Aku yang frustrasi, hampir membuka pintu utama untuk meninggalkan dua manusia laknat yang terdengar saling menyalahkan.
Bukan main!
Belum sampai sepuluh menit kemesraan mereka, kini berganti dengan sebuah percekcokan setelah tertangkap basah olehku.
"Permisi!" Aku yang berubah pikiran, membuka lagi pintu kamar dan tanpa segan mengarahkan kamera ponselku pada mereka yang masih seperti sebelumnya. Menutup tubuh apa adanya. Elia masih dengan selimut, dan Mas Tyo hanya mengenakan handuk sebatas pinggang.
"Nana! Berani kau ambil gambar kami!" Mas Tyo tampak kaget saat lampu flash pada ponselku menyala ketika menjepretkan kamera.
Sebelum Mas Tyo sempat mengejar dan kemungkinan bakal merampas ponselku, aku gerak cepat untuk mengunci pintu kamar dari luar.
"Si*l! Mana kuncinya tertinggal di mobil lagi." Terdengar Mas Tyo menendang pintu dan mengumpat kesal.
Kunyalakan tombol perekam pada ponselku saat berniat menguping pembicaraan mereka. Ya, walaupun sakit, aku harus bertahan sementara di sini untuk mencari barang bukti. Barang bukti untuk membuat mereka terkena mental setelah ini. Tak mudah bagiku berdamai dengan pengkhianat, aku harus memberi mereka efek jera.
Tunggu saja!
"Aduh, bagaimana ini?" Adik perempuan yang selama ini selalu terlihat lugu, terdengar mendesah singkat setelah mungkin menyadari kalau dirinya terkunci di dalam kamar bersama iparnya.
Mungkinkah dia takut aku memanggil para warga untuk menggerebek mereka?
Apa mempermalukan mereka dengan memanggil warga beramai-ramai itu opsi untuk menjatuhkan mental suami dan adikku? Mungkin, jawabannya iya. Namun, sayang, aku tak sejahat itu.
Aku masih harus memikirkan hati-hati yang lain sebelum melakukan tindakan. Bukankah segala sesuatu yang dilakukan secara gegabah tak begitu bagus hasilnya?
"Mas, gimana ini?!" Lagi, aku yang berdiri di balik pintu kamar, bisa mendengar suara adikku secara jelas. Ketika dirinya merutuk kesal atas nasib apes yang menimpa dirinya hari ini.
Aku tersenyum miris, mengutuk kebodohan karena selama ini terpedaya oleh tingkah sok lugu gadis 19 tahun tersebut.
"Sudah aku bilang, kan, Mas. Di sini, tuh nggak aman. Kamunya malah nekat minta aku datang!"
"Mana aku tahu kalau Nana bakal pulang secepat ini." Suara sahutan Mas Tyo membuat telinga dan hati panas secara bersamaan.
"Kalau Mbak Nana melaporkan aku pada Emak-Bapak di kampung bagaimana? Mana dia barusan ngambil foto kita lagi."
Terdengar dari luar, Mas Tyo menghembuskan napas dengan kasar.
"Memang dikira, ayah ibu nggak akan marah kalau sampai tahu hal ini? Kamu tahu sendiri, kan, bagaimana kedua orang tuaku membanggakan mbakmu?"
Lelaki yang usianya hanya berjarak satu tahun di atasku, terdengar tak mau kalah menumpahkan keluh kesah.
Pertanyaannya sekarang, sejak kapan mereka menjalin hubungan terlarang ini?
Kusudahi aktivitas merekam yang begitu memuakkan ini.
Kukeluarkan motor matic dari garasi setelahnya.
Meski dalam pikiran kacau, aku berusaha tetap tenang saat mengendarai motor menuju kafe langgananku dan Sindy selama ini.
"Misi, Kak selamat siang. Saya mau pesen green tea latte atas nama Nana dengan pembayaran tunai."
Barista kafe mengangguk sesaat setelah aku menuntaskan kalimat.
"Baik, Kak ditunggu, ya."
Aku pun berjalan menuju sudut ruangan kafe. Tempat sepi yang rasanya cocok untuk menjadi tempatku melepas lelah dari segala hiruk pikuk.
Setelah pesanan datang, kukirimkan pesan pada Sindy.
[Sin, pulang kerja ke kafe biasa, ya.]
[Kamu lagi ngopi, Na? Setahuku orang hamil nggak baik, loh ngopi.] Tak menunggu waktu lama, pesanku mendapatkan balasan.
[Tenang, yang aku pesan bukan kopi, kok.]
[Oke ntar aku ke sana, ya, kalau kerajaan aku sudah beres.]
[Iya, sip.] Dengan hati yang masih terasa perih, kuletakkan ponsel sebelum menyesap green tea latte pesananku tadi.
"Mbak, aku belum bayar SPP."
"Mbak, aku ranking tiga di kelas, katanya Mbak bakal ngasih hadiah kalau aku masuk sepuluh besar. Beliin aku sepatu baru, dong."
"Mbak, aku mau ngambil jurusan ilmu komunikasi."
"Mbak, aku lolos SNMPTN."
Saat rasa sesak itu datang, bahkan minuman yang aku sesap saja rasanya tersangkut di tenggorokan.
Perih.
Kenapa kau bisa begitu tega, Elia?
***
"Hei! Ngelamun aja. Waras bosku?"
Aku terkesiap ketika Sindy menepuk pundakku dari belakang.
"Nana … Nana, tahu bunting bukannya istirahat di rumah, malah nongki-nongki di kafe."
Rumah? Kau tak tahu saja betapa menjijikkannya pemandangan di rumahku tadi, Sindy.
"Hei. Melamun lagi. Are you oke?"
Akhirnya dengan isak tangis dan air mata yang tak dapat kubendung, aku menyampaikan kegundahan hati setelah dikhianati adik dan suamiku sendiri.
"Adik dan suami tak tahu diri!" Sindy terlihat berapi-api pasca mendengarkan semua keluh kesah yang kusampaikan.
"Terus, kamu bakal mengambil langkah apa setelah ini?"
"Cerai." Aku menjawab tegas meski air mata di pipi belum kering.
"Lalu, bayi dalam kandunganmu?"
"Memangnya kamu pikir aku nggak bakal sanggup ngasih dia makan? Kamu saja sanggup kerja tiga tahun bisa kebeli mobil." Aku tersenyum miris. Menertawakan nasib malang yang menimpa diriku.
"Iya, sih, Na."
Aku dan Sindy saling diam untuk beberapa saat sampai akhirnya Sindy memecah kebisuan dengan gagasannya.
"Terus rencana kamu selanjutnya pada adik dan suami laknatmu apa?"
"Apa? Ya, cerai, lah."
"Kamu nggak pingin gitu, ngasih tahu orang tua Mas Tyo tentang perselingkuhan anak lelakinya sekarang? Atau … melaporkan adik dan suamimu ke polisi mungkin?"
Wait. Melaporkan ke polisi? Apa itu opsi yang bagus untuk memberi efek jera pada dua manusia laknat itu?
***
Mohon subscribe, ya. Tinggalkan love dan komentar juga 😍