I Don't Care
Kalaupun Elia sadar yang berbalas chat dengannya bukan Mas Tyo, tapi aku, aku tak peduli. Bodo amat!

Kusudahi chat tidak penting dengan adikku yang pandai bersandiwara itu. Muak rasanya terlibat obrolan lebih lama dengannya. Meski cuma via pesan teks, tapi tetap saja membuatku geram. Mengingatnya yang tega menusukku dari belakang, membuat napasku jadi tak lancar.

Astaghfirullah.

Aku beristighfar. Mencoba menenangkan diri ketika mengingat ada calon manusia baru di rahimku. Bukankah sudah seharusnya dia aku perhatikan perkembangannya? Bukan malah memikirkan ayah dan tantenya yang tak bermoral?

Sudahi, Nana! Sudahi memikirkan mereka yang tak pantas mendapat perhatianmu. Janin berusia enam minggu dalam kandunganmu ini lebih penting! Aku terus mencoba mengingatkan diri.

Ya, aku harus selalu berpikir positif sekarang.

Sebelum merebahkan diri, aku mengganti seprai dan semua sarung bantal, berharap aku bisa tidur tenang malam ini. Namun, kenyataanya tidak. Bayang menjijikkan itu tetap saja datang.

Baru hendak memejamkan mata, aku dibuat tersentak saat Mas Tyo tiba-tiba datang mendekat dan berbaring di sampingku. Di ranjang ini. Tempat yang sama dengan tempat Mas Tyo dan Elia memadu kasih.

"Ngapain kamu tidur di sini?" bentakku dengan nada kesal.

Mas Tyo mengerutkan dahi kala menatapku. Seperti heran denganku yang sangat-sangat tak suka dia mendekat. Ya ampun, apa dia tak juga sadar diri, kalau kesalahannya sudah terlampau fatal?

"Kamu masih istriku, Na," ucapnya lirih, tapi tetap saja tak membuatku nyaman. Kuhempaskan tangannya yang mengusap lembut lenganku.

"Terus, kalau aku masih istrimu memangnya kenapa?!" Aku kembali membalas ketus ucapannya.

"Kenapa? Masa iya kamu melarang aku tidur bersebelahan denganmu?" tanyanya seperti tak terima. Benar-benar tak tahu diri!

Selama ini saja dia seperti sengaja selalu pulang lambat untuk menghindariku. Lantas, kenapa sekarang dia jadi begini?

"Dasar nggak tahu malu!" Aku mencebik dengan perasaan kesal, lantas bangkit menghindari suami yang sikapnya terlihat sedikit aneh malam ini.

Dengan membawa dua ponsel, kartu debit, kunci mobil dan surat perjanjian, aku melangkahkan kaki untuk keluar kamar. Berniat pindah ke kamar sebelah yang selama ini hampir tak pernah ditiduri.

"Na."

Aku menoleh saat Mas Tyo memanggilku. Tampak olehku, lelaki yang telah tega menjadikan iparnya sebagai selingkuhan, tersenyum ketika aku menatapnya.

"Ternyata … kamu cantik."

Aku mencebik lagi.

Omong kosong macam apa ini? Apa dia pikir, dengan begitu aku akan memaafkan kesalahannya dan membatalkan surat perjanjian itu? No way!

"Nggak mempan! Aku nggak tertarik dengan pujianmu!" Aku membanting pintu kamar yang telah rusak engselnya setelah Mas Tyo merusaknya sore tadi. 

Saat menoleh ke belakang, bukannya marah, terlihat Mas Tyo malah tersenyum lebar menyambut ucapanku.

Aneh. Ada masalah apa dia sebenarnya? Kenapa sikapnya jadi aneh begini?

***

"Na? Bajuku belum kamu setrika?"

Pagi harinya, Mas Tyo tampak kesal saat ia yang hendak pergi bekerja menyadari bajunya masih kusut.

"Belum, malas!"

"Ya ampun, Na. Hape, mobil, ATM punyaku sudah kamu sita, kenapa cuma menyetrika bajuku saja nggak mau?" protes Mas Tyo yang kutangggapi dengan amat santai.

"Ya … besok aku setrika. Maaf, sekarang aku buru-buru." Aku yang telah siap dengan seragam kerjaku, berniat meninggalkan dia yang masih uring-uringan menahan kesal karena baju-bajunya masih kusut.

Belum sempat kulangkahkan kakiku keluar rumah, tiba-tiba rasa mual datang. Membuat perutku rasa diaduk-aduk. 

"Kenapa, Na? Kamu sakit?" Mas Tyo yang mungkin baru akan menyetrika bajunya, tampak cemas melihatku yang wajahnya mungkin saja terlihat pucat saat ini.

"Nggak usah sok perhatian! Setrika saja bajumu sendiri!" Aku menghempaskan tangan Mas Tyo yang menyentuh lenganku ketika aku berbalik.

Aku pun berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan apa yang mengganjal di tenggorokan.

"Na, kamu nggak apa-apa? Apa perlu aku mengantarmu ke dokter?" Mas Tyo yang masih menunjukkan raut wajah cemas, menyambutku dengan tawaran manis yang sayangnya tak membuat hatiku luluh.

"Nggak usah repot-repot! Aku bisa ke dokter sendiri nanti." Aku memutuskan untuk cuti emergency ketika untuk berdiri saja rasanya berat.

Tanpa pikir panjang, aku pun menelepon Pak Damar, meminta izin cuti. Tak seperti biasanya, bosku yang terkanal jutek lagi galak itu memberi izin tanpa banyak bertanya.

Syukurlah.

"Udah, sih. Kalau mau kerja, ya tinggal kerja aja," ucapku sedikit galak pada Mas Tyo yang tampak menatapku prihatin.

Suamiku tampak ragu ketika hendak meninggalkan rumah. Dia yang telah berpakaian rapi dengan baju yang telah dia setrika sendiri, tampak sedikit kaku ketika hendak mengeluarkan motor dari garasi.

"Aku kerja dulu, ya, Na." Mas Tyo mengangsurkan tangan setelah memanasi motornya.

"Bukan mau minta kunci mobil, kan?" cecarku menyelidik.

"Tentu saja bukan."

"Oh, ok." Aku pun menyalami tangan Mas Tyo sekedarnya.

Pelan aku mengikuti langkah suamiku keluar. Ingin melihat bagaimana reaksinya setelah kendaraannya turun kelas.

"Hati-hati, ya, jangan meleng kalau ada polisi tidur!" Aku berpesan sambil menahan tawa. Memancing reaksi tak suka Mas Tyo setelah helm terpasang di kepalanya.

I don't care.

***

Cerita ini nggak akan panjang, cukup sampe bab 20 saja. Thanks buat yang udah mau baca.