Kemajuan teknologi membawa keuntungan bagi beberapa generasi terakhir. Hanya saja sesuatu yang positif bisa membawa hal negatif bila berlebihan.
Menurut laporan Times of India, Rabu periset telah menemukan beberapa gangguan mental yang disebabkan oleh meningkatnya penggunaan internet dan teknologi manusia. Inilah beberapa jenis gangguan mental tersebut.
Selfitis
Menurut makalah baru berjudul An Exploratory Study of 'Selfitis' and the Development of the Selfitis Behaviour Scale yang diterbitkan dalam International Journal of Mental Health and Addiction olehperiset Janarthana Balakrishnan (Thiagarajar School of Management) dan Mark DGriffiths (Nottingham Trent University), menemukan satu set faktor yang mendorong orang untuk berswafoto secara obsesif dan menilai mereka pada skala perilaku selfitis.
Dari jumlah tersebut, 25,5 persen adalah kronis, 40,5 persen akut, dan 34 persen adalah rata-rata. Selfitis pada pria memiliki tingkat lebih tinggi daripada wanita (57,5 persen sampai 42,5 persen). Orang yang lebih muda di kelompok usia 16-20 tahun ditemukan rentan terkena selfitis. Sembilan persen peserta berswafoto lebih dari delapan kali setiap harinya, dengan 25 persen mengunggah setidaknya tiga swafoto di media sosial.
Phantom Ringing Syndrome
Pernahkan Anda merasa ponsel bergetar di saku padahal tidak ada yang terjadi? Itu adalah phantom ringing syndrome.
Hal tersebut dicirikan sebagai halusinasi taktis karena otak merasakan sensasi yang tidak ada. Menurut Dr Larry Rosen, 70 persen pengguna ponsel mengalami phantom ringing syndrome.
Efek Google
Kebanyakan percakapan di pertemuan sosial dimulai dengan, 'saya Googling beberapa hari yang lalu'. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya Google di kehidupan manusia.
Yang tidak sengaja terjadi adalah mengkondisikan pikiran manusia untuk menyimpan lebih sedikit informasi karena ia tahu bahwa semua jawaban hanya dengan beberapa klik saja. Penelitian menunjukkan akses informasi tak terbatas menyebabkan otak manusia kurang mendapat informasi.
Nomophobia
Nomophobia adalah ketakutan irasional apabila hidup tanpa ponsel atau tidak dapat menggunakan ponsel karena beberapa alasan, seperti pulsa sedikit, kehilangan sinyal. Istilah ini merupakan singkatan dari no-mobile fobia yang pertama kali diciptakan oleh organisasi riset di Inggris.
Sebuah penelitian selama satu dekade menemukan 53 persen pengguna ponsel merasa cemas saat tidak dapat menggunakan telepon mereka. Separuh pengguna tidak pernah menutup ponsel mereka.
Jika mendapati diri anda selalu waspada terhadap notifikasi atau tanpa henti menjangkau ponsel dalam interval yang sering, saatnya melakukan detoksifikasi digital.
Cyberchondria
Cyberchondria adalah kecenderungan percaya bahwa Anda memiliki semua di diri Anda setelah membaca secara daring. Sebut saja tipuan, kemalasan, kesalahan informasi atau reaksi yang berlebihan. Dalam beberapa kasus menimbulkan kecemasan baru karena banyak informasi medis di luar sana tanpa konteks yang tepat.
Cyberchondria: Cemas Akibat Mencari Gejala Penyakit di Internet
Cyberchondria adalah rasa takut/cemas atau sindrom yang terjadi usai mencari tahu tentang gejala suatu penyakit di internet. Masifnya penggunaan internet yang menyediakan akses informasi yang mudah menjadikan banyak orang mengandalkan informasi secara daring daripada bertanya langsung ke ahli atau pakarnya.
Hal ini tentunya berpengaruh baik bagi banyak kalangan. Namun, bagi sebagian kecil orang yang mengalami kecemasan tinggi terhadap kondisi kesehatannya, informasi di internet dapat berakibat buruk bagi mereka.
Orang-orang ini seringkali menjadikan data digital sebagai acuan untuk melakukan diagnosa terhadap diri sendiri atas gejala-gejala sakit yang mereka alami. Orang yang memiliki kecemasan tinggi, lalu kerap mencari informasi di internet mengenai gejala-gejala penyakitnya dikenal dengan sebutan cyberchondria.
Dilansir laman Medical Center dari University of Vermont, orang yang mengalami cyberchondria terobsesi dengan informasi kesehatan di internet. Ia menghabiskan banyak waktu untuk berselancar secara daring demi meyakinkan diri terhadap suatu penyakit yang diduga sedang ia alami.
