"Apa lagi, apa lagi?"
Miya berlari tergopoh-gopoh ketika mendengar teriakan David. Laki-laki ini sungguh orang yang berada di daftar pertama yang ingin Miya lenyapkan dari muka bumi. Bayangkan, sejak Miya tiba di kontrakan, ketiga lelaki lainnya pergi dengan agenda masing-masing. Tapi si David bukan Beckam ini masih di rumah. Bertingkah seolah dia raja, seenaknya menyuruh-nyuruh Miya.
Mulai dari menyuruh Miya beli makanan di warteg depan, ngecilin AC, bikinin kopi, dan sekarang, entah tugas apa lagi.
"Ada apa lagi, Mas David?" Miya menahan senyum jengkel. Aslinya dia sudah pingin membunuh David dengan senyuman itu.
"Tolong ambilin kucir rambut."
"Disimpen di mana, Mas?"
"Gak tau. Cari aja."
Miya menatap bengis lelaki yang sedang duduk di sofa dan memangku laptop, tampak sibuk mengerjakan sesuatu.
Gadis itu mengambil napas dalam-dalam. Dia saja sering kesulitan mencari ikat rambutnya sendiri. Seolah mereka punya kaki dan hobi kelayapan.
Dia menyingkap bantal-bantal di atas sofa, menyingkirkan kertas-kertas dan cangkir-cangkir kotor di coffee table bundar di samping sofa, tapi benda itu tidak ada.
"Jangan lama-lama dong, gerah nih."
Errrgghhh. Miya hanya menggeram lirih. Tanpa pikir panjang dia melepas ikatan di rambut panjangnya, lalu menyodorkan ke hadapan David.
"Pake ini, Mas."
David diam saja. Tidak menoleh ataupun menyahut. Dia fokus mengerjakan tugas di laptop. Dia sedang menghitung-hitung estimasi biaya pembuatan suatu gedung rumah sakit. Davidio Dharmawan nama cowok itu. Mahasiswa arsitektur. Miya menemukan nama lengkap cowok itu tertempel di maket yang jadi tugas kuliahnya, ada di dalam kamar.
"Kucirin dong."
Sekalinya bersuara, Miya lagi-lagi bete dibuatnya. Memangnya dia siapa? Bocah TK mau ke sekolah? Seenaknya minta dikucirin.
David berdeham, membuat Miya segera menaruh kemoceng lalu dengan ragu meraih rambut gondrong David dalam satu kepalan. Tanpa disangka rambut itu terasa halus. Saat Miya mulai mengikatkan talinya, samar tercium wangi sampo.
"Kenapa?"
"Hah?" Miya tergeragap lalu secepatnya menyelesaikan ikatan rambut David.
"Nggak apa-apa, Mas."
Miya merasa aroma yang tak asing. Wangi yang menyenangkan. Mengingatkannya pada sesuatu.
- Part Dua -
Langit sudah sepenuhnya gelap. Hari pertama berlalu dengan badan pegal-pegal. Biasanya Miya menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran, scrolling medsos, nonton Youtube sambil ngemil Tricks Snack dan minum soda dingin. Tetapi hari ini hidupnya terjungkir 180 derajat.
Dia menyapu dan mengepel rumah. Merapikan keempat kamar lelaki itu. Mencuci beberapa potong pakaian dan berjenggit jijik ketika menemukan sepotong celana dalam dengan karet yang sudah longgar. Spontan Miya berteriak sembari mengangkatnya dengan gagang sapu.
"Punya siapa ini?!"
Itu terjadi sore tadi ketika keempat lelaki dalam formasi lengkap tengah duduk-duduk di ruang tamu sepulang dari kegiatan masing-masing. Mereka terpusat pada Miya, setelah melihat celana dalam lusuh warna abu-abu, ketiganya lantas menunjuk Isaac.
Pria yang ditunjuk cuma mesam-mesem salah tingkah. "Punya Abang, Miya."
Isaac menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya sambil nyengir.
"Aku buang ya, Mas." Ancam Miya masih dengan gagang sapu teracung. Karena bukannya sigap mengamankannya, Isaac justru sibuk malu-malu. Ekspresi minta digampar sekarang juga!
"Jangan atuh, Miya. Abang cuma punya tiga potong. Warna abu, biru, sama merah marun."
"Ya terus?" Miya menyorongkannya tepat ke muka Isaac. Cepat diambilnya benda itu.
Miya men-desah tak habis pikir lalu melanjutkan membilas baju-baju itu. Miya tak peduli pada noda-noda pada baju-baju itu. Yang penting wangi aja. Syukur-syukur ada detergen yang tak hanya mampu menghilangkan noda, tetapi juga melenyapkan semua pakaian kotor di rumah itu. Biar tak ada lagi yang perlu Miya cuci.
Kini, rumah telah sepi. Erlang dan Wibby keluar rumah selepas Magrib. Sepertinya pergi ngapel pacarnya mengingat ini malam Minggu. Sedangkan Isaac sejak masuk kamar belum keluar-keluar lagi. Entah pingsan atau meninggal, Miya tak terlalu peduli. Pasalnya Isaac adalah orang paling ribut di antara keempat lainnya.
