D-E-W-I
"Jadi maksud Mas-Mas ini, nggak ada yang namanya Ibu Dewi? Adanya Mas David, Mas Erlang, Mas Wibby, sama Mas Isaac? Disingkat D-E-W-I?"

Keempat cowok di depan mengangguk dengan gaya masing-masing.

"Ja-jadi, selama tiga bulan ke depan saya harus tinggal serumah sama Mas-Mas ini?" Miya Gantari terkejut dengan kenyataan yang ada di depan mata.

Awalnya Miya mendaftar bekerja sebagai penjaga toko di toko kelontong Ibu Dewi. Di masa liburan kuliah, dia butuh uang untuk melanjutkan hidup di ibu kota. Tapi siapa sangka Ibu Dewi yang dimaksud hanyalah fiktif. Singkatan dari nama empat pemuda yang tinggal di sebuah rumah kontrakan dan butuh asisten rumah tangga.

"Jadi maksud Mas-Mas ini, saya gak jadi jaga toko kelontong?"

"Toko kelontongnya bahkan sudah bangkrut," ujar seorang cowok berambut sebahu yang tidak ada senyum-senyumnya sedikit pun.

Miya terkejut sampai mulutnya melongo. "Maksud Mas David?"

Miya hafal namanya karena keempat lelaki ini berdiri berjejer sesuai singkatan nama DEWI.

"Ya kan pekerjaan ada banyak. Bisa cuci-cuci baju kami, masak, bersih-bersih rumah. Tenang, gaji kamu utuh."

Miya masih kesulitan mencerna apa yang terjadi. Dia benar-benar terpukul.

"Gak bisa begitu. Kalian ini sedang mencoba menipu saya, ya kan?"

"Bukannya sudah?" lirih seorang cowok kalem bernama Wibby.

Miya melirik cowok itu tajam.

"Nggak. Saya nggak mau. Mas-Mas pikir saya ini gampang ditipu? Enak aja."

"Ya sudah kalo kamu keberatan." Kali ini Isaac memainkan alisnya naik turun. Dia lalu melambai-lambaikan selembar kertas bermeterai yang beberapa saat lalu Miya tandatangani.

Miya berusaha meraih kertas itu, tapi Isaac justru menggodanya dengan memasukkannya ke balik kausnya.

"Terserah Mas-Mas ini, deh! Laporin aja. Lagi pula saya juga kan korban penipuan. Di perjanjian tadi kan namanya ...."

Oops. Miya bahkan tidak ingat membaca apa isi perjanjiannya. Dia terlalu malas melakukan itu. Tadi Miya terlalu terpukau dengan wajah kalem dan ganteng Wibby yang menyambutnya dengan sangat baik. Pemuda yang tampak begitu sopan itu bahkan repot-repot menarik masuk koper Miya yang besar. Tak disangka ternyata Wibby tak lebih dari srigala licik yang jago memerdayai mangsanya.

Wibby tersenyum manis, masih dengan gaya kalemnya yang memuakkan. "Maaf ya, Miya. Ini semua terjadi karena kami butuh pembantu. Rumah ini benar-benar nggak terurus. Kami butuh semacam seorang ibu seperti Miya ini."

Miya benar-benar jengkel dibuatnya. Dia ingin berteriak sekencang mungkin.

"Tenang aja, Miya bisa tinggal di kamar atas. Kami nggak bakal ada yang bisa menerobos masuk. Kan pintunya ada di luar, soalnya dulu kamar atas itu buat kosan. Dan yang penting kami semua punya pacar. Yaaah, meski baik dan ganteng, kami ini barisan cowok-cowok takut pacar. Pacar kami galak dan posesif." Isaac membisikkan kalimat terakhir di telinga Miya.

"Ya kalo kamu nggak mau nggak apa." David dengan tampang semenyebalkan tadi, berusaha mengintimidasi dengan merebut kertas kontrak dari tangan Isaac.

Rasanya seperti di ujung jurang. Mau menolak, Miya telanjur keluar kosan. Dia datang ke rumah ini dengan seluruh barang yang ia bawa. Memang Miya mencari pekerjaan yang bisa ditinggali. Ini semata-mata demi menghemat biaya. Daripada buat bayar uang kos, lebih baik disimpan. Siapa yang menyangka rencana yang sudah ia pertimbangkan masak-masak berakhir dalam sekali jentikan.

Ditipu cowok-cowok berengsek!

Atau jangan-jangan ini akibat menolak kehendak orang tua? Ya, ayah dan ibu Miya di Jawa Tengah memintanya pulang untuk dijodohkan dengan anak teman ayahnya. Miya yang sama sekali tidak menyukai jodoh-jodohan, menolak pulang. Akibatnya uang bulanan distop. Orang tuanya meyakini saat kehabisan uang, anaknya bakal menyerah. Tapi Miya tidak akan menyerah semudah ini. Apalagi untuk dijodohkan.

Bagi Miya, lebih baik menikah dengan pilihannya sendiri. Dijodohkan membuatnya ilfeel. Bisa-bisa kalau ketemu dengan si calon di jalan dia bisa jatuh hati, tapi gara-gara dijodohkan malah gak jadi jatuh hati. Entah. Miya benar-benar gak suka urusan jodoh harus dipilihkan. Jodoh adalah hal personal. Ini soal kenyamanan. Soal mencari teman untuk diajak hidup bersama sepanjang sisa umurnya. Dia akan menikahi orang yang mencintainya dan dia pun dicintai olehnya. Dia akan menikah dengan orang yang dia merasa klik dan pas dengan lelaki itu.

"Jadi, gimana?" Kali ini David yang bersuara.

Miya mengamati keempatnya satu per satu. David, si gondrong yang tidak ramah. Erlang, lelaki yang sejak tadi anteng, tidak bereaksi, tapi wajahnya tampak dewasa dan berwibawa. Wibby, yang sorot matanya lembut. Dan terakhir Isaac yang masih cengar-cengir seperti seorang bocah.

Amankah Miya tinggal di sini? Di sebuah ruangan di kamar atas yang pintunya langsung mengarah ke halaman?

Tapi kalau tidak di sini ke mana lagi? Miya tidak punya cukup uang untuk membayar kosan baru. Bahkan mencari ke sana kemari dengan bawaan ini.

Miya mendesah.

"Baiklah."

Dan keempat lelaki itu bersorak penuh kemenangan.

"Oke Miya, gue harus buru-buru ke kampus, tolong rapiin kamar gue."

Belum apa-apa, Isaac langsung mengangkat helmnya dan melesat ke luar ruang tamu.

Disusul ketiga yang lain yang juga memberikan tugas-tugas yang sangat menyebalkan.

Huaaaah. Miya rasanya mau mati.

- Bersambung -