“Tono, ayah ingin bicara padamu!” Suara lengkingan ayah terdengar.
Aduuh perasaanku mulai tidak enak, pasti pembahasan tidak jauh dari perjodohan.
“Tadi ayah bertemu Siti di pasar, ayah rasa dia menyukaimu. Ayolah Ton, umurmu sudah lebih 40 tahun? Kapan kamu ada keinginan membina rumah tangga? Teman sebayamu anaknya sudah besar besar loh.” Ucap ayah.
Emh..., perkiraanku tidak meleset.
“Ayah, aku tidak menyukai siti. Tolong jangan paksa aku.”
“Aah kamu susah sekali dibilangin sama orang tua, terserah kamulah ayah bingung sama kemauan kamu, mau wanita yang bagaimana!” ucap ayah sambil berlalu.
****
Ya, beginilah aku Sartono lelaki yang masih betah membujang diusia 43 tahun. Bukan aku tak mencoba mencari wanita, tapi aku juga berhak memilih wanita yang akan menjadi istri serta ibu anak-anakku kelak.
20 tahun lalu aku pernah mengenal Erna, perempuan asal Surabaya. Oh ya, dulu aku pernah merantau di Surabaya sebagai pedagang bakso. Erna adalah penjual jamu gendong yang sering mampir menawarkan jamunya padaku atau pada pembeli yang sedang makan. Senyumnya yang manis dan pembawaannya yang ceria membuat diriku merasakan debaran itu ketika dia datang. Ya bisa dikatakan, Erna adalah cinta pertamaku.
“Witing tresno jalaran soko kulino”, yang berarti cinta karena terbiasa. Begitulah pepatah jawa mengatakan. Entah jamu apa yang diberikan, hingga hatiku klepek-klepek sama dia. 1 tahun mengenalnya membuatku ingin melamarnya. Tapi untung tak dapat diraih, sebelum aku sempat melamarnya, dia sudah menikah dengan lelaki lain. Mungkin aku yang kurang gerak cepat. Ya biarlah, mungkin dia bukan jodohku.
Dua tahun kemudian, ayah mengenalkanku dengan Astri, dia adalah anak kerabat dekat paman. Mereka ingin kami menikah. Wajahnya cantik, selalu tersenyum manis dan wangi. Itulah yang aku rasakan saat pertemuan pertama kali dengannya.
Dua minggu mengenalnya, aku mantapkan hati untuk menerima perjodohan ini. Tidak ada firasat jelek apapun yang ada dipikiran saat itu. Sampai aku mendengar sendiri pembicaraanya dengan paman, bahwa dia sedang hamil dengan kekasihnya tetapi sayang, kekasihnya tidak mau bertanggung jawab dan kabur entah kemana.
Hancur sudah perasaan ini, mereka pikir aku akan mau menutup aib mereka? Maaf, aku bukan lelaki senaif itu. Pantas saja, Astri sering mendesak agar aku segera melamarnya. Tanpa ragu lagi, aku langsung membatalkan rencana perjodohan konyol itu.
Tahun berganti, tidak ada yang menyinggung mengenai kejadian memalukan itu lagi. Akupun juga perlahan membuka hati lagi. Berawal dari sms nyasar aku mengenal Sari. Perempuan manis beda kecamatan, dia asyik diajak ngobrol. Mulai dari kegiatan sehari-hari, masak apa hari ini, sampai gombalan receh ala mas Tono.
Dulu sampai kami bela-belain ngobrol larut malam karena memanfatkan salah satu layanan operator seluler, nge-jam 3 detikan supaya pulsa tidak berkurang dan sengaja menggunakan kartu seluler yang sama agar romantis.
Enam bulan mengenal maka kuputuskan untuk melamarnya. Sebelumnya Sari memang sudah pernah berkunjung ke rumahku. Tak ada penolakan apapun yang ku tangkap dari sambutan ayah dan ibuku. Dia juga bisa mengakrabkan diri dengan Mas Toni dan adikku Utari.
Ayah dan ibu aku ajak bersilaturahmi kerumah Sari. Setelah cukup basa basi, maka masuklah ke inti persoalan bahwa keluarga kami bermaksud menjadikan sari sebagai menantunya.Aku masih mengingat bagaimana pihak keluarga sari menanggapi lamaran kami.
“Baiklah jika nak Tono memang serius dengan Sari, kami orang tua hanya bisa merestui. Tentunya kalian paham maksud kami. Berikanlah seserahan yang layak untuk Sari. Kami ingin seserahan itu berupa uang 20juta, emas 20 gram, Mobil, laptop, sepeda motor, sapi atau kambing, dan juga rumah beserta isinya.” ucap ayah Sari secara gamblang.