"Wah … ada kabar bahagia apa, nih, Mbak?" Dari nada bicaranya, jelas sekali Danang penasaran tentang apa yang ingin aku sampaikan.
Tak langsung menjawab rasa penasaran Danang, aku memilih untuk diam beberapa saat. Membuat suamiku terlihat bernapas dengan tidak tenang. Jelas sekali dia kepo dengan apa yang ditanyakan adiknya dan apa yang akan aku ucapkan selanjutnya.
"Kabar bahagia? Eum … ada, deh, Nang. Yang jelas, ini bakal menjadi surprise terakbar tahun ini." Aku berucap dengan semangat, tapi jelas wajah suamiku menunjukkan ekspresi sebaliknya.
"Wah … seriusan, Mbak? Apa itu? Mbak Nana ini, bikin penasaran aja. Apa, Mbak naik jabatan?" tebak Danang sok tahu. Memantik tawa kecil di bibirku, dan senyum pahit Mas Tyo.
"Naik jabatan? No. Kabar ini bakal lebih menarik dari itu, Danang …." Aku melirik ke arah Mas Tyo dengan tatapan yang mungkin terlihat seperti pemeran antagonis di mata suamiku.
Tak berani berbuat banyak, Mas Tyo menjambak rambut dengan kasar. Mungkin, dia berpikir seribu kali sebelum bertindak. Karena mengingat aku memiliki bukti perselingkuhan yang walaupun tak ekstrim, tapi cukup meyakinkan.
"Assalamualaikum, Nduk. Gimana kabarnya, sehat?" Tak lama kemudian, terdengar ibu mertua menyapa dari seberang sana.
"Waalaikumussalam. Alhamdulillah, Bu. Sehat." Aku menjawab pertanyaan tanpa bermaksud membahas langsung ke inti permasalahan.
"Mas Tyo gimana, sehat?" tanya ibu mertua setelahnya.
"Mas Tyo …."
Aku sengaja menahan ucapan. Ingin melihat bagaimana suamiku bereaksi jika aku mungkin saja membongkar kebusukannya pada sang ibu sekarang.
Tanpa aba-aba, Mas Tyo merebut ponselku dengan paksa dan memutuskan panggilan yang tengah berlangsung bersama ibunya secara sepihak.
"Tidak sopan! Tidak tahu diri!" Aku memaki dengan menunjukkan wajah marah pada suami yang dengan sesuka hati memutus panggilan.
"Jangan berani-berani kamu mengatakan pada ibu kalau--." Kata-kata Mas Tyo terdengar menggantung.
"Kalau apa?!" balasku ketus dengan mata mendelik. Maafkan ibumu, Nak, kalau menyambut hadirnya dirimu dengan cara seperti ini. Ayahmu memang harus mendapat pelajaran. Aku membatin, berbicara pada janin dalam kandungan yang sayangnya harus hadir di tengah prahara seperti ini.
Mas Tyo terdiam. Tampak salah tingkah dengan apa yang akan diucapkan.
"Kalau kamu telah mengkhianati istri pilihannya dengan berselingkuh dengan iparmu sendiri, begitu maksudmu?" tanyaku masih berapi-api. "Ingat, ya, Mas. Foto dan rekaman percakapanmu dengan Elia siang tadi sudah aku backup di banyak email. Jadi, jangan coba-coba melawan kalau tak mau semua dalam bahaya!"
Lagi-lagi Mas Tyo terdiam dan serba salah.
"Tolong, Nana, kamu pikirkan juga kesehatan ibu sebelum bertindak. Ibu sudah sering sakit-sakitan. Jadi tolong, jangan kamu tambahi penderitaannya." Mas Tyo memelas dengan wajah yang terlihat memuakkan. Entahlah, setelah melihat kelakuannya siang tadi, aku seperti melihat kotoran saat memandang wajahnya. Sehingga untuk menatapnya saja aku muak.
"Siapa yang menambahi penderitaan ibu
sebenarnya? Aku, atau kamu?!" Tak memberi kesempatan untuk Mas Tyo berargumen, aku menunjuk dada suamiku dengan wajah culas.
Mas Tyo masih tampak syok. Mungkin dia tak pernah menyangka kalau istri yang selama ini kalem dan dianggapnya sebelah mata, bisa juga bertindak semenyebalkan ini.