Miya beranjak dari kasur dan mengintip dari jendela lantai atas ketika terdengar klakson di depan gerbang. Beberapa saat kemudian ponselnya berdering. Muncul nama David di sana.
"Tolong bukain gerbang, dong. Ada pacar gue di luar."
Miya men-desah dengan kedua lengan terkulai. Tidak bisakah salah satu dari keempat pria itu membiarkannya melepas lelah barang sejenak? Baru mau menjawab 'ya', telepon sudah telanjur dimatikan.
Dengan langkah berat, Miya membuka pintu dan menuruni tangga. Didorongnya gerbang besi yang berat sekuat tenaga hingga Yaris abu-abu masuk ke halaman kontrakan.
Seorang gadis keluar. Dia mengenakan blus kuning gading dengan ruffle di dada. Jeans ketat membebat kaki jenjangnya, dan sepatu putih berhak tinggi mengetuk lantai.
Miya mengangguk dan tersenyum.
"Kamu pembantu baru, ya?" tanya gadis itu. "Bisa tolong panggilin Davidnya?"
Miya serasa dihantam palu demi mendengar pertanyaan perempuan asing ini. Yah, meski kenyataannya memang kini dia merupakan pembantu bagi penghuni kontrakan ini, tetap saja, mendengarnya dari mulut orang lain rasanya perih.
Miya datang jauh-jauh dari sebuah kota di Jawa Tengah untuk kuliah di universitas negeri. Bukan untuk menjadi pelayan sekelompok orang. Keluarganya juga terhitung mampu. Entah apa yang akan dilakukan ayah dan ibunya andai tahu Miya bekerja sekeras ini. Mungkin dia akan dinikahkan detik itu juga, entah dengan makhluk asing dari mana.
"Masih di dalam, Kak."
"Oh, oke." Gadis itu duduk di kursi panjang di depan kontrakan. "Baru lulus sekolah, ya?"
Miya yang masih berdiri mematung hanya nyengir bingung. Senang karena dianggap masih semuda itu. Tapi kesal juga karena Miya kan sudah semester lima!
"Enggak minat jadi TKW gitu?"
Entah kenapa pertanyaan-pertanyaan dari mulut gadis ini sama menyebalkannya dari mulut David. Benar ya, orang akan dikumpulkan dengan yang sefrekuensi. Pantas perempuan ini punya pacar laki-laki menyebalkan seperti David.
"Belum, Kak."
"Kenapa? Kan banyak gajinya, daripada di sini. Nggak risih gitu tidur serumah sama empat laki-laki?"
Belum juga Miya bermalam, sudah ada suara sumbang mampir telinganya.
"Kamar saya di atas, Kak. Terpisah dari kamar Mas-Mas."
"Mas-Mas?" Suaranya meninggi. Dia juga agak tertawa ketika mengatakannya. "Mas galon?"
Hiiih. Memangnya ada apa dengan Mas Galon? Mereka sangat berjasa bagi anak kos seperti Miya yang tinggal WA dan galon pun datang.
"Eh, siapa tadi nama kamu?"
"Miya, Kak."
"Sumiyati, bukan?"
Miya merengut. Gadis itu cekikikan lalu mencubit pipi Miya. Tiba-tiba pintu terbuka dan David yang rambutnya sudah dikucir rapi dengan kaus pas badan dan celana santai panjang berjalan ke teras.
"Honey, kebiasaan deh jailin anak orang," tegur David.
"Gemes, Hon."
Miya kesal melihat tawa merekah dari bibir perempuan cantik yang dipoles liptint pink itu.
"Miya, tolong beliin sate maranggi di depan ya." Perempuan itu mengeluarkan selembar uang merah. "Dua bungkus."
Dengan muka kusut, Miya menerimanya. Bayangan untuk mandi air hangat lenyap sudah. Kini dia harus berjalan kaki untuk membelikan makanan. Dia melangkahkan kaki gontai.
Belum sampai jalan besar, penjual yang dimaksud kelihatan. Miya menghentikannya lalu memesan dua bungkus sesuai titah Mbak Victoria Beckam.
Miya tiba di depan gerbang ketika gadis itu sedang tertawa-tawa bersama David. Ya, Miya tahu David menyebalkan. Tapi ternyata dia tampak lebih menyebalkan ketika sedang bucin dengan pacarnya itu. Rasanya Miya ingin menujes-nujesnya dengan tusuk sate.
Eh? Sate... Kenapa rasanya tak asing dengan kata sate?
"Eh Miya udah balik? Cepet amat. Biasanya antre."
"Enggak kok, Kak. Bapaknya pas baru mau keliling ke gang sebelah."
David dan pacarnya berpandangan curiga.
"Keluar gimana? Abang satenya kan gak jualan keliling."
Miya berkedip-kedip bingung. "Sate? Memangnya Kakak pesan sate?"
"IYA, MIYA. Aku pesan sate maranggi!"
"Eh?" Miya menggaruk pipinya panik. "Sate maranggi ya? Bukan kue rangi?"
"SUMIYATI!!!"
Perempuan itu berteriak murka.
- Bersambung -