Assalamualaikum, silakan subscribe cerita ini agar selalu dapat notif jika update bab baru.
Tinggalkan juga komen dan love-nya biar kang halu makin semangat lanjutin ceritanya.
Salam hangat semua. 😍
💔💔💔
"Ada dua kemungkinan, kau yang menggoda atau kau yang tergoda! Aku tidak peduli siapa yang memulai. Tapi yang jelas, kalau dia mau denganmu, ambil! Aku tidak mau ribut, apalagi berebut!
***
"Na, kamu kayaknya pucet."
Sindy, teman kerja yang duduk bersebelahan denganku, menegurku yang memang merasa tak enak badan sejak pagi tadi.
"Masa, sih, Sin?"
"Iya, sumpah. Kayak kurang darah gitu," balas Sindy tanpa ragu. "Kamu sakit?" tanyanya sembari memindai wajahku dengan seksama. Bahkan kursi kantor yang ia duduki, ia tarik mendekat.
"Enggak, kok." Aku mencoba berkelit walaupun rasanya benar-benar tak karuan.
"Mau aku antar ke klinik?" Sindy menawarkan diri.
"Nggak usah."
"Oh, ya udah." Sindy kembali menarik kursi menjauh dan menghadap pada komputer di meja kerjanya.
Aku yang juga sedang sibuk dengan keyboard dan layar monitor komputer di hadapan, merasakan kepalaku tiba-tiba rasa berputar.
Dan … bruk!
"Nana!"
Suara Sindy terdengar panik sebelum semuanya terasa gelap.
===
"Na, syukurlah kalau kamu sudah sadar."
Jam menunjukkan pukul 12 siang ketika kesadaranku pulih dan aku menyadari kalau diriku duduk di ranjang pasien kelas satu di ruangan dengan cat berwarna putih ini.
"Siapa yang bawa aku ke sini, Sin?" Aku yang merasa sudah lebih baik dibanding sebelum pingsan tadi, bertanya heran pada Sindy yang mengambil kursi dan duduk di samping ranjang pasien tempat aku berbaring.
"Aku dibantu sama Pak Damar tadi," terangnya yang langsung kusambut dengan mulut ber-oh ria. Aku mengernyit heran. Tumben sekali bos galak itu ambil peduli pada karyawannya?
"Na, beneran Mas Tyo sudah menyentuhmu?"
Aku terkesiap mendengar pertanyaan Sindy.
"Kenapa, memangnya, Sin?" tanyaku gugup. Juga merasa janggal dengan pertanyaan yang Sindy berikan.
Terlihat Sindy tersenyum tipis seperti menyembunyikan sesuatu.
"Aku … aku--." Ah, rasanya tak mungkin aku menjelaskan pada Sindy kalau Mas Tyo cuma menyentuhku sekali hari itu. Dan rasanya, itu pun dia lakukan tanpa perasaan. Bukankah itu aib? Enam bulan aku menikah dengannya, dan cuma sekali saja hal itu terjadi. Bukankah itu sangat di luar nalar?
"Kamu tahu, Nana? Kamu sedang hamil sekarang." Sindy yang menunjukkan rona bahagia, setengah berbisik.
Mendengar berita yang disampaikan Sindy, membuatku sontak terbelalak dengan jantung yang berpacu lebih cepat.
Tidak. Ini tidak mungkin. Mas Tyo cuma menyentuhku sekali, dan sekarang aku hamil? Mimpi buruk macam apa ini?
Bukan aku menolak anugerah ini. Hanya saja, semua masih begitu sulit untuk aku percayai.
Aku terdiam kaku, tak tahu harus menanggapi bagaimana kabar mengejutkan ini. Haruskah aku menyambutnya dengan suka cita padahal dia hadir karena sebuah kebetulan?
"Apa perlu aku mengabarkan pada Mas Tyo sekarang?" usul Sindy meminta persetujuan.
Aku menggeleng tegas. Aku sangat yakin Mas Tyo tidak bakal bersuka cita menyambut kabar kehamilan istri yang tak pernah mendapat tempat di hatinya. Istri yang dinikahi cuma karena menuruti permintaan orang tuanya.
"Nggak usah, Sin. Biar aku saja yang mengabarinya. Nanti," ucapku lemah. Bayang-bayang kemarahan Mas Tyo sudah berputar dalam benak.
"Eh, btw kata dokter kamu udah diperbolehkan pulang, loh. Setelah ini." Suara Sindy yang agak cempreng membuatku tertegun.
"Mau aku antar?" tanyanya.
"Nggak usah, biar aku naik Gocar aja."
"Oh … oke, deh." Sindy manggut-manggut. "Oh iya, soal biaya administrasi sudah diurus semua tadi sama Pak Damar."
"Tumben banget, Bos Galak itu care sama bawahan?" Aku yang masih tak percaya akan kabar kehamilan yang disampaikan Sindy, mencoba bersikap wajar. Sebagai bawahan, kami memang suka bergosip tentang betapa menyebalkannya atasan kami.
Sindy mengendikkan bahu sambil cengengesan.
"Kali aja, dia lagi gabut." Sindy terkekeh. "Makanya punya waktu buat ngasih perhatian sama bawahan kek kita-kita."
"Hush! Sembarangan kamu." Aku tertular, ikut tertawa ketika Sindy melontar candaan.