"Tidak. Aku harus memberitahu Ayah dan Ibu sekarang, biar mereka tahu bagaimana aslinya anak sulung mereka!" Aku kembali merampas ponsel di tangan Mas Tyo.
"Nana, tolong turunkan sedikit egomu."
"Egoku kamu bilang? Apa aku tidak salah dengar?!"
"Oke, Nana. Oke. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta. Tapi tolong, jangan memberitahukan ibu tentang apa yang telah kau ketahui. Aku janji akan menjadi suami yang baik setelah ini."
"Cih! Suami yang baik? Memangnya dikira aku mau, terus menjadi istrimu? AKU ORA SUDI!" tegasku dengan suara lantang.
Mas Tyo tampak lemas dengan tampang yang terlihat pucat.
Wait. Apa dia bilang tadi? Dia rela melakukan apa pun yang aku minta? Bukankah itu ide yang bagus?
Bukankah saat ini waktu yang tepat untuk memberinya pelajaran?
"Oke. Aku mau berdamai dan tutup mulut dengan syarat …." Lagi-lagi aku menahan ucapan sebelum berkompromi.
"Apa syaratnya?" tanya Mas Tyo antusias.
"Kamu harus bersedia menandatangani perjanjian yang kubuat."
"Oke, tidak masalah."
Wow amazing! Sebegitu cemaskah dia? Sampai begitu cepat mengucapkan kata setuju?
Aku pun mengambil kertas HVS serta materai 6000, lantas menuliskan poin demi poin pada kertas yang bakal menjadi sebuah kertas bersejarah untuk seorang Tyo.
Benar kata orang, kadang rasa cemas tak menjadikan orang cerdas berpikir jernih sebelum mengambil keputusan. Terbukti, tanpa membaca dengan seksama perjanjian yang kubuat, Mas Tyo menandatangani berkas yang kubuat tanpa pikir panjang.
Bagus!
Kadang, kita memang perlu menjadi licik untuk melawan sebuah kezaliman yang merajalela.
"Sini kartu debitmu!" Sambil memegang surat perjanjian yang sudah ditandatangani, aku berucap penuh percaya diri ketika meminta kartu debit suamiku.
"Apa?!" Mas Tyo terbengong.
"Apa kau tak membaca semua secara baik-baik?" tanyaku dengan gigi bergemeletuk.
"Baca ini!" Aku menunjuk poin di mana kartu debit milik Mas Tyo harus diserahkan padaku jika ingin rahasia suamiku aman. Seperti mafia dan tukang palak memang, tapi biarlah. Tak apa sekali-sekali aku menjadi jahat untuk memberikan efek jera pada manusia laknat ini.
Mas Tyo lantas mengambil kartu debit yang disimpan di dompetnya, ia kemudian menyerahkan kartu debitnya dengan amat terpaksa.
"Pin?"
"260203," jawabnya yang membuat otakku serasa berasap saat ini juga. Bagaimana tidak, bukankah itu tanggal lahir Elia?
Sabar, Nana. Sabar ….
Aku mencoba menetralisir kecewa dan sakit hati yang datang bersamaan dengan pura-pura menunjukkan tampang datar.
"Dan satu lagi, kunci mobil?" Aku menengadahkan tangan kanan di hadapannya.
"Hah?" Lagi-lagi Mas Tyo terpelongo.
"Apa kau mendadak buta huruf, Prasetyo? Coba baca lagi baik-baik surat perjanjian yang kau tandatangani tadi!"
Kunci mobil Toyota Fortuner yang selama ini menjadi kendaraan Mas Tyo selama berkerja sebagai manajer gudang di sebuah perusahaan bonafit, berpindah tangan padaku.
"Mulai besok kamu bisa memakai Honda Beat saat ke kantor." Aku berucap pelan tapi tegas.
"Apa? Jangan mengada-ada, kau, Nana! Kau tahu, kan apa posisiku di sana?"
"Ya tahu. Nggak apa-apa, dong, Mas. Biar saja orang menganggapmu sebagai manajer gudang yang sederhana dan rendah hati. Bukankah itu lebih uwuw?" ejekku seraya menahan tawa. Puas sekali aku mengerjainya malam ini.
"Si*l*n!"
"Bagaimana, Tyo? Siapa yang menabur angin, dia lah yang akan menuai badai, bukan?"
***
Jangan lupa subscribe, dan tinggalkan komen n love, ya. 🥰