Dalam Kendaliku
Aku menimang kunci mobil dan ATM dengan perasaan puas. Ya, puas sekali aku telah membuatnya terlihat kalah malam ini.

"Rasanya, aku memang harus kursus menyetir setelah ini. Sayang, kan, kalau ada mobil bagus cuma nganggur di garasi?" Aku tertawa sumbang membuat telinga Mas Tyo memerah. Mungkin panas mendengar kalimat yang bisa membakar jiwanya.

Mas Tyo lantas membanting pintu dengan gusar kala meninggalkan diriku yang tengah asyik meresapi kemenangan.

[Sin, aku nggak jadi pindah, deh, kayaknya.] Kusambar ponsel dan mengirimi Sindy pesan melalui aplikasi hijau.

[What? Bukannya tadi kamu yang bilang malas hidup serumah dengan sampah?] Seperti biasa, tanpa menunggu lama pesan yang kukirimkan mendapatkan balasan dari teman yang memang hampir tak bisa lepas dari gadget miliknya.

[Ya. Sekarang aku berubah pikiran.]

[Why?]

Kartu debit, kunci mobil, serta surat perjanjian yang poinnya panjang berderet aku jepret dan kukirimkan pada Sindy.

[Wow. Apa ini, Miskah?]

Seperti biasa, Sindy masih menyempatkan diri untuk melawak meski dalam keadaan genting sekalipun.

[Ini awal dari kemenangan, Dora!] Aku membalas lawakan Sindy dengan kalimat candaan seperti biasanya.

[Emejing.]

[Uwuw.] Aku pun mengakhiri chat setelah teringat akan sesuatu.

Rasanya aku terlalu cepat mendeklarasikan kemenangan.

Aku pun berpikir sejenak. Bukankah dalam perjanjian, semua uang dan harta benda Mas Tyo aku yang menguasai?

Sebentar!

Berarti aku harus merampas ponselnya sekarang. Bisa saja, 'kan dia melakukan transaksi tanpa kartu? Tidak. Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan.

Aku pun berjalan cepat keluar kamar. Sambil berharap kalau suamiku itu belum pergi jauh dan mengamankan uang dengan mentransfer saldo dalam rekening ke nomor rekening … adikku mungkin.

Tidak. Tidak. Aku tetap harus waspada.

Nyeri. Dadaku berdenyut nyeri saat menyadari rumah tanggaku terombang-ambing karena adanya orang ketiga dan sumbernya adalah adikku sendiri.

"Mas …."

"Apa?"

Aku bernapas sedikit lega saat menyadari suamiku duduk bersandar di teras rumah. Tidak pergi ke tempat penarikan uang seperti yang kutakutkan. Dia tengah merokok. Mungkin sebagai bentuk pelarian.

"Hape kamu mana?" tanyaku dengan suara yang kubuat setenang mungkin.

"Buat apa?" Mas Tyo mendongak menatapku yang berdiri di ambang pintu utama dengan perasaan kesal.

"Ya buat aku pegang, lah." Aku menjawab santai.

Mas Tyo mendecak sebal.

"Apa semua milikku akan kau kuasai, Nana?" tanyanya dengan raut wajah marah.

"Ya. Karena kau sudah melakukan tandatangan di atas materai."

Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Mas Tyo menyerahkan ponselnya padaku. Meski dipastikan penuh ketepaksaan, tapi tak apa, itu bukan hal penting yang pantas aku pusingkan.

"Kata sandi?" tanyaku tetap tenang.

"Apa kau serius ingin menguasai ponselku juga, Nana?"

"Sepertinya begitu. Ingat dalam perjanjian, semua harta benda yang kau miliki dalam kuasaku sampai batas waktu yang tak ditentukan."

Mas Tyo mengembuskan napas kasar.

"Kau lebih parah dari preman pasar!" umpatnya geram.

Aku tertawa sumbang. Baru tahu dia.

Akhirnya, setelah melalui perdebatan alot, aku bisa mengetahui sandi ponsel suamiku yang lagi-lagi sama dengan pin kartu debit. Memuakkan!

"Sandi internet banking?"

