TBuJ 4
Sudah tiga hari Mas Hari dinas luar. Aku dan Wulan sudah terbiasa ditinggal dinas. Semua pekerjaan rumah telah selesai, saatnya berselancar di dunia maya.

Memanjakan diri, siapa tahu dapat ide mencari cuan. Setidaknya, waktuku yang lowong bisa kumanfaatkan.

Kubuka aplikasi sosial media berwarna biru. Sebuah akun dengan nama Emak Cantik menarik perhatianku.

Latar tempatnya berfoto, sepertinya familiar. Aku penasaran, sehingga membuka akunnya. Untung tidak diprivasi, sehingga aku dengan mudah melihat semua statusnya.

“Wow! Mbak Lastri.” Aku tertawa saat jariku terus bergulir pada akunnya.

Terlalu kepo, sehingga aku terus memeriksa akunnya. Siapa suruh, Mbak Lastri terlalu mencampuri hidupku. Gak ada salahnya, aku juga kepo dengan status sosialnya di dunia maya.

Muncul foto Mbak Lastri dengan pose sok imut, memakai kaca mata hitam duduk di motornya.
Waduh!

Aku menggeleng karena caption yang ditulisnya. "Alhamdulillah _home sweet home_ Rumah impian yang kubangun dengan penuh keringat."

"Ampun, ini tetangga! Latar di fotonya adalah rumahku.”

Aku mendumel juga karena statusnya dengan latar rumahku. Namun kembali positif thingking Bisa jadi Mbak Lastri salah pasang foto.

Aku sengaja tak mengajaknya berteman, hanya ingin melihat galerinya. Agar tahu apalagi isi statusnya. Semoga saja tidak aneh-aneh, seperti saat merundungku.

Tak ada foto anak dan suaminya. Hanya foto Mbak Lastri dengan berbagai pose dengan caption yang membuatku tertawa.

"Tetangga ajaib bin aneh," ujarku saat kepo dengan akunnya.

Untung Wulan belum pulang sekolah, sehingga tidak mengetahui jika aku sedang berbicara sendiri saat kepo dengan akun, Mbak Lastri.

"Ya ampun!" Aku kembali histeris karena melihat foto klepon yang disusun cantik di atas piring.

Kucek tanggal postingannya, ternyata betul. Itu adalah kue klepon yang aku berikan saat mendapat hadiah mesin cuci.

Aku sungguh kesal sekaligus tertawa. Bisa-bisanya dia menghina kue buatanku adalah kue kampung dan murahan. Namun pada akun media sosialnya, Mbak Lastri menulis caption, "Rindu kampung halaman. Kue ini mewakili isi hatiku."

"Hadeh, Mbak Lastri!" Semua yang diucapkan tidak sesuai dengan apa yang ditulisnya.

Suara ketukan pintu menghentikan aksiku berselancar di akun Mbak Lastri.

“Paket!” teriak kurir yang membuatku bingung, sebab aku tak merasa belanja online.

Aku segera meletakkan ponselku dan gegas menuju pintu.

Pemandangan pertama yang kulihat saat membuka pintu, bukanlah pengantar paket. Melainkan Mbak Lastri yang memainkan ponselnya.

Aktivitasnya terlihat dengan jelas karena kehadirannya seolah-olah sedang memata-mataiku. Kuacuhakan dirinya saat menghampiri kurir.

“Paket buat siapa, Pak?” tanyaku penasaran.

“Atas nama Nani Kusuma.”

Aku makin bingung. “Saya tak merasa pesan online, Pak.”

“Nama dan alamat ini benar, kan, Mbak?” Ditunjukkannya paket itu padaku.

Memang tujuan paket atas namaku. Namun, siapa yang mengirimiku paket. Aku takut ini penipuan. Jadi sebaiknya aku berhati-hati.

“Gimana ini, Pak? Saya tak merasa memesan barang secara online."

Apa Mas Hari, ya, yang belanja online? Gegas aku menghubunginya lewat pesan. Semoga saja segera ada balasan.

Iya, hadiah untuk istriku yang cantik.

Sebuah pesan dari Mas Hari membuat senyumku merekah. Sedangkan di seberang sana, terlihat wajah tidak bersahabat menatapku tajam.

“Lah, malah senyum-senyum sendiri. Gimana paketnya ini, Mbak?”

“Ternyata suami saya yang belanja online. Maaf ya, Pak, jadi menunggu lama.”

Aku segera meraih paket tersebut. Namun, terdengar teriakan cukup kencang, padahal kurirnya belum jauh.

"Sok banget belanja online. Paling juga ngutang!"

Pengin banget kusumbat mulut, Mbak Lastri. Namun meladeninya, seolah menegaskan jika aku pun sama dengannya. Kubiarkan saja, Mbak Lastri mengoceh.

Tidak apa jadi tranfer pahala sekaligus membuka energinya habis karena mengurusi hidupku.

