“Wajah kok ditekuk gitu, hilang cantiknya.” Mas Hari menoel daguku.
“Jadi aku nggak cantik gitu, Mas!”
“Lah, malah ngambek. Berjuta wanita di luar sana, tetap cantik istriku. Kenapa, Sayang, cerita sama aku. Apa uang belanjanya kurang?”
“Aku tuh sebel, Mas, sama tetangga depan rumah. Seenak jidatnya saja mengomentari rumah tangga orang. Mas juga kenapa beli rumah di sini!"
Mas Hari meletakkan ponselnya lantas duduk di sampingku. “Dek, sudah lama, kan tinggal di asrama sebelum pindah ke sini?”
“Apa hubungannya, Mas?”
“Setiap orang punya karakter masing-masing. Anggap saja masih tinggal di asrama. Tak usah dimasukkan hati ucapan yang Mbak Lastri, kan, memang begitu sifatnya.”
Aku diam mencerna omongan Mas Hari. Ada benarnya juga, buat apa meladeni Mbak Lastri yang wataknya memang julid.
“He ... he ... iya juga sih, Mas.”
“Nah, gitu dong. Makin cantik kalau tersenyum. Jalan-jalan, yuk, Dek.”
Istri mana yang tak bahagia ketika diajak suaminya jalan-jalan. Bahagia itu simpel menurutku, tak perlu mewah yang penting selalu bersama.
Sudah lama kami tidak menghabiskan waktu bersama. Kesibukan Mas Hari di kantor membuatku harus mengalah hanya menghabiskan waktu di rumah bersama Wulan.
“Bu, cepetan dong!” teriak Wulan yang sudah siap sedari tadi di atas motor.
“Bentar!” Gegas aku menyambar jaket yang tergantung di belakang pintu. Aku tahu Wulan pasti sudah tak sabar ingin ke taman kota yang menyediakan banyak fasilitas bermain.
“Orang kaya mau jalan-jalan, nih, ye!”
Baru saja aku menutup pintu, suara cempreng Mbak Lastri sudah terdengar. Tak bisakah dia sehari saja tak mengomentari hidupku.
Mas Hari tertawa melihat wajahku yang masam. “Ingat yang Mas katakan tadi, Dek.”
Aku menghela napas. “Iri bilang, Mbak!”
Andai saja tak dicegah Mas Hari, sudah kuladeni mulut nyinyir Mbak Lastri. Saat ini aku masih bisa menahan diri, entah suatu saat nanti. Apakah aku masih punya kesabaran untuk menghadapinya.
“Paling juga ke taman saja belagunya minta ampun.” Nyinyirannya masih kudengar saat motor melaju.
“Sudahlah, Dek. Jangan diladeni terus. Makin kamu lawan, makin dia menjadi.”
“Kesel aku sama dia, Mas.”
“Jangan rusak sore yang indah ini dengan hal yang tak berguna. Anggap saja angin lalu.”
Adem. Mas Hari selalu saja bisa menenangkan hatiku yang bergejolak.
Malam yang cerah membuat taman kota makin ramai. Banyak warga yang menikmati malam ini bersama keluarganya. Wulan sedari tadi asyik main ayunan. Aku dan Mas Hari mengawasinya dengan duduk tak jauh darinya.
“Sudah saatnya Wulan punya adik,” celetuk Mas Hari yang membuatku tersedak kacang rebus.
Gegas aku menandaskan segelas es kelapa muda. “Mas, ngomong apa tadi?”
“Saatnya kita nambah momongan lagi, biar Wulan ada temannya bermain.”
Aku tersipu malu mendengarnya. Sebuah kode dari Mas Hari agar aku hamil lagi. “Nanti malam saja kita bahas lagi.”
Bisa-bisanya Mas Hari bahas anak di taman, memang suamiku tak romantis. Namun, kata-katanya selalu membuatku melambung tinggi dengan pipi merona.
“Aku main dulu, sama Wulan. Kamu tungguin saja di sini.” Mas Hari menyusul anaknya yang sedang bermain.
Kunikmati kembali kacang rebus sembari melihat keakraban ayah dan anak yang asyik bermain ayunan.
Mataku tak sengaja melihat sosok yang sangat kukenal. Pak Basuki, suami Mbak Lastri sedang bercanda dengan wanita. Apa mungkin wanita itu selingkuhannya? Aku tak boleh berprasangka buruk. Biisa jadi mereka hanya berteman. Saat aku ingin mengambil foto mereka, Wulan memanggilku agar bergabung bersama ayahnya.
Puas bermain, Wulan mengajak makan di tenda lesehan tak jauh dari taman.
“Sabar. Aku pasti nikahin kamu, Sayang.” Bukankah itu suara Pak Basuki?
Benar saja, saat menoleh ke asal suara aku melihat Pak Basuki sedang merayu wanita yang bersamanya tadi.
