Ngaca, Tyo!
Apakah sikapku pada Mas Tyo terlalu kejam? Tidak, bukan?

Itu harga yang pantas buat pengkhianat seperti dirinya. Benar, 'kan?

Sungguh, jika tak teringat akan penyakit yang Bapak derita, aku tak akan segan menjebloskan dua manusia tak tahu diri itu ke penjara. Namun, memang kesehatan bapak lah yang menjadi pertimbanganku sebelum mengambil keputusan. Aku tak mau menyesal di kemudian hari jika terlalu terburu-buru menentukan langkah.

Aku yang siang ini meminum obat yang diresepkan dokter dari rumah sakit kemarin, dibuat tersentak ketika mendapat pesan dari sahabat baikku. Siapa lagi kalau bukan Sindy.

[Gimana dengan Pak Damar? Baik, 'kan?]

Aku mengernyitkan dahi membaca pesan gadis 25 tahun yang masih melajang setelah gagal menikah dua tahun yang lalu. Apa maksudnya dia bertanya seperti ini? Ada angin apa?

[Kenapa tiba-tiba nanyain soal Pak Damar? Penting, apa?] Aku membalas cepat pesan Sindy dengan perasaan heran.

[Ya penting, lah .... Kayaknya, dia suka, deh sama kamu, Na.]

Hah? Aku terpelongo membaca balasan Sindy.

[Kayaknya dia prihatin gitu sama kamu.] Sindy mengirimkan pesan lagi sebelum aku menuliskan balasan.

[Jangan bilang … kamu udah ember nyeritain soal Mas Tyo dan Elia ke dia.] Aku membalas dengan perasaan was-was, takut aib rumah tanggaku terbongkar di depan bos.

[Ya … maaf, takutnya dia bakal marah-marah terus, kalau gini kan ... udah aku ceritain keadaan kamu yang sebenarnya sama dia, harapannya dia bisa ngerti, gitu loh. Dan harusnya nggak ngasih kamu tekanan pekerjaan seperti biasanya, Na.]

Huft! Aku menarik napas panjang membaca alibi yang Sindy tuliskan. Kesal juga karena dia tak pandai menjaga rahasia.

[Dan ternyata … berhasil, kan? Dia ngasih kamu izin cuti tanpa ba-bi-bu?] Sindy menambahkan emoticon senyum ngakak setelah kalimat tanya yang ia tuliskan.

[Iya, sih. Tapi aku malu, Sin.]

[Kamu nggak perlu malu. Kamu nggak salah. Mas Tyo dan Elia yang salah. Mereka, tuh yang pantas dipermalukan.]

[Ya udah, Sin. Ada yang nelpon, nih.]

[Oke, Beb. Bye.]

Percakapanku dan Sindy kuakhiri ketika ada sebuah panggilan masuk.

Pak Damar? Pak Damar meneleponku. Rasanya masih sulit dipercaya kalau bos yang biasanya galak dan jutek tiba-tiba menelepon seperti ini. Ada apa, ya?

Apa laporan yang aku buat kemarin ada yang perlu direvisi? Batinku bertanya-tanya sebelum mengangkat panggilan.

"Ha-hallo assalamualaikum." Aku menyapanya dengan sedikit ragu.

"Waalaikumussalam. Gimana kabarmu, Nana?" Terdengar dari seberang sana suara Pak Damar memenuhi rongga telinga.

"Ba-baik, Pak." Aku yang masih belum percaya dia meneleponku sekarang tak bisa menyembunyikan rasa gugup. Hingga aku menjawab dengan terbata-bata.

"Selalu jaga kesehatan, ya. Demi bayi dalam kandunganmu, berpikirlah untuk tetap tenang." Aku ternganga mendengar nasehat yang diucapkan Pak Damar. Bukankah nasehat yang diberikan itu sangat manis?

Ya ampun, Nana apa yang kau pikirkan? Ingat kau belum resmi bercerai dengan Mas Tyo. Jadi tak perlu memuji pria lain!

"I-iya, Pak. Makasih, ya karena sudah memberikan izin cuti hari ini." Aku yang bingung harus membahas apalagi berbasa-basi dengan mengucapkan terima kasih.

"Sama-sama, selalu jaga kesehatan, ya." Lagi, Pak Damar memberikan nasehat yang sama dengan sebelumnya.

"Baik, Pak."

Panggilan pun berakhir setelah kami saling mengucapkan salam penutup.

Benarkah apa yang diucapkan Sindy tadi? Pak Damar menyukai diriku?

Benarkah?

Ah, tidak mungkin. Lihat saja bagaimana ketus dan galaknya dia padaku selama ini. Jadi, mana mungkin dia punya perasaan spesial pada wanita bersuami sepertiku?

