah normal. Hanya menyisakan beberapa titik kecil berwarna merah yang sesekali masih digaruk. Miya jeri membayangkan bulu-bulu yang menempel di mana-mana jadi besok dia akan mencuci ulang sekeranjang pakaian itu.
Luar biasa memang hidup barunya. Terutama karena dia sudah membuat dua kesalahan di dua hari kerjanya.
"Mama Miyaaa."
Miya tergeragap bangun ketika mendapati pintu kamarnya diketuk seseorang.
"Kenapa Mas?"
"Mau mik tutu totat."
"Apa?" teriak Miya tak paham.
"Mau mimik susu cokelat. Bikinin dong."
Huuaaahh. Rupanya masih ada bayi yang belum tidur dan butuh perhatian.
"Ya, Mas."
Padahal kalau dipikir-pikir, lebih hemat energi kalau Isaac berjalan ke dapur di bawah, nuang susu, dan mencet dispenser ketimbang naik-naik tangga hanya untuk mengganggunya.
Aaaarrrggghhh!!!
Miya berguling-guling kesal di atas kasurnya.
- Part Lima -
Bagian dalam rumah ini tidaklah luas. Terdiri dari ruang tamu yang diapit dua kamar di sisi kiri dan dua kamar di sisi kanan. Lurus ke belakang terdapat dinding dan dan pintu tanpa kayu, hanya terbuka begitu saja, menembus langsung ke dapur. Di sebelah dapur itu ada kamar mandi untuk mereka berempat dan ruang mencuci.
Miya melap tangan usai menyelesaikan mencuci piring. Di sofa, Isaac duduk sendiri sambil menonton Stand Up Comedy dari tayangan Youtube yang disetel di televisi. Susu cokelatnya tinggal setengah. Sayup-sayup terdengar orang menelepon dari kamar David. Sementara dua kamar lain terdengar sepi. Mungkin Wibby dan Erlang sedang tiduran sambil mainan Hp.
"Mas Isaac, besok tolong pindahin tempat jemurnya ya?"
Lelaki itu masih tertawa ketika menolehkan kepalanya ke arah Miya. Lalu mengacungkan jempolnya. "Siap, Miya."
Miya berjalan melewati sofa hendak keluar rumah saat suara Isaac terdengar lagi.
"Eh, lupa. Besok Abang mulai kerja, Miya. Sorenya mungkin, ya?"
"Oh iya, ya." Gara-gara itu, Miya jadi ingat sekotak celana tiga warna yang sudah dibeli tadi. Gara-gara kekacuan hari ini, Miya lupa belum menyerahkannya pada Isaac.
Miya kembali ke dapur dan mengambil kantung belanja yang sudah digantung. Dia lalu memberikannya pada Isaac.
"Ini buat Mas Isaac. Buat ganti. Biar nggak punya tiga lagi, tapi jadi punya genap."
Isaac melihat barang itu dengan mata berbinar-binar. "Wah. Keren. Kamu satu-satunya orang yang beliin Abang kancut. Makasih Miya."
Miya mengangguk. Senang melihat Isaac yang begitu gembira. "Jangan lupa dicuci dulu, Mas."
"Gampang itu, Miya." Isaac justru menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. "Duduk sini Miya, temenin Abang."
"Memangnya aku dapat insentif buat itu?" tanya Miya serius. Lebih ke arah kesal karena jam dinding menunjukkan sudah hampir pukul sembilan malam.
"Yeee si Sumi minta bonus." Isaac terkekeh. "Kita kan belum kenal banget, Miya. Cerita-cerita sikit lah."
Miya akhirnya duduk di sana. Ikut menyaksikan rekaman yang sejak tadi tak habis-habis membuat Isaac tergelak-gelak.
"Muka Abang udah ganteng lagi, kan? Malu tau, masa hari pertama kerja mukanya penuh polkadot."
"Udah, Mas ...." Miya menanggapi malas-malasan.
Isaac Rhauf tersenyum lalu berkata lirih. "Miya, kalo lagi nonton gini enaknya sambil makan Indomie."
Secepat kilat Miya menolehkan kepalanya lalu melempar tatapan kejam pada Isaac. Pantas dia merasa hawa-hawa tidak enak. Ternyata Isaac ada maunya.
"Bukannya habis makan malam? Mas Isaac masih lapar?" sindirnya tajam.
"Indomie semangkuk doang, Miya. Cuma buat anget-anget. Ngomong-ngomong Abang sukanya mi goreng tapi nyemek-nyemek gitu, Miya. Pake sawi, telur, sama cabe. Miya boleh juga kok kalo mau bikin."