Bukannya meredakan kekhawatiran yang sedang dirasakannya, banyaknya informasi kesehatan yang ia baca malahan memperburuk kecemasan yang ia alami. Hal ini berisiko buruk, apalagi jika pengidap cyberchondria melakukan diagnosa serampangan, lalu membeli obat di apotek tanpa resep dokter.
Jika ia hanya mengira-ngira penyakit yang sedang ia rasakan, lantas meminum obat yang tidak sesuai dengan kondisi kesehatannya. Bukannya menyembuhkan, hal ini cenderung merusak kesehatan fisiknya. Jika awalnya hanya berupa kesemasan mental, kini beralih merusak kesehatan fisik.
Bagaimana mengetahui bahwa Anda mengalami cyberchondria? Laman Psychology Today menulis beberapa indikasi yang bisa jadi acuan atau tanda bahwa Anda terkena cyberchondria:
1. Mengecek Gejala Penyakit di Internet 1-2 Jam Tiap Hari
Rata-rata, seseorang yang mengalami kecemasan tinggi terhadap suatu penyakit akan menghabiskan sekitar 2 jam sehari memikirkan gejala-gejala sakit yang dialaminya.
Sedangkan orang yang mengidap kecemasan ringan menghabiskan kurang dari atau sejam dibayang-bayangi pikiran negatif mengenai gejala sakit yang dirasakan.
Jika Anda terus mencari selama sejam hingga tiga jam di internet mengenai gejala-gejala penyakit yang Anda alami, bisa jadi Anda terkena cyberchondria
2. Rasa Cemas Mengidap Beberapa Penyakit Bersamaan
Tingginya kecemasan bahwa Anda mengalami pelbagai jenis penyakit secara bersamaan ini menunjukkan adanya indikasi cyberchondria.
Hal ini disebabkan ada banyak informasi yang tersedia di internet, sedangkan pengidap cyberchondria rentan dan tidak bisa membedakan secara rasional apa yang dialaminya karena luapan perasaan khawatir yang berlebihan.
3. Mengecek Gejala Penyakit di Internet 3-4 Kali Sehari dalam Situasi Buruk
Seseorang dengan kecemasan tinggi tidak hanya menghabiskan banyak waktu di internet, melainkan juga mencari lebih banyak kesempatan untuk mencari informasi dan membandingkan gejala-gejala yang dirasakan dengan data digital secara daring.
Semakin sering Anda mencari informasi mengenai gejala penyakit yang Anda rasakan, biasanya kian yakin Anda dengan tanda-tanda penyakit tersebut. Padahal, bisa jadi hal tersebut bukanlah realita sebenarnya, melainkan pembenaran saja dari asumsi keliru yang terbangun sejak awal.
4. Informasi dari Internet Justru Menambah Kecemasan
Jika tujuan orang yang mengidap kecemasan adalah untuk meyakinkan dirinya dengan informasi tersedia di internet, setelah memperoleh data mengenai gejala-gejala yang diinginkan, hal ini malah memperburuk kekhawatiran mengenai kemungkinan penyakit yang ia diduga.
Selama dan seusai melakukan pengecekan secara daring, studi menemukan bahwa orang dengan cyberchondria melaporkan bahwa kecemasan mereka terus bertambah dan kian menebalkan kekhawatiran awal mereka.
5. Realitanya, Kesehatan Pengidap Cyberchondria Sebenarnya Normal
Kendati orang yang mengalami kecemasan tinggi melaporkan dugaan bahwa mereka terkena penyakit tertentu, sebenarnya kondisi kesehatan mereka tidak seburuk yang mereka bayangkan. Secara umum, keadaan fisik orang dengan cyberchondria tidak berbeda dari orang dengan kecemasan rendah pada umumnya.
Masalahnya, karena pikiran khawatir yang terus membayangi, menjadikan aktivitas dan kegiatan yang mereka lakukan menjadi terganggu dan kurang produktif lagi.
Jika Anda mengalami lima indikasi di atas, bisa jadi Anda mengalami cyberchondria. Bagaimana mengatasinya? Psychology Today menyarankan bahwa cara terbaik untuk melawan cyberchondria adalah dengan berhenti mencari informasi mengenai gejala-gejala penyakit di internet.
"Alih-alih berpengaruh baik, mengecek informasi di internet bagi orang dengan kecemasan tinggi malahan berefek negatif bagi kesehatan mental mereka," tulis tim Doherty-Torstick sebagaimana dikutip dari Journal of Consultation and Liaison Psychiatry.
Menjaga kesehatan fisik dan mental Anda adalah faktor utama untuk menikmati kepuasan di setiap aspek kehidupan. Dan menjauhi bahaya dari cyberchondria tampaknya adalah cara terbaik untuk mencapai hal tersebut.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Abdul Aziz