Lagi, sandinya sama dengan sebelum-sebelumnya, hanya belakangnya diberi kombinasi huruf, tyel.

Apa itu gabungan Tyo Elia?

Menjijikkan!

Sekuat tenaga aku menahan diri untuk bersikap santai dan tak terlihat barbar.

"Ingat, Nana. Bukan levelnya ratu bersaing dengan penggoda. Tunjukkan kalau kamu wanita yang kuat dan tak pantas kalah." Pesan Sindy terus terngiang di telinga.

Oke. Oke. Aku wanita yang tegar dan kuat jadi aku tak boleh kalah cuma oleh kata sandi.

Sebagai gantinya, mungkin aku harus memberikan Mas Tyo ponsel yang lain. Aku tak mau kecolongan dengan membiarkan suamiku tetap memegang ponsel penting ini.

Aku pun mengambil ponsel lama yang hari itu sempat ditolak oleh Elia karena katanya sudah ketinggalan zaman. Padahal, walaupun bukan baru ponsel ini baru rilis setahun yang lalu. Namun, Elia menolak dan meminta ponsel lain yang lebih canggih. Namun, karena alasan sayang dan ingin yang terbaik untuk adikku, aku pun setuju membelikannya ponsel baru dengan fitur yang lebih canggih.

Sayangnya, Elia tak pandai membawa diri dan tak tahu bagaimana cara menghormati kakaknya sendiri.

Setelah mengetahui kata sandi internet banking Mas Tyo aku pun gerak cepat untuk mentransfer saldonya yang ternyata jumlahnya cukup besar, delapan digit tepatnya, ke rekening milikku. Beruntungnya, limit transfer bank yang Mas Tyo percayakan untuk menyimpan uang, cukup besar, sehingga 75% uang miliknya bisa berpindah ke rekeningku.

Ah, indahnya dunia setelah jadi tukang palak. Ha-ha-ha.

Aku yang tengah memandangi jumlah saldo pada rekening milikku yang menjadi gendut dalam waktu singkat, dibuat tersentak saat menyadari ada pesan masuk di ponsel suamiku.

Honey? Ya, nama kontak itu diberi nama Honey oleh suamiku.

"Pasti Elia!" Aku mencebik bibir dengan perasaan geram.

Nana, tenangkan dirimu. Aku mengusap dada pelan, mencoba menguasai diri agar tetap bisa bermain cantik.

Oke, aku harus melayaninya sekarang.

[Gimana, Mbak Nana, Mas? Apa kamu sudah berhasil menjinakkannya, Mas?]

Aku terpelongo kala membaca pesan masuk dari Elia. 

Aku lantas tertawa geli meski batinku menangis perih.

Kau salah besar, Elia! Bukan mbakmu yang dijinakkan, tapi selingkuhanmu!

"Tentu saja aku berhasil menjinakkannya, Honey." Aku menjawabnya, memposisikan diri seolah-olah aku adalah Mas Tyo.

[Bagaimana caranya, Mas? Rasanya … Mbak Nana tak sebodoh itu.]

Lah itu tahu.

[Bukan persoalan besar, Baby.] Aku membalas pesannya meski sambil menjulurkan lidah karena ingin muntah.

[Oh iya, Mas. Jangan lupa, ya. Minggu depan aku harus bayar kontrakan. Kalau minta duit sama Mbak Nana kan nggak mungkin. Nggak dilaporin sama Emak-Bapak saja sudah untung.]

[Maaf, Sayang. Mungkin, mulai sekarang kamu sudah harus mulai memikirkan sendiri cara untuk membayar kontrakanmu.]

[Loh, kok, gitu, sih, Mas? Aku kan sibuk kuliah. Capek tau, Mas.]

Cih. Menjijikkan! Ternyata begini kelakuanmu di belakangku, Adik Laknat!

[Tapi main serong dengan ipar sendiri nggak capek?!] Akhirnya, aku tak tahan juga untuk memperolok kelakuannya.

[Mbak Nana?]

***

Jangan lupa subscribe, kasih love dan tinggalkan komentar, ya. Tengkyu. 🥰