Miya berdiri juga meski rasanya dongkol. Kenapa sih orang-orang ini nggak cukup ngasih tugas utama saja? Kenapa harus ada pekerjaan tambahan saat mata Miya sudah ngantuk berat.
"Nggak usah, Mas. Masih kenyang," ujarnya sambil menjatuhkan bantal sofa. Miya lantas berbalik lagi dan lagi menuju dapur.
"Makasih ya, Miya. Abang terharu loh ada yang masakin malem-malem."
Miya mulai mengambil sawi dan telor dari kulkas. Pakai apa lagi tadi? Sejujurnya kalau disuruh memilih, Miya lebih suka memasak untuk laki-laki yang cuma bisa makan. Masalahnya cowok-cowok kayak Isaac ini, yang sudah terbiasa masak, sering kali punya selera sendiri sesuai standar lidahnya. Harus ini lah, harus itu lah. Lebih suka ini lah. Jangan pakai itu lah.
Sepanjang memasak, dari ruang depan Isaac mem-pause tontonannya dan sibuk bercerita soal kuliahnya yang juga sedang libur. Isaac adalah mahasiswa jurusan film dan televisi. Skripsinya sudah selesai semester kemarin, tetapi tak sempat mengejar wisuda lantaran Isaac sempat kecelakaan. Akhirnya dia menambah semester hanya untuk ikut wisuda semester depan.
Karena sudah tidak ada kelas yang diikuti, Isaac pun mendaftar sebagai freelancer di sebuah chanel Youtube yang memproduksi dan menayangkan film-film pendek.
Harus diakui, menyenangkan juga mendengar cerita-cerita Isaac. Miya yang awalnya kesal jadi merasa terhibur. Bahkan ngantuknya mendadak ilang. Dan karena tak tahan mencium aroma mi instan, Miya pun masak sebungkus lagi untuk dirinya sendiri.
Tepat setelah Miya dan Isaac menikmati mi instannya masing-masing, entah ada angin apa tiba-tiba ketiga pintu kamar itu terbuka nyaris bersamaan.
"Ada bau Indomie. Aseeek." Wibby langsung ke dapur dan mengambil sendok. "Mau, dong."
"Curang ya kalian cuma bikin dua."
Mendengar suara Erlang, otomatis Miya berdiri seolah diperintah. Miya harus tahu diri pada orang yang menggajinya, kan?
"Eh, Miya, nikmati aja makanmu. Kalo mi-nya ngembang ntar jadi nggak enak." Erlang menahannya. "Saya bisa bikin sendiri."
"Gue sekalian, dong," perintah David pada Erlang.
Miya menyesap mi-nya dengan air mata hampir menetes.
"Kenapa lo?" tanya David yang menyaksikan ekspresi aneh di muka Miya.
"Terharu." Miya mengusap matanya dengan punggung tangan. "Di rumah ini ada orang sebaik Mas Erlang."
"Yeee. Drama lo." David justru tertawa sambil menjitak kepala Miya. Miya melongo. Baru kali ini dia menyaksikan David tertawa. "Maafin kami ya, Miya. Kami memang merepotkan. Kami juga nggak bisa menjanjikan kalo hidup bareng kami kamu bakal senang terus dan baik-baik aja."
"Mak-maksud Mas David aku nggak bakal baik-baik aja?" Miya nyaris tersedak mi-nya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata takut.
"Yeee otakmu!" hardik David masih dengan tawanya. Miya curiga pasti laki-laki itu sedang sangat bahagia. "Maksud gue, kayak yang lo alami tadi pagi. Tiba-tiba Vita datang dan marah-marah."
"Oh, iya santai aja, Mas. Asalkan nggak ada bagian dari badanku yang cuil aja, aku anggap semua konsekuensi dari pekerjaan." Miya menyeruput mi-nya dan mengacungkan jempol.
"Good girl." David tersenyum.
Dan kalimat itu.
Iya, Miya tahu, meski terdengar seperti pujian untuk seekor anjing, Miya paham kok maksud David.
Aduh. Miya terlalu terpana karena orang-orang ini mendadak baik.
Jangan-jangan ini efek salep gatal tadi?
"Kami pastikan nggak ada dari kami yang bakal jahatin lo."
Miya tersenyum dan mengangguk.
"Makasih, Mas."
Hatinya belum pernah sebahagia ini selama beberapa bulan terakhir.
- Bersambung -