Ya ampun, aku sampai lupa mengabarkan pada Emak-Bapak tentang kehamilanku. Meskipun ada dua kabar di hari yang sama kemarin, tapi rasanya aku cukup mengabarkan yang baik saja pada orang tuaku.

Emak begitu antusias menyambut kabar kehamilan yang kusampaikan. Berbagai wejangan dan petuah disampaikan.

"Baik-baik juga sama Elia, ya, Nduk."

Deg.

Tak sanggup rasanya untuk mengabarkan pada Emak kalau ternyata anak bungsunya sebejat itu. Biarlah rahasia ini kusimpan sendiri. Tak perlulah mereka tahu tentang kebenaran menyakitkan ini.

"Iya, Mak."

***

Aku yang sedang membaca-baca berita sekadar untuk menghilangkan rasa jenuh, dibuat terkejut ketika sore ini, Mas Tyo pulang tepat waktu. Tak seperti biasanya. Ya, biasanya dia punya sejuta alasan untuk pulang telat.

"Mas, sudah pulang?" Tanpa berniat bangkit dari sofa ruang tamu, aku bertanya sekedarnya setelah menjawab salam yang diucapkan suamiku.

"Iya. Aku mengkhawatirkan keadaanmu, Nana. Syukurlah kalau kamu baik-baik saja," jawabnya seraya mengangsurkan tangannya padaku.

Aku tersenyum tipis. Merasa dia terlalu banyak berdrama sejak malam tadi.

Sejenak kemudian, Mas Tyo terlihat menatap lekat diriku dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Ada yang beda," ucapnya sambil terus menajamkan pandangan.

"Ap-apa?" Tanpa bisa terkontrol aku bertanya gugup. Ya, jujur aku takut dia bakal menyadari tentang kehamilanku. Rasanya, belum saatnya dia tahu sebelum aku memberinya pelajaran.

"Kamu terlihat lebih … chubby sekarang," ucapnya lantas tersenyum manis. Aku mencebik kecil, merasa dia sedang berlaku seperti pemain peran yang sedang belajar mengelabui orang dengan aktingnya.

"Masa?" tanyaku santai meski rasa gugup dalam dada masih ada.

"Iya."

"Mas, aku nggak masak hari ini. Nggak enak badan." Aku sengaja membahas hal lain untuk mengalihkan perhatian.

"Oke nggak masalah. Aku bisa masak."

What's? Benarkah itu?

Aku membuang muka. Tak mau begitu saja luluh oleh sikapnya yang mendadak jadi baik sejak malam tadi.

Bel yang berdentang membuatku dan Mas Tyo yang tengah sama-sama saling diam, tersentak.

"Assalamualaikum, Nana." Terdengar dari luar suara seorang gadis dengan suara cempreng memanggil namaku. Membuatku terkesiap.

Ya ampun, apa itu Sindy? Mau apa dia ke sini?

Mas Tyo pun gerak cepat membukakan pintu gerbang untuk sahabat baik yang tak kuketahui maksud kedatangannya ke sini. Sore ini.

Sindy tampak menunjukkan wajah masam ketika bertatapan dengan suamiku ketika Mas Tyo mempersilakan dirinya masuk.

"Hai, Bumil, apa kabar kamu? Udah sehat?" Sindy terlihat antusias dengan senyum terkembang ketika menatap wajahku.

Ya ampun, kenapa Sindy harus memanggilku dengan sebutan seperti itu di depan Mas Tyo? Apa tujuannya?.

Dadaku berdebar hebat, takut Mas Tyo bereaksi macam-macam mendengar apa yang tak seharusnya ia dengar hari ini.

"Bumil?" Wajah Mas Tyo berubah pias ketika mungkin mencerna ucapan Sindy barusan.

"Iya, lah." Sindy menjawab santai pertanyaan suamiku. Membuat wajah Mas Tyo menunjukkan raut yang … entah. Aku tak bisa menerjemahkan ekspresinya saat ini. Apakah dia syok, kesal, atau apa?

"Itu … itu anakku, kan, Nana?" tanyanya seperti meyakinkan diri ketika menatapku.

Plak!

Aku dan Mas Tyo sama-sama tersentak ketika Sindy secara tiba-tiba melayangkan tamparan di pipi kiri suamiku. Raut wajah Sindy terlihat garang kali ini.

"Lalu kau pikir anak siapa? Apa kau kira Nana sepertimu? Yang dengan mudahnya berzina padahal di rumah sudah punya pasangan sah?" tanya Sindy berapi-api tak bisa menyembunyikan emosi.

Mas Tyo terdiam mendengar olok-olokan yang Sindy layangkan.

"Ngaca, Tyo! Ngaca! Jangan mentang-mentang kamu pezina, jadi dengan mudahnya menuduh istrimu melakukan hal yang sama!" tambah Sindy dengan emosi yang masih meluap-luap. "Tak tahu diri!" bentaknya tanpa rasa takut.

***

Lanjut?