===
Sebelum pukul dua siang, aku keluar dari rumah sakit dengan ditemani oleh Sindy sebelum menaiki taksi online yang terlihat sudah standby di depan security rumah sakit.
"Take care, ya." Sindy memberi pesan sambil melambaikan tangan sebelum menuju tempat di mana mobilnya diparkirkan.
Aku mengangguk pelan ketika membuka pintu taksi online yang kutumpangi.
Ada rasa sesak yang datang menyergap dada ketika dalam perjalanan pulang.
Bagaimana aku harus menjelaskan pada Mas Tyo kalau aku hamil? Apakah dia akan bergembira menyambut kabar kehamilanku ini? Sedangkan aku sendiri, tahu persis malam itu dia melakukan atas dasar kekhilafan.
Ah … ruwet.
Baru sampai rumah, aku yang turun dari taksi online, dikejutkan oleh keberadaan mobil suamiku di rumah.
Mas Tyo pulang cepat juga? Batinku bertanya dengan perasaan heran ketika membuka pintu gerbang perumahan semi cluster yang kami tinggali.
Aku yang tengah melepas sepatu sebelum membuka pintu ruang tamu, dibuat terperanjat saat menyadari ada sandal wanita dengan size 38 di atas rak sepatu yang kami tempatkan di pojok teras.
Sandal siapa ini? Hatiku bertanya-tanya karena yakin ini bukan milikku. Aku sendiri selalu memakai ukuran 39 atau 40 selama ini.
Hatiku bergemuruh ketika tiba-tiba berasumsi kalau detik ini, ada wanita lain di dalam rumah yang sudah enam bulan ini kutinggali.
Pelan kubuka pintu ruang tamu.
Telingaku tercemar ketika tiba-tiba mendengar suara tak pantas dari dalam kamar. Kamar tidur yang selama ini cuma diisi oleh kehampaan karena suami enggan menyentuhku.
Apa Mas Tyo ada main gila dengan seorang wanita di dalam sana? Otakku tak bisa diajak untuk berpikir positif kali ini. Sandal dan suara menjijikkan dari dalam kamar telah menjadi bukti kuat kalau telah terjadi perselingkuhan di rumah ini.
Astaghfirullah.
Siapa wanita itu? Wanita yang dengan mudahnya membuat suamiku hanyut kenikmatan yang jelas-jelas haram?
Pelan kubuka pintu kamar, yang ternyata tidak terkunci.
Hancur hatiku ketika menyadari siapa gadis yang tengah berbagi 'ranjang' dengan suamiku dalam kubangan dosa.
"Mas Tyo! Elia!" Aku tak bisa menahan suara agar tak terdengar lantang. Otakku terasa mendidih ketika dihadapkan oleh kenyataan menyakitkan ini. Seseorang yang amat kusayangi ternyata tega menusukku dari belakang seperti ini.
Sakit ….
Rasanya, goresan sembilu saja tidak lebih menyakitkan dari ini.
"Mbak Nana?" Gadis itu tampak salah tingkah ketika menyambar selimut untuk menutupi bagian tubuhnya yang ….
Suamiku sendiri tampak canggung dengan wajah yang terlihat memerah ketika sepasang matanya bertemu dengan wajahku.
"Menjijikan! Ceraikan aku sekarang juga, Mas!" tegasku tanpa pikir panjang ketika menatap tajam wajah suamiku. Mulut Mas Tyo rapat. Tidak cuma dikunci, tapi seperti juga digembok kala mendengar permintaan cerai yang kulayangkan.
Soal anak dalam kandungan, bisa aku pikirkan belakangan.
Aku wanita mandiri. Aku yakin bisa menghidupi anak ini sendiri, tanpa bantuan ayahnya yang ternyata seorang lelaki pezina.
"Bukan aku yang menggoda suamimu, Mbak. Tapi dia!" Sudah jelas-jelas tertangkap basah, Elia masih saja ingin berdrama dengan menunjukkan air mata palsu seperti gadis lugu yang teraniaya ketika menunjuk Mas Tyo yang terdiam kaku setelah membelit tubuhnya dengan handuk.
"Eh, ada dua kemungkinan! Kau yang menggoda, atau kau yang tergoda," desisku sambil terus berusaha menahan amarah pada adik tak tahu diri yang dengan tega menjadi duri dalam rumah tangga kakaknya sendiri.
"Aku nggak peduli siapa yang memulai. Tapi yang jelas, kalau dia mau denganmu, ambil! Aku nggak mau ribut apa lagi berebut!" Telunjukku mengarah tepat di depan wajah lelaki yang telah menistakan diri dengan berselingkuh bersama iparnya sendiri.
"Bagiku sekarang, kau tak lebih dari sampah, Elia!" Aku mencebik bibir, menatap nyalang adik yang selama ini kubanggakan dan kuperjuangkan pendidikannya.
Tak ingatkah dia bahkan aku harus rela mengikat perut selama di perantauan agar dia bisa makan dan mendapatkan pendidikan yang layak?
Tak ingatkah dia?
Dengan gemuruh dalam dada yang terasa sampai ke telinga, kubanting pintu dengan kuat sebelum meninggalkan dua manusia hina yang dengan mudahnya berbagi 'ranjang' meski tanpa ikatan.
"Nana …."
Suara Mas Tyo yang kedengaran seperti kaset rusak, sama sekali tak menarik perhatianku untuk berbalik.