"Halo, Bintang,"
"Halo Pak, apa tawaran kemarin malam masih berlaku Pak?"
"Tentu sayang, asalkan kau mau meninggalkan pekerjaanmu itu dan berbahagialah denganku,"
"Iya Pak, saya bersedia menikah siri dengan Bapak,"
"Alhamdulillah!"
"Tapi dengan satu syarat,"
"Apa itu Bintang?"
"Jadikan aku yang pertama Pak di hatimu, prioritaskan nafkahku dengan Zahra, aku juga ingin hidup terhormat seperti istrimu, Hesti,"
"Tentu saja Bintang, kau akan seperti Bintang yang bersinar di seluruh penjuru desa, tak kan ada yang boleh menghinamu lagi sayang,"
"Terimakasih Pak, saya harap itu bukan sekedar janji belaka,"
"Bapak tak pernah ingkar Bintang, jadi kapan kau siap nikah denganku?"
"Sekarang pun sudah siap,"
"Baiklah, akan kuurus segalanya secepat mungkin, kau tunggu saja kabar baiknya."
Titch, panggilan terhenti.
Aku tersenyum puas, tunggu Hesti, tunggu adik madumu ini. Aku sudah cukup sabar mendiamkan caci makimu, tapi tidak untuk hari ini. Ku pastikan, ini adalah kali terakhir kau bisa sepuasnya menodongku dengan fitnah sialanmu itu. Aku akan hidup terhormat yang tentunya dengan uang suamimu.
_______________
POV author :
Beberapa hari Bintang dan Zahra tak lagi terlihat keluar rumah. Bu Endang dan kawan-kawan semakin penasaran dengan absennya Bintang yang tak jua memunculkan batang hidungnya. Mereka mengira jika Bintang mengambil hati perkataan Bu Hesti dan memilih pergi.
"Syukurlah si Bintang udah minggat, mudah-mudahan kampung kita dijauhkan dari bala karena perbuatannya kemarin," cerocos Bu Endang,
"Iya Bu Endang, saya juga kemarin was-was takut kalau kelakuan si Bintang bawa sial buat kita semua," timpal Bu Tika.
Mereka begitu sumringah dengan ketiadaan Bintang di desa sukamaju. Ketika asyik bergosip ria, datanglah sebuah mobil pickup pengangkut barang.
Mereka tercengang tatkala mobil itu berhenti di depan rumah Bu Erna, samping rumah Bu Hesti. Tak lama satu persatu barang Bu Erna dinaikan ke bag belakang.
"Loh, Bu Erna mau pindahan?" tanya Bu Salsa sambil celingukan,
"Iya Bu, rumah ini udah laku terjual,"
"Ohhh, kalau boleh tahu dibeli siapa ya Bu?" Bu Tika ikut bertanya.
"Wahh, kurang tahu, pembelinya menyerahkan akad jual-beli sama notarisnya Mbak, sepertinya sih orang kaya,"
"Jelas lah orang kaya, rumah Bu Erna kan gede, pasti laku dengan harga tinggi," timpal Bu Endang, Bu Erna hanya melempar senyum pada ketiganya yang sudah terlalu kepo.
"Nanti juga ibu-ibu pada tahu kalau pemilik rumah datang dan berkenalan dengan kalian,"
"Iya, ngapain repot nanyain Bu Erna, trus Ibu mau pindah kemana?" tanya Bu Salsa sekedar berbasa-basi,
"Saya pindah ke kota Bu, rumah di kota kosong, karena penyewa kemarin pindah, jadi biar kami yang tempati, biar anak sulungku tak sendirian kuliah di kota,"
"Ohhh, sultan mah bebas ya, mau tinggal dimana, toh dimana-mana ada rumahnya,"
Lagi, Bu Erna hanya melempar senyum, pamit lalu beranjak pergi dengan mobil pribadinya diiringi dengan mobil pickup pengangkut barang.
__________
Hari berlalu tanpa adu mulut lagi. Sang target telah pergi, tapi bukan biang ghibah namanya kalau tak ada sesuatu hal yang bisa digoreng untuk jadi buah bibir yang gurih dan renyah.
"Itu rumah kosong sudah mulai terendus penghuni baru Bu Endang," lapor Bu Salsa pada komandan mereka, Bu Endang.
"Ah masa'? Keliatannya masih sepi kok, tak ada tanda riak kehidupannya disana kecuali penunggu rumah dari alam sebelah Bu Tika," kilah Bu Endang,
"Noh, coba liat!" tunjuk Bu Tika pada sebuah truk yang terlihat dari kejauhan berisi furniture dan perabot rumah tangga,
"Kalau masuk ke gang kita, coba tebak, siapa yang bisa beli sebanyak itu selain penghuni baru yang tak kalah sultannya dengan Bu Erna," jelas Bu Tika.
Bu Endang dan Bu Salsa membulatkan mulutnya seraya mengangguk paham.
Benar saja, trio kepoers itu tertegun tatkala mobil truk berhenti di depan rumah kosong samping rumah Pak Kades. Mereka bergegas mendekati mobil truk tersebut.
"Bang sopir, nyonya rumahnya kapan mau tinggal disini?"
"Tuh, duduk di depan, bentar lagi juga turun," jawab Pak sopir.
Tak lama seorang wanita anggun turun dari kursi depan sebelah sopir. Ia tampak menggunakan gamis syar'i lengkap dengan Khimar penutup kepala yang panjang hingga ke lutut. Dihiasi kacamata hitam menutup kedua maniknya. Kedua tangannya masing-masing menjinjing tas branded dan menggenggam ponsel yang berlogo apel digigit. Menambah kesan kalau yang datang memang seorang sultan.
Bu Endang dan kawan-kawan hanya bisa melongo memelototi penampilan warga baru di kampung mereka. Dan yang lebih terkejut lagi, turun lagi seorang gadis kecil yang sangat familiar di mata mereka, Zahra.
"Loh, Zahra, kalau anaknya si Zahra, berarti Maknya_?"
"Hai Bu Endang, lama tak bertemu, kok kayak orang linglung liat saya," ucap wanita itu seraya membuka kacamatanya,
"BINTANG?!" ketiganya serentak kaget bersamaan.
Bersamaan dengan itu pula Bintang mengulas senyum puas. Karena sudah mampu membayar tunai segala cibiran mereka bertiga.