“Mas, itu ...?”
“Ssst ... anggap saja kita tak pernah dengar dan melihat.”
“Kasihan Mbak Lastri,” gumamku lirih.
Setidaknya untuk saat ini aku bersyukur karena suamiku tak bertingkah aneh-aneh.
Kembali teringat Mbak Lastri yang julid, tetapi sekaligus timbul rasa kasihan. Hidupnya tidaklah seindah yang selalu ia ucapkan.
Bahkan suaminya berselingkuh di depan umum. Padahal jarak rumah dan taman kota hanya 3 km.
Tak takutkah Pak Basuki jika perselingkuhannya terendus istrinya?
Aku menggeleng kemudian melanjutkan makananku dan bersikap seolah-olah tak mengenal tetanggaku itu.
Aku berusaha mengalihkan perhatian Wulan agar tak mengenali wajah ayah Dini, sahabatnya.
Segera beranjak membayar, saat makanan kami sudah tandas. Namun, baru saja melangkah terdengar umpatan nyaring.
Aku pun berbalik dan menyaksikan bagaimana Pak Basuki ditampar wanita. Tentu saja bukan wanita yang bersamanya.
Aku mengernyitkan dahiku, tetapi Mas Hari langsung mengajakku pergi. Beruntung Wulan, sibuk dengan permen kapasnya.
"Setelah bosan denganku, kamu merayu lagi wanita lain! Dengar, ya aku tak terima dan akan meminta pertanggungjawabanmu saat ini. Jika tidak, maka aku akan ke rumahmu."
Aku tersenyum melirik Mas Hari yang juga tengah melirikku. Tatapan kami bertemu disertai semburan tawa.
"Ternyata tetangga kita tukang rayu, Mas."
Wulan yang sedang menikmati permen kapasnya, menyela, "Jadi ada tukang rayu. Apa itu tukang rayu, Bu?"
Pertanyaan Wulan membuatku makin tertawa lebar, tetapi Mas Hari segera menarik tanganku menjauh.
"Jangan memancing, Dek. Setidaknya kehadiran kita tak diketahui tetangga."
Kami pun berjalan menuju tempat parkir dan bermaksud untuk pulang. Namun mendadak, aku mencekal lengan Mas Hari.
"Lihat, Mas! Bukankah itu Mbak Lastri."
Adegan seru yang kubayangkan seperti di sinetron tidak terjadi. Mas Hari langsung membunyikan kendaraannya.
"Ayo, Dek, kita pulang! Tak baik melihat adegan dewasa ditonton Wulan."
"Apa itu adegan dewasa, Yah?" tanya Wukan yang membuat tawaku pecah.
"Adegan perkelahian, Lan. Pasti kamu gak suka, kan jika ada yang marah-marah seperti Tante Lastri."
Wulan manggut-manggut mendengar penjelasanku. Dari kaca spion aku melihat, bagaimana Mbak Lastri berlari menghampiri suaminya.
Syukurlah, setidaknya Wulan tidak melihat langsung adegan dewasa tersebut.
**
“Yur ... sayur ....” teriak Lik Joni dengan suara khasnya.
Kusambar jilbab instan yang berada di sampiran dekat dapur.
Sudah banyak yang belanja. Sampai penjualnya tak kelihatan di kerumuni emak berdaster.
Pagi tadi Wulan kepengin makan sup ayam. Stok di kulkas habis, makanya aku beli ke Paklik Joni.
Aku mengambil ayam sekilo serta sayuran untuk sup. Tak lupa kentang yang akan kubikin pekedel.
“Tumben belanja ayam. Sudah dapat kerjaan suamimu?”
“Mbak, senang betul jadi CCTV, apa yang kulakukan selalu saja ingin tahu.”
Semua tertawa mendengar omonganku. Namun, bukan Mbak Lastri namanya kalau tak bisa membalas ucapan orang lain.
“Kalau belum kerja mana mungkin bisa beli ayam dan jalan-jalan?” Ucapannya sungguh keterlaluan. Mulutnya tak ada filter, selalu saja bicara semaunya.
Ingin rasanya aku berbuat jahat, dengan membongkar kelakuan busuk suaaminya di depan warga agar dia malu. Namun, aku masih punya rasa kasihan padanya.
“Memangnya kamu tahu kalau suami Nani pengangguran?” Mbak Sri tetiba ikut nimbrung.
“Apalagi namanya kalau bukan pengangguran. Tiap hari berangkat dengan baju biasa, rambut gondrong mirip preman pasar.”
Mas Hari memang jarang memakai baju dinasnya. Tugasnya selalu di lapangan. Tak jarang pergi ke luar kota untuk mengamankan keadaan. Aku tak perlu mengungkap pekerjaan suami, biarlah mereka tahu sendiri apa profesi Mas Hari.