Baru Permulaan

Melaporkan ke polisi? Bukankah itu sama artinya aku mencoreng muka orang tuaku sendiri? Saat terang-terangan menyeret adikku ke ranah hukum.


Tidak. Aku tak setega itu pada Bapak yang memiliki riwayat penyakit darah tinggi dan jantung.


"Rasanya, itu bukan solusi, Sin." Aku menyahut lemah saran Sindy yang bagiku terlalu berlebihan.


Aku memang berniat memberikan efek jera pada mereka tapi dengan caraku sendiri. Rasanya, sedikit bermain api akan lebih menyenangkan daripada langsung membakarnya dan menjadikan abu.


"Lalu? Kamu bakal membiarkan Mas Tyo bebas begitu saja dan happy ending dengan adikmu yang per*k itu?" Sindy tampak tak terima dengan penolakan yang kusampaikan.


Hina sekali Sindy menganggap adikku. Namun, memang benar yang dikatakan.

 

"Aku nggak peduli mereka bakal happy ending atau engga. Yang jadi fokus perhatianku sekarang, ini." Aku menunjuk perut dengan perasaan gamang. Tak menyangka kehamilan yang sedianya disambut dengan suka cita ayah dan ibunya justru disambut dengan terkuaknya kebusukan sang ayah.


Sindy menepuk kening dan tersenyum tipis.


"Ya ampun, maaf, aku baru ingat kalau ada debay dalam perutmu. Sabar, ya, Bumil."


Mendapatkan suntikan semangat, bukannya menjadi kuat, aku justru terisak lagi. Tak membayangkan bakal menjalani pernikahan pahit seperti ini. Kalau tahu begini jadinya, tak seharusnya aku setuju menikah dengan Tyo yang saat itu belum move on dari mantannya. Dan kini, justru menemukan kenyamanan bersama adik iparnya.


"Jadi, Mas Tyo belum tahu kamu hamil?" Lirih suara Sindy dan terkesan berhati-hati ketika melempar tanya sesaat setelah melakukan pemesanan ke barista kafe.


Aku menggeleng lemah.


"Aku rasa dia nggak perlu tahu."


"Iya, sih. Kamu kan wonder women." Sindy seperti mencoba menghibur dan memberikanku semangat baru ketika menggenggam tanganku.


"Eh, btw ada saran rumah kontrakan, nggak?" Aku mengalihkan pembicaraan, agar tak terus-terusan membahas manusia tak tahu malu dan tak tahu diri itu.


"Cari aja di Olx."


"Sip, deh, aku cari."


"Iya, sok. Buruan, tinggalin laki nggak guna kayak Tyo itu. Ada bunga indah begini kok milih sampah," umpatnya geram yang hanya kutangggapi dengan senyuman. Senyuman getir tentunya.


Beberapa saat kemudian, senyumku terkembang saat melihat sebuah rumah kontrakan tersedia dan memiliki akses yang tak terlalu jauh dari kantor tempatku bekerja sebagai staf HRD.


"Ada, nih, Sin. Nggak jauh-jauh amat dari kantor."


"Oh, syukurlah."


===


Malam ini, kukemasi barang-barangku. Karena rencana pindah rumah adalah besok, makanya aku harus mempersiapkan semua sejak malam ini. Ya, dengan ditemani Sindy, aku telah melakukan pembayaran untuk satu bulan dengan pemilik kontrakan tadi sore. Jadi, kunci rumah sudah aku pegang saat ini.


Perkara kapan aku mau pindah ke rumah kontrakan itu, bukan lagi menjadi urusan sang pemilik kontrakan.


"Na."


Aku menulikan pendengaran ketika Mas Tyo yang ternyata masih punya muka untuk menatapku, menghampiri diriku yang tengah sibuk sendiri mengemasi barang-barang milikku di kamar ini. Kamar yang menjadi saksi bisu terjadinya perselingkuhan antar ipar yang tak pantas untuk dibicarakan.


"Apa kau serius ingin pergi?" tanyanya pelan tapi tetap saja terdengar memuakkan. Rasanya, sejak siang tadi, telingaku memang secara otomatis telah ter-setting untuk menerjemahkan suara Mas Tyo sebagai kaset rusak dan usang.


"Terus, kamu mau aku tetap di sini?!" Aku membalas ketus sambil menatapnya sengit, ketika tanganku untuk sementara menghentikan kegiatan dalam menyusun dan melipat baju-bajuku.


Mas Tyo terdiam dengan raut wajah yang terlihat tanpa daya. Amat jauh berbeda dengan sikap angkuh yang ditunjukkan selama ini.


"Cih! Bukan levelku serumah dengan sampah! Bukannya waras, yang ada aku ikut penyakitan nantinya!"


Lagi-lagi Mas Tyo terdiam kaku saat aku memaki dan memberikan sumpah serapah pada dirinya.


Kasihan! Dia benar-benar sudah seperti pecundang sekarang.


Aku yang masih sibuk menata baju-bajuku di dalam koper, dibuat tersentak saat telepon genggam di sakuku, bergetar.


Sebuah panggilan masuk.


"Danang?"


Mas Tyo tampak salah tingkah saat aku menggumam nama adiknya begitu melihat nama si pemanggil.


"Assalamualaikum." Terdengar dari seberang sana, suara pemuda 17 tahun menyapaku.


"Waalaikumussalam, Danang."


"Mbak Nana gimana kabarnya? Sehat?" Danang yang memang sejak awal begitu gembira aku menikah dengan kakaknya, terdengar antusias ketika menanyakan tentang iparnya ini.


"Alhamdulillah, Nang," jawabku sembari melempar tatapan tajam pada Mas Tyo yang tampak serba salah sedari tadi.


"Ini, Mbak. Katanya ibu pengen ngomong sama Mbak."


"Apa? Ibu pengen ngomong?" Sengaja aku menguatkan suara ketika menyambut ucapan adik iparku.


Makin padamlah wajah Mas Tyo sekarang.


"Oh, iya, Nang. Kebetulan, Mbak juga punya topik menarik buat dibahas dengan ibu." Sambil tersenyum licik aku berucap santai ketika menatap wajah suamiku yang semerah kepiting rebus.


Dada Mas Tyo naik turun kala menatapku yang memang sengaja memancing emosi malam ini.


Aku yakin sekali jantungnya tengah senam atau bahkan melakukan estafet malam ini.


Ini baru permulaan, Tyo!


Tunggu saja, akan kubuat jantung dan ginjalmu lari maraton setelah ini.


***

Bantu subscribe, ya 🥰