Aku segera ke kamar dan meletakkan paket tersebut di atas meja. Nanti saja membukanya setelah Mas Hari pulang.

Kulanjutkan kembali aktivitasku berselancar di dunia maya. Kembali akun Mbak Lastri membuatku kepo.

"Astaga!" seruku kemudian tertawa sampai memegang perutku karena tak tahan.

Foto Pak kurir yang berdiri depan rumahku, menjadi statusnya kali ini. Disertai dengan caption, "Alhamdulillah, pesananku sudah tiba."

Benar-benar ajaib tetanggaku ini. Ternyata kedatangannya tadi cuma numpang foto dengan kurir.

**

Sebuah cincin bermata putih sangat elegan melingkar di jari manisku.

“Makasih, ya, Mas.” Kupeluk suami dengan bahagia.

“Sama-sama, Sayang. Makasih sudah menemaniku menjalani hidup tanpa mengeluh.”

Aku makin mengeratkan pelukan. Tak terasa buliran bening menetes membasahi pipi. Ternyata benar orang tua selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, termasuk jodoh. Ya, aku dan Mas Hari menikah hasil perjodohan.

“Dek, maaf kalau aku belum bisa membahagiakanmu dan Wulan.”

“Mas, ngomong apa, sih? Bisa bersamamu bagiku anugerah yang terindah. Aku yang harusnya berterima kasih, menjadi pendampingmu.”

“Kita akan menua bersama.” Mas Hari mencium keningku. Hangat. Hatiku selalu hangat dengan perlakuannya.

“Pak, ayo, berangkat!” seru Wulan yang sudah siap dengan seragam sekolahnya.

"Gangguan datang," ucap lirih Mas Hari yang membuatku tersenyum.

“Ok! Siap berangkat.” Mas Hari menggandeng Wulan.

Aku mengantarkan mereka sampai depan pintu. Wulan mencium tanganku. “Bu, Wulan berangkat dulu, ya.”

Aku melambaikan tangan setelah mencium tangan suamiku. “Hati-hati di jalan.”

Kulihat pintu rumah Mbak Lastri masih tertutup, tak biasanya seperti ini. Bahkan lampu teras masih menyala.

Kuambil sapu lantas membersihkan daun mangga yang berserakan di halaman. Suara gaduh dari rumah Mbak Lastri membuatku terkejut. Kulihat Pak Basuki keluar dengan membanting pintu cukup keras, disusul umpatan Mbak Lastri yang tiada henti.

“Dasar buaya!” umpatnya sembari menutup pintu dengan kencang.

Andai saja pintu bisa bicara, pasti sudah mengeluh sepanjang hari dibanting. Entah apa yang terjadi dengan mereka aku tak ingin tahu. Semua rumah tangga pasti memiliki masalah dan kita tak berhak ikut campur.

“Nan, kenapa tuh Lastri pagi-pagi sudah ngamuk.”

“Nggak tahu, Mbak Sri. Mungkin lagi PMS,” jawabku asal.

Mbak Sri tertawa mendengar jawababku.

“Nan, emangnya bapaknya Wulan kerja di mana? Nggak mungkin kalau pengangguran.”

“Nanti pasti Mbak tahu sendiri apa pekerjaan bapaknya Wulan,” jawabku sembari tersenyum.
Bukannya aku tak ingin terbuka tentang profesi Mas Hari. Biarlah mereka tahu sendiri tanpa aku harus menceritakannya.

Untung saja tukang sayur lewat, jadi bisa mengalihkan pembicaraanku dengan Mbak Sri.

“Yang ditunggu emak-emak sudah datang. Ayo, kita ke sana, Mbak,” ajakku.

Semoga saja Mbak Sri tak memperpanjang obrolan tadi. Sebisa mungkin aku mengalihkan pembicaraan. Suatu saat mereka akan tahu sendiri apa pekerjaan suamiku.

“Tiap hari pusing mikirin menu. Ada ide kah, Nan?”

“Sayur asem saja, Mbak. Seger di cuaca yang cerah ini, plus sambal terasi pasti nambah makannya.”

“Tambahin ikan asin enak, Nan. Kamu emang pinter cari menu.”

“Menu kepepet tanggal tua, saat dompet kempes,” candaku yang membuat emak-emak tertawa.

“Nggak ada bedanya bagi kami, Nan. Tua muda sama saja,” timpal Mbak Wiwik yang makin membuat suasana ramai.

“Tumben Lastri nggak nongol. Kesambet apa dia,” ucap Mbak Widi.

“Katanya Nani kena PMS.”

“PMS iku opo, Mbak Sri?” Lik Jono jadi penasaran.

“Urusane emak-emak. Wis tak usah pengen tahu,” jawab Mbak Sri yang mengundang gelak tawa yang membuat Lik Jono menggaruk kepalanya.

“Lagi ngomongin aku, ya?”


Komentar

Login untuk melihat komentar!