1
   “Pakde, Bude, … lihat! Hani dapat beasiswa di kampus favorit!” teriak Hanifah dari luar rumah. Ia baru saja menerima surat dari pak pos, dan setelah dibuka ternyata pemberitahuan beasiswa. Matanya berbinar membaca deretan huruf dalam kertas berlogo kampus ternama di kota pelajar Jogjakarta. Mata bulatnya memancarkan keceriaan. Bibir mungilnya tertarik ke atas, tak mampu menahan senyum yang muncul dari relung hatinya. Harapannya terkabul. Ia belajar dengan keras untuk meraih beasiswa ini. 

Pakde dan budenya tersenyum bahagia. Keduanya tergopoh-gopoh mendatangi Hanifah yang teriak-teriak dari luar rumah. Bahkan budenya masih memegang spatula, karena sedang membuat gorengan untuk dijual. 

“Kamu hebat, Nduk. Pakde bangga sama kamu, nggak sia-sia kamu belajar siang malam,” ujar pakdenya sambal mengelus puncak kepala Hanifah. 

“Iya, Pakde. Ini juga berkat do’a dan dukungan dari Pakde dan Bude. Tapi …,” Hanifah menunduk. Sinar matanya meredup, ada kesedihan yang menggelayut. 

“Tapi kenapa, Nduk? Bukankah ini cita-citamu? Kamu ingin membuat semua orang bangga padamu kan?” tanya Pakde kemudian. Dia bingung, mendapati sikap Hanifah yang mirip bunglon. Mudah berubah-ubah. 

“Beasiswanya kan hanya menggratiskan kuliahku saja, Pakde. Sedangkan biaya hidup selama kuliah harus ditanggung sendiri … dari mana Pakde mendapatkan uang sebanyak itu untuk membiayai hidup Hani selama di sana?”

“Nduk, kamu nggak usah kuatir. Pakdemu ini masih kuat. Masalah biaya hidupmu, gak usah dipikirkan. Biar Pakdemu ini yang memikirkannya. Selama masih sehat, Pakdemu ini masih bisa mencari uang,” hibur Pakdenya agar Hanifah tidak sedih. Ia tahu, setelah ini beban hidupnya akan bertambah. Sementara ia hanya seorang buruh tani yang sesekali diselingi sebagai kuli bangunan, kuli panggul di pasar, dan pekerjaan apapun yang dapat mendatangkan rezeki.

“Betul, Nduk. Kamu nggak usah kuatir, yang penting tugas kamu belajar yang rajin supaya cepet lulus. Jangan sampai seperti pakde dan bude, yang tidak pernah mencicipi bangku sekolah. Kalau kamu kuliah, siapa tahu nasib kita bisa berubah. Nggak enak Nduk, jadi orang miskin terus,” sambung budenya menasehati Hanifah. 

Akhirnya senyum Hanifah terbit kembali. Ia semakin yakin untuk mengambil jalan ini. Baginya, yang terpenting adalah pakde dan budenya mengizinkan. Karena keduanya sudah seperti orang tuanya sendiri. Menjadi  anak tunggal meski hanya ponakan di keluarga ini menjadikan ia selalu dimanja dan diperlakukan bak tuan putri. Namun hal itu tidak membuat Hanifah besar kepala. Ia tumbuh menjadi pribadi yang jujur, baik hati, pekerja keras, dan pantang menyerah.

      Hanifah melangkah ke kamar dengan senyum tak pudar dari bibir. Ditimangnya surat panggilan itu, di dekap sambil menari laksana sedang berdansa. Berputar ke kanan dan ke kiri, sambil sesekali mulutnya bersenandung. Rasa bahagianya saat ini mengalahkan rasa bahagia ketika mendapat baju baru saat lebaran. Tanpa dia sadari ada sepasang mata yang terus memandang dari balik pintu yang sedikit terbuka dengan senyum terbit secerah mentari. Saat berbalik, barulah Hanifah sadar jika ia sedang diperhatikan. Seketika rona merah menjalar ke wajah ayunya. Salah tingkah ia menuju pintu sambil menutup wajahnya. 

      "Sungguh memalukan," batin Hanifah bersenandika.

Komentar

Login untuk melihat komentar!